NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 13 - Keraguan

Malam pertama di rumah ini ... cukup berjalan lancar. Maksudku, aku tidak begitu tertekan—biasanya Darius selalu mengecamku dengan tatapan atau perkataannya yang terasa menusuk.

Dia duduk di sofa. Terpekur dengan pandangan yang tak bisa ku artikan. Tetapi aku tahu betul dia masih berkutat dengan pikirannya, dia masih memaksa ingatannya untuk kembali.

“Sudah malam,” kataku yang berusaha mencairkan suasana, menyelinap di antara dingin yang menggigit.

Lampu gantung kuning di ruang tengah ini, sedikit bergoyang karena angin yang berembus—jendela dibiarkan terbuka. Aroma laut pekat tercium. Gerakan pelan dari lampu tersebut mencetak bayangan lembut di wajah Darius—ada garis tegang di antara alisnya.

“Aku tahu,” timpalnya kemudian sembari membenarkan posisi duduk, menekuk kedua kakinya yang memanjang di sofa. Lantas duduk tegap menghadap ke arahku.

“Mau pindah ke kamar?” tawarku, tetapi dia menggeleng.

Aku mengembuskan napas berat. “Kamu masih merasa pusing, Mas?”

Lagi, Darius menggeleng. Rapuh tanpa semangat. Tatapannya bergulir ke sembarang arah. “Tidak. Aku hanya merasa ... kosong.”

Kulihat bahunya merosot. Terlihat frustasi.

“Terlalu banyak suara. Tapi tak bisa aku artikan. Semuanya seperti berbenturan, serentak ingin didengar. Yang pada akhirnya hanya semakin menyiksaku dengan perasaan melelahkan seperti ini,” tambahnya demikian.

Aku diam, dan dalam diam itulah, kutangkap lirikan curiganya padaku—yang cepat sekali ia tutupi dengan mengalihkan pandangan.

“Ada apa? Ada yang salah denganku?”

Ia menoleh cepat. Terlalu cepat. Seperti tersentak.

Aku berjalan mendekat, memilih duduk di sofa seberang. Sehingga kami saling berhadapan sekarang ini. Kudapati Darius membasahi bibirnya yang terlihat kering—dia terlihat cemas.

“Kamu tahu, Soraya,” katanya kemudian, “Berulang kali aku mengatakan bahwa aku merasa ‘asing’ padamu. Kamu benar-benar ... berbeda.”

Itu lagi.

Jelas aku berbeda, karena aku bukan Soraya, kakak angkatku. Dan selama kami tinggal serumah pun aku tak mungkin memerhatikan segala tingkahnya—sebab secuil pun aku tak pernah berpikir di masa depan akan memerankan peran Soraya.

Aku pun menyandarkan punggung ke sandaran sofa, menatapnya sedikit bingung. “Lalu, aku harus bagaimana? Aku harus berbuat seperti apa agar kamu tidak merasa asing denganku ini, Mas?”

“Bukan begitu maksudku, Soraya,” katanya langsung geleng-geleng membantah, “Hanya … ada beberapa hal yang tidak terasa masuk akal ini.”

Aku menegakkan punggungku, berusaha tetap tenang meski jantungku berdebar.

“Seperti apa?” tanyaku.

Ia memejamkan mata sejenak, menghembuskan napas berat. Lantas memajukan bokongnya—duduk lebih mencondong ke arahku, dan kedua tangannya ia rapatkan di depan mulutnya yang berkali-kali membuang napas kasar.

“Kamu terlalu tenang … terlalu sabar padaku. Bahkan saat aku bersikap dingin atau bicara seenaknya. Sedangkan kamu yang dulu—aku ingat samar-samar … kamu bukan tipe yang bisa diam kalau merasa disalahkan.”

Aku menahan napas. Tak menyangka ia masih bisa mengingat sepotong kecil tentang tunangannya—yang lebih anehnya, ingatan itu dicetak dengan wajahku. Sangat aneh memang, entah mengapa dia melupakan wajah Soraya dan justru digantikan denganku.

Aku memalingkan pandangan, pura-pura memeriksa lipatan selimut di sofa. “Aku hanya mencoba … tidak mengganggumu dengan hal-hal yang mungkin menambah beban,” kataku, setenang mungkin.

Lalu menarik napas dalam-dalam, memantapkan diri untuk kembali menatapnya. “Seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, aku belajar banyak hal, Mas. Memasak, belajar mengendalikan diri, atau apapun yang memungkinkan bisa kupelajari. Dan mungkin perubahan itu membuatmu kaget. Tetapi itu wajar terjadi.”

Ia mengangguk pelan, tapi matanya belum puas. “Mungkin saja. Tapi kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, kan, Soraya?”

Aku menggeleng—meski sebetulnya aku ingin sekali bicara, mengatakan segalanya. Tetapi aku punya tujuan lain, semuanya seakan terlambat jika aku baru bersuara sekarang. Itu sebabnya, aku berusaha menguatkan diri—setidaknya sampai aku tahu, bagaimana cara mereka melakukan hubungan hingga terjadi kecelakaan itu.

“Tidak ada. Apa yang kamu lihat, beginilah adanya,” jawabku seyakin mungkin, meski jantungku di dalam sana berdentum tak karuan.

Perlahan aku ingin membangun kepercayaan. Meluluhkannya, membuatnya berada dalam genggamanku hingga kepingan misteri itu sudah kutampung semuanya.

Darius mengusap wajah, dia termenung beberapa detik. “Hufft .. Berada di rumah ini sangat menguras pikiran. Menurutmu bagaimana, Soraya? Kamu kan lebih suka—”

“Aku suka!” jawabku dengan lantang, “Aku suka segala hal yang ada di rumah ini.”

Ketika menyadari bahwa yang kukatakan adalah mengekspresikan ‘diriku’ sendiri, aku tentu tersontak. Aku hendak mengoreksi—tetapi Darius justru tertawa melihatku barusan.

Bukan tawaan sinis yang berusaha menyudutkanku. Kali ini dia tertawa spontan yang tak dibuat-buat.

“Bahkan sekarang kamu suka dengan pantai? Dulu kamu sangat anti, kamu bilang itu akan membuat kulit putihmu kemerahan bahkan hitam,” ungkap Darius menjelaskan.

Aku manggut-manggut menanggapi sebisanya. “Itu kan dulu, Mas. Sekarang aku sudah tak lagi menjadi model, bekerja di dunia hiburan—yang perlu mendapat atensi dari orang banyak. Sekarang aku akan lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah ini.”

Darius menyipitkan matanya. Aku dag dig dug kembali.

“Awalnya aku ingin mengajakmu untuk pindah dari sini, sementara tinggal di tempat lain,” tuturnya kemudian.

Aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi syok bercampur sedihku—tetapi entah bagaimana Darius melihatku saat ini. Yang jelas saat mendengarnya tadi hatiku sedikit terasa sakit.

Sejak dulu, meski aku amat disayang dan tidak merasa dibedakan oleh ibu dan ayah angkatku, aku tetap merasa tak bebas. Aku dibatasi dalam segala hal, terutama dalam tempat tinggal—aku tak dibiarkan ke mana-mana, aku seperti dikerangkeng dengan alasan itu bentuk perlindungan dari mereka.

Itu sebabnya saat pindah ke rumah ini—rumah yang menjadi idaman dan impianku saat dulu, aku bahagia sekali—walau kenyataannya aku tinggal di rumah ini bukan dengan seseorang yang aku cintai. Tapi setidaknya, aku masih bisa merasakan kebahagiaan.

“Tapi ya sudahlah,” katanya sambil beringsut dari sofa.

Mataku mengikuti pergerakan Darius.

“Kelihatannya kamu senang sekali, jadi mari kita tunda keinginanku tadi,” tambahnya yang sudah melewati tubuhku, mungkin hendak pergi ke kamar.

“Kamu serius, Mas?” Tubuhku setengah berbalik, menatap punggungnya yang mulai menjauh meninggalkan ruang tengah.

“Kalau memang dengan tinggal di sini mengganggu kondisimu, kita bisa pikirkan ulang tentang rencana pindahan,” imbuhku seraya berdiri dari sofa, sempurna telah berbalik—agar bisa melihatnya dengan jelas.

Darius berhenti melangkah persis sebelum menghilang untuk masuk ke dalam lorong. Tak lama dia menengok. Tatapannya tidak sehangat tadi, agak kaku yang mengundang banyak tanya dalam benakku.

“Apa yang akan kamu lakukan selama di sini?”

Mataku bergulir cepat ketika disodorkan pertanyaan tersebut—mencari-cari apa alasan yang cocok menjawab dalam situasi ini.

“Mungkin sementara waktu aku hanya akan melakukan tugas rumah? Atau paling tidak, aku hanya menghabiskan waktu dengan membaca buku, sesekali keluar untuk menikmati udara segar dan berdiri di bibir pantai untuk melihat senja.”

Aku tidak tahu, apakah jawabanku barusan bisa mendeskripsikan seorang ‘Soraya’ di matanya. Tapi semoga dia tidak masalah dengan hal itu.

“Lalu bagaimana dengan kekasihmu?”

Spontan aku menelan ludah. Detik selanjutnya aku sadar—bahwa kekasih yang dimaksud Darius adalah kekasih Soraya, bukan Arjuna.

“Kamu tidak mungkin membawanya ke sini, kan?” tanyanya lagi.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!