NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Lyra berdiri di depan gerbang istana yang besar, dengan kunci yang masih menggenggam erat di tangannya. Ada sesuatu yang aneh di udara—semacam ketegangan yang membuat rambut di tengkuknya berdiri. Tapi dia mencoba mengabaikannya. Seperti biasa, dia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam.

"Oke, Lyra, kamu bisa ini. Gampang banget. Cuma harus menghadapin raja yang lebih kuat daripada apapun yang pernah kamu temui sebelumnya. Sambil nyantai, kan?" Lyra mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, meskipun suara hatinya berteriak bahwa ini bukan ‘nyantai’ sama sekali.

Ia melangkah maju, kunci itu terpasang pada pintu besar yang berornamen, hampir seperti gerbang yang hanya ada di cerita dongeng—tapi kali ini, ini bukan dongeng. Ini nyata. Dan dia bukan pahlawan, dia cuma cewek biasa yang sedang berada di tempat yang sangat salah.

“Harusnya aku di rumah, nonton film atau makan mie ayam,” gumamnya pada diri sendiri. Tapi saat dia mendorong pintu itu, seluruh dunia terasa seolah terhenti. Tiba-tiba semua ketegangan yang ada di udara ini semakin menjadi-jadi.

Masuk ke dalam istana bukanlah keputusan terbaik. Ruangan itu terasa sangat besar dan mewah, dengan dinding yang terbuat dari batu hitam yang mengkilap, berkilau dalam cahaya redup dari lentera-lentera yang tergantung di langit-langit. Beberapa pelayan berjalan cepat melewatinya, seolah-olah mereka sudah terbiasa dengan keadaan ini.

Lyra menelan ludah. "Oke, Lyra, tenang. Kalau kamu takut, nanti raja bisa lihat itu."

Langkahnya terasa semakin berat saat ia melangkah lebih dalam, seakan setiap inci dari lantai batu di bawah kakinya semakin menambah beban pada pundaknya. Di kejauhan, dia bisa melihat sosok tinggi yang berdiri dengan angkuhnya. Tidak ada salahnya untuk mengaku—raja ini memang tampan. Kalau dipikir-pikir, sepertinya dia tidak seharusnya ada di sini.

"Kenapa ya, ya ampun, kenapa harus aku yang jadi pahlawan? Padahal, dulu sih, waktu kecil aku pengen jadi astronot. Tuh, kan, jauh banget dari ini," pikirnya, setengah bercanda, setengah gugup.

Ketegangan antara dirinya dan sang raja semakin terasa. Di balik tatapan tajam sang raja, Lyra bisa merasakan segala tekanan yang sedang dia hadapi. Namun, satu hal yang membuatnya sedikit lebih tenang—keberanian yang datang karena ketidaktahuan. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tidak tahu seberapa dalam pertempuran ini akan merubah dirinya, namun ada satu hal yang pasti: dia harus bertahan hidup.

Sang raja, dengan ekspresi misterius, mengamatinya dari kejauhan. Wajahnya tak terbaca, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan orang-orang yang datang dan pergi dari istana. Tapi Lyra bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam dari itu—semacam aura yang menantang. Raja ini lebih dari sekadar penguasa, dia adalah seseorang yang memiliki segalanya.

"Aku kira kau tahu siapa aku," suara sang raja memecah keheningan. Suaranya dalam, dengan nada yang tak mudah ditebak. "Tapi tidak, kau malah memilih untuk datang ke sini dan... menyerahkan nasibmu."

Lyra tersenyum canggung. “Yah, kalau aku tahu, pasti aku enggak bakal kesini, kan?”

Raja itu mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan jawaban Lyra yang tidak biasa. Tapi segera saja dia kembali dengan ekspresi serius. "Kau tahu, tak banyak orang yang berani seperti itu. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menunduk."

"Yah, kalau mau jujur, sih," Lyra melanjutkan dengan bercanda, "aku cuma nggak tahu apa yang harus aku lakuin. Jadi, ya sudah, ikut-ikut aja."

Sang raja mendekat, langkahnya tenang namun penuh kekuatan. Setiap gerakannya terlihat begitu terkontrol, seperti predator yang siap melompat kapan saja. Lyra mendapati dirinya berusaha keras untuk tidak terkesan, meskipun hatinya hampir melompat keluar dari dadanya.

“Kau tidak bisa hanya ikut-ikutan begitu saja, Lyra. Semua ini ada alasan. Dan alasan itu, sayangnya, sangat rumit untuk dijelaskan.” Raja itu berhenti tepat di depan Lyra, tatapannya masih tajam.

Lyra menatap balik. "Rumit? Sepertinya kita berdua sedang bermain dalam dunia yang nggak kita pahami, bukan?"

Raja itu sedikit tertawa, meskipun tetap saja keseriusannya masih belum bisa disembunyikan. "Terkadang, kamu hanya perlu memilih untuk bertahan, bukan memahami semuanya."

"Jadi, aku harus percaya begitu saja?" Lyra bertanya, suaranya mengandung keraguan, tapi juga sedikit rasa penasaran yang menggebu.

Raja itu mengangguk, dengan tatapan yang seakan bisa menembus langsung ke dalam jiwa Lyra. "Kadang, itulah yang paling kita butuhkan—keberanian untuk bertahan meski semuanya tidak terlihat jelas."

Lyra menarik napas panjang. "Oke, kalau begitu. Aku akan bertahan. Tapi, cuma buat hari ini. Setelah itu, aku mau tahu kenapa semua ini terjadi."

Sang raja hanya tersenyum samar. "Kita lihat saja nanti."

Dengan itu, dia melangkah mundur, memberi ruang bagi Lyra untuk mulai memahami peranannya dalam dunia yang penuh dengan intrik ini. Tapi bagi Lyra, ini baru saja dimulai—perjalanan yang penuh dengan kejutan dan ujian besar.

"Jadi, mau mulai kapan?" Lyra bertanya sambil mendekat, tatapannya penuh tekad, meskipun masih ada rasa takut di dalam dirinya.

Sang raja tersenyum, kali ini lebih penuh arti. "Sekarang, Lyra. Waktu untuk bertahan telah tiba."

Dan dengan langkah tegas, mereka melangkah bersama, menuju takdir yang tak bisa lagi dihindari.

Setelah beberapa langkah bersama sang raja yang penuh wibawa, Lyra mulai merasakan ketegangan yang semakin menebal di sekelilingnya. Ruangan yang mereka masuki sangat luas, dengan dinding yang dihiasi patung-patung besar, serta lukisan-lukisan kuno yang menggambarkan kekuatan dan kejayaan masa lalu. Semuanya terasa begitu mencekam, seperti dunia yang terperangkap di dalam masa lalu.

“Jadi… apa yang sebenarnya terjadi, Raja?” tanya Lyra, mencoba memecah ketegangan yang ada. Namun, ia tahu betul bahwa tak ada jawaban mudah untuk pertanyaannya.

Sang raja berhenti sejenak, menatap Lyra dengan sorot mata yang sulit dimengerti. "Yang terjadi, Lyra, lebih dari sekadar sebuah pertarungan atau ujian biasa. Ini tentang masa depan—masa depan yang harus kau pilih."

Lyra mengernyitkan dahi. “Masa depan? Kamu bener-bener suka ngomong ambigu, ya?”

Raja itu tersenyum tipis, tampaknya menikmati kebingungannya. "Kau belum paham semuanya, tapi kau akan mengerti setelah ini. Dunia ini bukan seperti yang kau bayangkan. Apa yang kau tahu hanya sebagian kecil dari kebenaran."

Sementara itu, Lyra merasa seolah sedang berjalan menuju takdir yang tak bisa ia hindari. Setiap langkah terasa semakin berat, dan semakin dekat dengan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia ini. Ada sesuatu yang sangat besar dan rumit yang sedang terjadi, dan hanya satu cara untuk mengungkapnya—menghadapi raja ini.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Lyra lagi, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang.

Raja itu berhenti di depan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu hitam yang terlihat sangat tua. "Kau akan memasuki ruang di mana jawaban itu berada," katanya, lalu membuka pintu tersebut.

Di balik pintu itu, Lyra melihat sebuah ruangan yang penuh dengan cahaya. Di tengah ruangan, sebuah meja besar terletak dengan beragam simbol dan artefak yang tak dikenalnya. Ada sebuah bola kristal yang memancarkan cahaya biru terang, serta beberapa gulungan buku kuno yang tergeletak begitu rapi.

Raja itu melangkah ke dalam ruangan, mempersilakan Lyra untuk mengikutinya. "Ini adalah tempat di mana kekuatan sejati ditemukan, di mana nasib kita ditentukan."

Lyra menatap sekitar, bingung. "Kekuatan sejati? Apa maksudmu? Kenapa semuanya terasa seperti setting film-film fantasy gitu? Aku enggak ngerti," ujarnya dengan nada setengah bercanda.

Raja itu tertawa kecil. "Kau selalu membuat hal-hal terasa lebih ringan, padahal yang ada di sini adalah sesuatu yang sangat berat."

"Kalau itu benar, kenapa aku merasa kayak anak kecil yang baru masuk ke dunia penuh monster?" Lyra menjawab dengan sedikit keluhan.

Raja itu mengangkat bahu, tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan pernyataan Lyra. "Terkadang, kita harus merasa seperti itu untuk melihat kenyataan."

Lyra mengangguk, meskipun dalam hati masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. "Lalu, kenapa aku yang harus datang ke sini? Apa yang membuatku begitu spesial?"

Sang raja memandang Lyra, lalu mengangkat tangannya. “Kau memiliki kekuatan yang belum sepenuhnya kau pahami. Kekuatan itu adalah kunci untuk masa depan dunia ini—dan mungkin, kunci untuk bertahan hidup. Dunia ini sedang menuju kehancuran, dan hanya sedikit orang yang mampu menghadapinya.”

Lyra terdiam, menelan kata-kata itu. Semua ini terasa semakin rumit, dan seiring dengan kata-kata sang raja, muncul rasa takut yang menggerogoti hati. Mungkinkah dia benar-benar menjadi orang yang bisa mengubah takdir?

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Lyra dengan serius, kali ini suara hatinya mulai penuh dengan ketegangan yang nyata.

"Pertama," jawab raja, "Kau harus menghadapi ujian ini. Ujian yang akan mengungkap siapa dirimu sebenarnya. Hanya setelah itu, kau bisa memahami kekuatanmu."

Lyra memandang raja dengan bingung. "Ujian? Jadi, ini bukan cuma soal ngobrol doang, ya? Aku harus ngapain? Nanti dulu… Jangan bilang aku harus ngelawan monster atau semacamnya, ya? Aku kan nggak bawa pedang, guys."

Raja itu tersenyum, meskipun tetap ada sedikit ketegangan di balik ekspresinya. "Tidak ada monster, Lyra. Hanya ujian dari dirimu sendiri. Apa yang kau takutkan adalah bagian dari ujian itu."

"Tunggu, maksud kamu, aku yang jadi musuhnya?" tanya Lyra dengan nada setengah bingung.

Raja itu mengangguk. "Kau akan bertemu dengan dirimu yang lain—versi dari dirimu yang kau takuti."

Lyra terdiam. "Oh, ini serius banget ya. Jadi aku bakal ngelawan versi jahat aku gitu?"

Raja itu tidak menjawab, hanya memandang Lyra dengan tatapan serius. "Semua tergantung pada pilihanmu."

Lyra merasa tertekan. "Ini beneran gila. Aku enggak siap. Kenapa aku yang harus melewati semua ini? Kenapa nggak aja orang lain yang lebih siap, atau lebih, ya... lebih pahlawan gitu?”

Raja itu tidak melanjutkan percakapan, seolah memberi ruang bagi Lyra untuk memikirkan kata-katanya. Namun, Lyra tahu satu hal pasti—keputusan ini tak bisa dihindari lagi. Mungkin dunia ini memang membutuhkan orang seperti dirinya. Atau, mungkin dunia ini hanya menunggu seseorang yang cukup berani untuk menghadapi takdir yang penuh dengan misteri dan bahaya.

Sambil mencoba menenangkan diri, Lyra melangkah lebih dalam ke dalam ruangan, dan pintu besar itu menutup perlahan di belakangnya. Tidak ada jalan mundur lagi. Kini, satu-satunya pilihan adalah menghadapi ujian yang tak terduga, dan mungkin—dengan sedikit keberuntungan—menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Lyra berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan cahaya biru yang memancar dari bola kristal besar di tengah meja. Hatinya berdetak kencang, seolah seluruh dunia ini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih misterius dari yang pernah ia bayangkan. Di depannya, sang raja berdiri diam, seolah menunggu sesuatu.

“Jadi, ini adalah tempat di mana semuanya dimulai?” tanya Lyra dengan nada serius, berusaha mengatur napas dan menenangkan diri.

Raja itu mengangguk. “Ya, di sini lah, tempat di mana ujian pertama akan dimulai. Jangan khawatir. Ujian ini bukan soal kekuatan fisik atau pertempuran. Ujian ini adalah tentang kekuatan batinmu, dan kemampuanmu untuk menghadapi ketakutan terbesar yang ada dalam dirimu.”

Lyra mengerutkan kening. "Kekuatan batin? Ketakutan terbesar? Kamu bener-bener suka ngomong hal-hal yang susah dimengerti, ya? Aku kira aku cuma bakal jalan-jalan keliling kerajaan, nggak nyangka harus ngadepin ujian macam ini."

Sang raja tersenyum kecil, lebih seperti senyum yang penuh makna. "Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya kita hadapi sampai kita menghadapinya, Lyra."

Lyra menatap bola kristal itu lagi, lalu berbalik ke raja dengan tatapan penuh pertanyaan. “Jadi, apa yang harus aku lakukan?”

Raja itu menunjuk ke arah bola kristal yang bersinar terang. "Di sana. Kau harus menyentuh bola kristal itu. Tapi ingat, ini bukan sekadar sentuhan biasa. Ketika kau menyentuhnya, kau akan menghadapi bayangan dari dirimu yang terburuk—dirimu yang tak ingin kau lihat."

Lyra merasa tubuhnya menegang. “Bayangan dari diriku yang terburuk? Ini bener-bener aneh. Kamu nggak bilang kalau aku harus bertemu dengan diriku yang aneh, kan?”

Raja itu tetap diam, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat Lyra merasa seolah ada sesuatu yang sangat penting yang sedang dipertaruhkan di sini. "Kau tidak akan pernah tahu sampai kau mencobanya."

Tanpa bisa mengelak lagi, Lyra melangkah ke meja dan dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih bola kristal itu. Saat jarinya menyentuh permukaan bola yang dingin, cahaya biru itu tiba-tiba menyebar dengan cepat, menyelimuti seluruh tubuhnya dalam sekejap.

Kemudian, dunia sekitarnya berubah.

Lyra merasa seolah-olah sedang berada di tempat yang asing, di luar ruang dan waktu. Langit di atasnya berubah menjadi kelabu, sementara tanah di bawah kaki terasa lembab dan tak stabil. Di kejauhan, dia bisa melihat bayangan samar-samar, sosok-sosok yang bergerak cepat, tapi saat dia mencoba fokus, mereka menghilang begitu saja.

Dia melihat sekeliling, dan kemudian—di depannya—terdapat bayangan dirinya sendiri. Namun, kali ini, dia berbeda. Wajahnya tampak lebih gelap, lebih marah. Ada sesuatu yang lain di dalam tatapan matanya, seperti kebencian yang terpendam.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya bayangan Lyra itu, suaranya terdengar jauh lebih dingin dan kasar daripada suara Lyra yang biasanya.

Lyra mundur sedikit, merasa terkejut. "Apa yang—apa yang kamu maksud? Aku tidak mengerti."

Bayangan itu tertawa, dan tawa itu terasa begitu mengerikan, seolah-olah mengingatkan Lyra pada ketakutan yang pernah dia coba lupakan. "Kau pikir bisa menghindari kenyataan? Kau pikir bisa lari dari siapa dirimu sebenarnya? Kau takut dengan dirimu sendiri, Lyra."

Lyra merasa tenggorokannya tercekat. “Aku... Aku bukan seperti kamu. Aku tidak bisa menjadi seperti itu!”

Bayangan itu mendekat, dan saat dia berbicara, suaranya menjadi semakin keras. “Kau sudah menjadi aku, Lyra. Kau selalu takut untuk melihat siapa dirimu yang sebenarnya, dan sekarang, kau harus menghadapi itu. Kau bukan pahlawan, kau bukan orang yang mampu mengubah takdir. Kau hanya seorang gadis yang berlari dari kenyataan.”

Lyra merasakan sebuah beban berat menekan dadanya. Kata-kata itu menggerogoti dirinya lebih dalam dari yang dia bayangkan. Selama ini, dia merasa seolah-olah dia bisa menghindari kenyataan—menghindari siapa dirinya sebenarnya, siapa yang dia takuti untuk menjadi. Tapi di hadapan bayangannya, segalanya terasa sangat nyata.

“Aku bukan kamu!” teriak Lyra, suaranya bergetar, namun di dalam hatinya, dia merasa ada perlawanan yang membara. "Aku akan melawanmu!"

Bayangan Lyra itu menatapnya dengan tatapan penuh ejekan. “Perlawanan? Kau sudah melawannya sejak lama, Lyra. Hanya saja, kau tidak pernah cukup berani untuk menghadapi dirimu sendiri.”

Setiap kata bayangan itu terdengar seperti pisau yang menusuk dalam-dalam. Lyra merasa keputusasaannya semakin memuncak. Semua yang pernah dia takutkan—semua keraguan, ketakutan, dan kegagalannya—terasa seperti badai yang menghancurkan dirinya.

Namun, di tengah-tengah rasa cemas yang semakin dalam, ada suara kecil dalam dirinya yang mulai berteriak. Itu adalah suara harapan—harapan yang ia simpan begitu lama di dalam hatinya. Lyra menatap bayangan itu dengan tatapan yang lebih kuat, lebih teguh. "Aku mungkin takut, tapi aku tidak akan lari lagi."

Bayangan itu tampak sedikit terkejut, namun kemudian tersenyum dengan senyum yang dingin. “Kau pikir begitu mudah, Lyra?”

Lyra mengangguk dengan tegas. "Aku tidak akan menyerah pada ketakutanku."

Sekonyong-konyong, bayangan itu menghilang. Ruangan yang tadinya dipenuhi dengan kegelapan mulai terangkat, dan Lyra kembali berada di dalam ruangan dengan bola kristal di hadapannya. Raja itu berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit terbaca.

"Kau telah menghadapi bayangan terbesarmu, Lyra. Apa yang kau rasakan?"

Lyra menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah ujian yang begitu berat. “Aku... aku merasa lebih kuat. Lebih sadar akan siapa diriku, siapa yang aku takuti untuk menjadi.”

Raja itu mengangguk pelan. “Kau sudah melewati ujian pertama, Lyra. Namun, perjalananmu belum berakhir. Ujian berikutnya akan lebih berat.”

Lyra menatapnya dengan tekad yang lebih kuat. "Aku siap."

Lyra masih berdiri di hadapan sang raja, napasnya belum sepenuhnya tenang setelah pertarungan batin barusan. Rasanya seperti baru saja dihantam realita versi ultra-HD, Dolby Atmos, dan full immersive experience. Kalau ada tempat ngopi di kastil itu, dia butuh dua cangkir besar sekarang. Minimal.

“Aku kira setelah nyentuh bola kristal itu aku bakal dapat semacam... pencerahan? Tapi malah trauma hampir kambuh,” gumam Lyra sambil mengusap pelipisnya.

Sang raja, masih berdiri dengan anggun seolah tidak terganggu oleh kekacauan energi barusan, hanya mengangkat alis. “Setiap pencerahan dimulai dengan kehancuran kecil.”

“Wah, dalem. Kamu pernah nulis buku kutipan motivasi, ya?” Lyra membalas, setengah bercanda, setengah serius. Tapi raja itu hanya menanggapinya dengan senyum tipis, seolah-olah dia sudah terbiasa menghadapi manusia dengan mekanisme pertahanan berupa humor.

Tak lama kemudian, sebuah pintu besar di balik singgasana terbuka. Di baliknya terbentang lorong batu panjang yang diterangi obor di dinding. Udara dari lorong itu dingin dan membawa aroma tanah basah bercampur sesuatu yang... agak mencurigakan. Semacam bau peluh naga atau monster bekas bangun tidur.

“Lorong itu akan membawamu ke ujian kedua,” ujar sang raja. “Ini bukan hanya tentang melawan kegelapan dalam dirimu, tapi juga tentang menemukan cahaya yang bisa menuntunmu keluar.”

“Kayak iklan lampu LED ya?” Lyra berseloroh, walaupun dalam hati mulai merasa tegang lagi. Kakinya otomatis bergerak ke arah lorong, seolah tubuhnya tahu dia nggak bisa mundur.

Di sepanjang lorong, dia bisa mendengar gema langkah kakinya sendiri. Obor-obor menyala seperti bernyawa, kadang berkedip seperti mata, kadang berkobar tanpa sebab. Di dinding, ukiran-ukiran tua menggambarkan sosok-sosok dengan mata kosong, tangan terangkat ke langit, dan mulut terbuka lebar—seperti sedang menjerit.

“Yah, seramnya nggak nanggung,” Lyra bergumam sambil merapatkan jaketnya.

Setelah berjalan cukup jauh, ia tiba di sebuah aula melingkar. Di tengah aula, berdiri tiga patung berjubah. Wajah mereka tertutup tudung, dan di tangan mereka masing-masing tergenggam obor, cermin, dan pedang.

Sebuah suara bergema dari atas, seperti berasal dari udara itu sendiri.

“Kau harus memilih satu: Kebenaran, Kekuatan, atau Cermin.”

Lyra mengangkat alis. “Cermin? Ini maksudnya aku disuruh skincare-an dulu gitu?” gumamnya. Tapi dia tahu ini bukan main-main. Pilihan ini bukan sekadar simbolik, tapi akan menentukan jalan yang dia tempuh dalam ujian berikutnya.

Ia menatap ketiga patung itu. Obor menyimbolkan Kebenaran—membakar gelap dan menampakkan yang tersembunyi. Pedang mewakili Kekuatan—menghancurkan dan menaklukkan. Dan Cermin... entah kenapa, terasa paling familiar. Bukan karena dia narsis dan sering ngaca, tapi karena selama ini, ia selalu berperang dengan dirinya sendiri.

“Cermin,” bisiknya. “Aku pilih cermin.”

Seketika, patung dengan cermin terangkat dari lantai, dan permukaan aula di bawah kaki Lyra runtuh seperti kaca yang pecah. Ia jatuh—atau mungkin ditarik—ke dalam kehampaan yang tiba-tiba menggeliat seperti hidup.

Ketika ia membuka matanya lagi, dia berada di sebuah ruang kosong putih. Di tengah ruangan itu, ada sebuah cermin besar berdiri sendiri. Tapi, anehnya, pantulan di dalamnya bukan dirinya.

Itu adalah ibunya.

Lyra menahan napas.

Ibunya berdiri di sana, mengenakan gaun merah tua yang sama seperti saat terakhir kali ia melihatnya—tepat sebelum ibunya menghilang tanpa jejak. Tapi bukan hanya itu yang membuat Lyra terpaku. Sosok dalam cermin itu... menangis.

“Kenapa... kenapa kamu ninggalin aku waktu itu?” tanya Lyra, suaranya bergetar. Ia tahu ini bukan benar-benar ibunya, tapi itu tak membuatnya lebih mudah.

Sosok dalam cermin menatap Lyra dengan mata basah. “Aku tidak punya pilihan, Lyra. Tapi kamu... kamu selalu punya pilihan. Untuk memaafkan. Untuk menerima.”

“Maafin? Aku bahkan nggak ngerti kenapa kamu pergi,” desis Lyra.

Tapi kemudian pantulan itu berubah—menjadi dirinya sendiri, tetapi versi yang lebih tua. Matanya lelah, dan pundaknya membungkuk, seolah telah membawa beban bertahun-tahun.

“Kalau kamu terus hidup dengan dendam dan pertanyaan yang tak terjawab, kamu akan menjadi aku,” kata sosok itu. “Kamu akan menghabiskan hidupmu mencoba mencari makna, padahal kamu sendiri bisa menciptakannya.”

Lyra menatap dirinya sendiri—versi yang lelah itu. Perlahan, air mata mulai menggenang di matanya.

“Aku capek nyalahin semua orang... capek nyalahin diri sendiri,” gumamnya. “Tapi aku juga takut. Takut kalau aku melepaskan semuanya... maka aku nggak punya alasan lagi.”

Cermin itu bergetar. Sosoknya lenyap, digantikan oleh cahaya hangat yang menyebar perlahan, menyelimuti seluruh ruangan. Dan ketika Lyra membuka matanya lagi, dia sudah kembali ke aula melingkar.

Ketiga patung itu tak lagi memegang apa pun. Mereka kini memandangi Lyra—atau setidaknya begitu rasanya. Dan di tengah aula, muncul sebuah ukiran di lantai:

“Ketika kau memahami dirimu sendiri, kau tak perlu takut menghadapi dunia.”

Lyra tersenyum kecil, walau matanya masih basah. “Wow. Filosofis banget. Tapi kayaknya aku butuh minum, atau es krim... atau terapi.”

Suara raja menggema dari ujung lorong. “Kau telah melewati ujian kedua. Satu lagi menantimu. Yang terakhir... dan mungkin, yang paling berbahaya.”

Lyra berdiri, mengangkat kepalanya dengan mantap.

“Ayo. Bawa aku ke neraka sekalian kalau perlu. Aku siap.”

Dan dengan langkah yang lebih mantap dari sebelumnya, ia menyusuri lorong gelap lain—menuju bab terakhir dari ujiannya.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!