Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
•
Tidak ada satu orang pun yang tahu tentang hal ini, tapi Karina memiliki satu hal yang sangat ia takuti.
Selain takut kehilangan Felix, takut tidak bisa membuktikan kompetensinya di perusahaan, dan takut membuat ibunya marah.. ada satu hal lagi yang sangat Karina takuti. Satu rasa takut yang sudah menghantuinya sejak awal masa remajanya hingga saat ini. Rasa takut yang mungkin tidak akan pernah hilang, dan tidak akan pernah Karina akui di depan siapa pun. Bahkan di depan orang tuanya, Felix atau Chloe sekali pun.
Dan malam ini, seakan situasi buruk tidak henti-hentiknya datang menghampirinya, alam memutuskan untuk mendatangkan hal yang sangat ia takuti itu untuk mengganggu tidur nyenyaknya.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi ketika Karina tersentak bangun dari sisi tempat tidurnya.
Awalnya, Karina berusaha untuk mengabaikannya, menarik selimut tebalnya hingga menutupi seluruh tubuh, menutup mata dan meringkuk ketakutan. Matanya terpejam dengan kuat dan ia meringkuk dengan posisi seperti janin di dalam perut, mencoba mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hal ini terasa menakutkan hanya karena ia pikir itu menakutkan.
Tapi suara yang sangat ia takuti itu tidak berhenti, malah terdengar semakin kuat. Dan ketika suara itu terdengar semakin dekat dengan gemuruh yang riuh, Karina tidak dapat menahan pekikan tertahan yang secara refleks keluar dari mulutnya, tubuhnya gemetar tak terkendali seperti anak kucing yang ketakutan.
Tiba-tiba Karina merasakan sebuah tangan menarik selimut dari genggamannya yang kuat. Dengan mata yang setengah terbuka, Steve menatap Karina dengan tatapan bingung. Dia melirik ke arah jam digital yang ada di meja nakas di samping tempat tidur, dan jam menunjukkan pukul 3.05 pagi.
Karina dapat mendengar suara Steve yang bertanya padanya. “Apa yang sedang kamu lakukan?” Suara Steve terdengar serak dan penuh rasa kantuk, dia mengerutkan kening karena tidurnya terganggu oleh Karina yang sempat memekik dengan tubuh yang gemetaran.
Suara gemuruh kembali terdengar, kini berbunyi dua kali berturut-turut, membuat tubuh Karina semakin bergetar. Steve mendengus, ini adalah ketiga kalinya dirinya terbangun di tengah malam atau pagi buta karena Karina, dan Steve mungkin akan mengusirnya dari kamar dan membiarkannya tidur di sofa ruang tamu jika Karina melakukannya sekali lagi nanti.
Bahkan setelah ditanyai, Karina masih tidak bergerak dari posisinya yang meringkuk. Matanya masih terpejam erat dan sama sekali tidak menoleh ke arah Steve, alisnya mengernyit hingga tampak seperti menyatu di dahinya, bulir-bulir keringat dingin membasahi keningnya. Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Karina menjawab pertanyaan Steve dengan satu hembusan napas yang pelan dan bergetar.
Sempat terlintas di benak Steve untuk menarik Karina dan mendorongnya keluar dari kamar agar dirinya bisa kembali tidur. Dia menghela nafas pelan, dan karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Steve memutuskan untuk kembali berbaring di sisi tempat tidurnya. Saat ini dirinya benar-benar sangat ngantuk dan tidak dalam mood untuk menghibur Karina yang dia pikir mungkin sedang mengalami mental breakdown untuk yang kesekian kalinya. Steve baru saja ingin membalikkan tubuhnya membelakangi Karina ketika suara gemuruh kembali terdengar mengoyak langit. Dan tiba-tiba, Steve merasakan ada yang menempel ke sisi tubuhnya dengan gerakan yang sangat cepat.
Cengkeraman Karina pada lengan Steve sangat erat, membuat Steve hampir meringis karena merasa cengkeraman itu sepertinya cukup untuk membuat peredaran darah di lengannya itu terhenti. Cengkeraman itu juga berhasil membuat rasa kantuk Steve seketika menguap ke udara, kini menatap Karina dengan mata lebar.
Awalnya Steve menatap Karina dengan kening berkerut, namun kerutan di keningnnya perlahan-lahan hilang ketika matanya menangkap kilatan cahaya yang menyilaukan muncul dari balik tirai tipis yang menutupi pintu balkon, membuat keadaan kamar yang gelap seketika dipenuhi dengan cahaya putih. Steve juga mendengar rintik-rintik air hujan yang mulai terdengar deras menghantam kaca pintu balkon dan juga jendela kamar mereka, disusul dengan suara gemuruh yang kuat.
Ternyata badai petir menghantam Corsica malam ini. Steve tidak ingat membaca perkiraan badai petir saat ia membaca ramalan cuaca sebelum tidur tadi.
Steve sedikit tersentak kaget saat Karina tiba-tiba memeluk lengannya dengan erat bersamaan dengan gemuruh kuat yang kembali terdengar. Steve menatapnya sambil mengerjap pelan, dan perlahan dia menyadari apa yang sedang terjadi. “Kamu takut petir?”
Karina tidak menjawab, membiarkan tubuhnya yang kembali gemetaran menjawab pertanyaan itu. Dirinya kembali meringkuk sambil tetap memeluk lengan Steve.
Steve merasa tidak enak hati karena menganggap hal ini sedikit lucu. Siapa yang menyangka bahwa Karina Yates, yang berusia hampir pertengahan dua puluhan, merupakan pewaris dan calon CEO dari perusahaan wine terbesar di negara mereka, ternyata takut pada petir?
Steve tersenyum, menggigit bibirnya untuk menahan tawa, dia bahkan memalingkan wajahnya seolah-olah Karina bisa melihat ekspresinya saat ini, padahal keadaan kamar cukup gelap dan Karina pun masih menutup matanya. Namun senyumnya langsung pudar ketika satu pemikiran perlahan masuk ke otaknya. Jika Karina sangat takut pada petir, bagaimana bisa wanita yang merupakan istrinya ini tidur sendirian selama enam bulan terakhir? Atau lebih parahnya sepanjang ia hidup?
Senyum Steve kini berganti menjadi tatapan penuh empati. Dia memiringkan tubuhnya dan merangkul tubuh Karina yang gemetar, membuat Karina sedikit tersentak kaget.
Steve berbisik dengan suara yang lembut sambil meremas bahu Karina pelan. Suaranya begitu lembut hingga hampir tenggelam oleh suara hujan yang memekakkan telinga. “Hei, Rina, dengar aku. Jangan takut, ada aku di sini.”
Singkatan nama yang Steve ucapkan membuat Karina seketika membuka mata dan mengangkat kepalanya, membuat Steve harus melonggarkan rangkulannya.
Apakah ia tidak salah dengar? Steve baru saja memanggilnya dengan singkatan nama yang dulu selalu orang tuanya pakai ketika memanggil dirinya, saat ia masih kecil. Hal itu menimbulkan sensasi hangat yang tidak asing di dadanya, dan untuk sesaat, tubuhnya berhenti bergetar. Bagaimana Steve bisa tahu nama panggilan itu? Karina tidak ingat ibu atau ayahnya masih memanggilnya dengan nama itu, jadi sepertinya tidak mungkin Steve mengetahuinya karena mendengar dari mereka. Apakah ibunya menceritakan soal nama panggilan itu pada Steve? Atau apakah hanya kebetulan saja Steve menggunakan nama panggilan itu?
“Sebut namaku seperti itu lagi.” ujar Karina pelan.
Alis Steve terangkat. “Hmm? Rina? Kamu suka nama panggilan itu?”
Karina merasa dirinya ingin tertawa. Sungguh aneh, tapi baru saja Steve terdengar seperti ayahnya saat dia menanyakan pertanyaan itu. Karina menganggukkan kepalanya, sedikit terlalu bersemangat. “Ibu dan ayahku selalu memanggilku dengan nama itu saat aku masih k–”
Ucapan Karina terputus ketika kilatan putih yang menyilaukan itu kembali muncul, melewati tirai tipis pintu balkon dan jendela kamar, membuat kamar menjadi terang untuk sepersekian detik. Karina kembali menutup mata dengan pekikan tertahan yang kembali keluar dari mulutnya.
Beberapa detik kemudian, suara gemuruh petir terdengar, dan kali ini Karina bahkan bisa merasakan lantai yang ada di bawahnya bergetar.
Dan hal berikutnya yang Karina rasakan adalah tangan Steve yang sudah kembali merangkulnya, menarik tubuhnya hingga menempel pada dada bidangnya, dan kaki mereka secara refleks saling bertautan. Suara petir kembali terdengar, dan kini tangan Steve yang hangat melepas rangkulannya dan menjangkau kedua telinga Karina. Karina membuka matanya dan bertemu dengan Steve yang menatapnya.
Dalam pencahayaan kamar yang cukup gelap, Karina bisa melihat bibir Steve yang membuka, mengucapkan kata-kata yang tidak terlalu bisa didengar oleh dirinya. Karina mengeluarkan gumaman bertanya dengan alis yang berkerut.
Alih-alih mengangkat tangannya dari telinga Karina, Steve malah mendekat hingga wajahnya kini berjarak sangat dekat dengan wajah Karina, cukup dekat baginya untuk melihat gerakan bibir Steve.
Ia membaca gerak bibirnya, samar-samar dapat mendengar suara pria itu yang teredam melalui telinganya yang tertutup, bercampur dengan suara hujan yang lebat.
“Rina...”
Setelah diam beberapa detik, senyum tipis muncul di bibir Karina.
Ia teringat bagaimana dulu ibunya akan berteriak memanggilnya dengan nama tersebut, suaranya terdengar dari dapur hingga kamar tidurnya yang ada di lantai dua, memberitahunya untuk turun dan makan siang bersama.
Ia juga teringat bagaimana ayahnya akan menyebutkan nama tersebut, dengan senyum bangga di wajahnya saat Karina menyerahkan rapornya. Dan ayahnya juga suka memanggilnya begitu sambil mengulurkan tangan dan mengelus kepala Karina lembut, terkadang bahkan mengacak-acak rambutnya gemas. Dan Karina akan tersenyum lebar, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar-binar.
“Rina...” Steve kembali berujar, membelai sisi wajahnya lembut, bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Tangannya kini bergeser dari menutupi telinganya, bergerak untuk mengusap-usap bagian belakang kepalanya. Karina merasakan dirinya tanpa sadar menjadi lebih rileks. “Aku di sini, jadi tidak perlu takut. Kembalilah tidur.”
Ada sesuatu yang terlihat dari sorot mata Steve saat dia tersenyum, sorot mata yang dulu penuh dengan kesombongan dan mengejek yang membuat Karina merasa jengkel, namun kini dipenuhi dengan kenyamanan dan kehangatan.
•
•