Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersesat di Suku Kanibal
"Sratt… jleb… jleb…!"
Tombak dan panah menancap tepat di depan kaki Shantand!
Shantand kaget dan merasa di bawa ke dunia nyata!
Ia baru sadar—ia telah salah jalan!
Bukannya kembali ke desa, ia malah melenceng ke hutan berbahaya!
Puluhan orang bersenjata muncul dari balik pepohonan.
Ada yang membawa panah.
Ada yang menggenggam golok dan tombak.
Shantand refleks bersiap! Namun, sebelum ia bergerak…
"Hangan Hergerrak !"
Suara dingin dan aneh itu diikuti gerakan cepat!
Seketika tubuh Shantand terkepung rantai baja!
---
Dari dalam labu tuaknya, suara Bhaskara terdengar santai.
"Hahaha… gara-gara wanita, kita kehilangan kewaspadaan, muridku."
"Kita sudah tersesat dari tujuan.. "
"Lihat sekelilingmu, mungkin mereka hanya mengancam. Kalau mereka mau membunuh, kau pasti sudah mati sejak tadi."
Shantand mengernyit. "Jadi maksud guru…?"
Bhaskara terkekeh.
"Mereka ingin menawanmu. Dan aku lihat ini sebagai kesempatan bagus…"
"Pertama, ini akan menambah pengalamanmu. Kedua, kita dapat penginapan gratis. Hahaha…"
Shantand menelan ludah.
"APA?! Guru tetap tenang dalam labu tuaknya sementara aku diikat seperti ini?!"
Para penawan semakin mendekat!
Apa yang akan terjadi selanjutnya?!
*****
Hutan semakin gelap.
Cahaya bulan pucat menerangi sekeliling.
Sosok-sosok bertelanjang dada dengan tubuh penuh cat warna-warni semakin mendekat…
Ikat kepala mereka terbuat dari kulit ular.
Wajah mereka menyeramkan.
Bibir bawah mereka panjang menjuntai, membuat ucapan mereka terdengar aneh…
"Mrrmmh… uanggkk… tumppahh… mngka…"
Shantand menggigil.
Dari dalam labu tuaknya, suara Bhaskara terdengar santai.
"Hmmm… mereka ini suku Lambe Dower. Kalau mereka ada di sini, berarti kita tersesat di Gunung Sudower…"
Gunung Sudower?! Tempat yang terkenal dalam cerita rakyat…
Di mana tamu asing akan disambut dengan baik…
Diberi makanan enak…
Lalu… KEESOKAN HARINYA, TAMU ITU YANG DIMAKAN!
"APAA?!" Shantand melotot!
"Hahaha…" Bhaskara justru tertawa. "Tenang, muridku… Kita akan tetap jadi tamu mereka. Makan makanan mereka. Tapi kita nggak bakal bisa dimakan. Percayalah pada gurumu."
Shantand menelan ludah.
"Y-yang benar saja, Guru?! Bagaimana caranya?!"
Malam semakin larut…
Para suku Lambe Dower semakin mendekat…
Apakah ini akhir bagi Shantand?!
Shantand menelan ludah. Suasana terlalu mencekam, tapi Bhaskara tetap tenang dalam labu tuaknya.
Para suku Lambe Dower semakin mendekat. Bau tanah basah dan asap kayu bakar menguar di udara. Mereka mengayunkan senjata perlahan, menambah kesan mengancam.
Namun tiba-tiba, dari belakang mereka, berkelebat bayangan seseorang.
Orang itu melayang di udara, berputar dua kali dengan lincah, sebelum mendarat di depan Shantand dalam jarak dua meter.
Pemimpin mereka!
Shantand terkejut. Tidak seperti anggota sukunya yang seram dan bibirnya menjuntai, pemimpin ini berbeda. Mukanya lebih bersih, hanya sedikit dihiasi cat merah. Wajahnya lebih tampan, tidak seperti yang lain.
Dan yang paling mencolok—ikat kepalanya bukan dari kulit ular biasa, melainkan dari ular belang dengan sisik emas yang berkilauan.
Pria itu tersenyum.
“Selamat datang, kawanku…” katanya ramah.
Tapi Shantand bisa merasakan tekanan dalam suaranya. Seolah ada ancaman terselubung.
Lalu pemimpin itu berteriak keras.
“Iwa… Uwaa… Iwaa… Pitikk…!”
Serentak, para suku Lambe Dower mundur selangkah. Formasi kepungan mereka merenggang.
Jalan menuju ke dalam perkampungan terbuka.
“Silakan masuk ke kampung kami, kawanku…” lanjut pemimpin itu dengan senyum yang tetap menghiasi wajahnya. Tapi nada suaranya menegaskan bahwa itu bukan permintaan, melainkan perintah.
Shantand menoleh ke labu tuak di pinggangnya, berharap ada arahan dari gurunya.
Namun Bhaskara hanya terkekeh.
“Ini baru menarik… Masuklah, muridku.”
Shantand menghela napas.
Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti pemimpin suku itu masuk ke dalam kampung yang samar-samar terlihat di balik kabut.
Shantand duduk di atas rumput seperti yang diperintahkan. Di sekelilingnya, suku Lambe Dower menari dengan gerakan khas mereka, tubuh mereka yang penuh cat warna-warni berkilauan di bawah cahaya api unggun.
Pemimpin mereka, Slamet Paramis, kembali mengangkat tangannya ke atas dan berteriak lantang,
“Uwa… Uwaa uwiik… Iwak Ppitikk…!”
Sekejap, seluruh penduduk kampung bersorak bersama.
“Uwa… Uwaa… Iwaak… Pitiiik…!!!”
Suasananya begitu riuh, penuh semangat. Shantand mulai sedikit rileks, tapi tetap waspada.
Pemimpin Suku itu duduk di hadapannya, tersenyum ramah.
“Kawanku, perkenalkan, inyong bernama Slamet Paramis. Inyong pemimpin di suku ini, suku Lambe Dower. Maaf penyambutannya tadi tidak ramah…”
Shantand mengangguk kaku, masih berusaha mencerna situasi.
“Ah, ya… Namaku Shantand…”
Mata Paramis mendelik lucu.
“Santan? Santan kelapa, hah? Hahaha!”
Shantand menghela napas. Pasti bukan pertama kalinya orang salah dengar namanya…
Slamet Paramis menepuk pundaknya dengan ringan.
“Bercanda, kawanku. Tadi suku kami melihat orang asing masuk ke wilayah kami, jadi mereka menganggapnya ancaman.”
Ia menyeringai.
“Tapi mata inyong lebih awas dari mereka. Inyong tahu kalau kawanku ini hanya tersesat…”
Saat percakapan mereka berlangsung, seorang perempuan suku Lambe Dower datang membawa nampan berisi makanan dan minuman.
Tidak seperti para lelaki suku ini, perempuan-perempuan mereka berpenampilan lebih sederhana. Mereka mengenakan baju terusan warna-warni tanpa lengan, membiarkan tangan mereka tetap polos dengan sedikit cat tipis di wajah.
Yang paling mengejutkan bagi Shantand—bibir mereka tidak dower!
Salah satu dari mereka berlutut di depan Shantand, menyajikan hidangan dengan senyum manis.
“Silakan, tamu agung…” katanya lembut.
Shantand menatap Bhaskara di dalam labu tuaknya.
Namun, suara sang guru justru terdengar santai.
“Makan saja, muridku. Aku penasaran rasanya seperti apa… Hahaha.”
Shantand menelan ludah.
Ia menatap makanan di depannya.
Lalu menatap suku Lambe Dower yang mengelilinginya, tersenyum dengan mata berbinar-binar.
Mereka menunggunya…
Shantand mengunyah perlahan. Rasa manis bercampur dengan aroma yang agak amis, tapi semakin lama dikunyah, ada keunikan tersendiri. Mungkin karena ia lapar, atau mungkin lidahnya mulai terbiasa.
Di sekelilingnya, seluruh suku Lambe Dower tersenyum lebar, menatapnya dengan ekspresi penuh harap.
Slamet Paramis menepuk pundaknya dengan penuh semangat.
“Kawanku, akhirnya kau makan juga! Hahaha! Itu namanya Ketela Dower! Makanan kebanggaan suku kami!”
Shantand mengangguk kecil.
“Hmm… unik juga. Tapi… kenapa ada bau amis?”
Slamet Paramis terkekeh.
“Itulah rahasianya, kawan! Ketela itu kami fermentasi dengan air liur Luwak Dower, hewan suci bagi kami!”
Shantand berhenti mengunyah. Perlahan, ia menoleh ke arah Paramis.
“Ma… maaf, tadi kamu bilang… air liur apa?”
“Luwak Dower! Semacam musang besar berbibir panjang! Air liurnya bikin ketela makin nikmat! Hahaha!”
Shantand tercekat. Matanya melirik ke setengah ketela yang masih ada di tangannya. Ia baru saja mengunyah makanan yang direndam dalam air liur musang?! perutnya langsung terasa memberontak.
Dari dalam labu tuak, Bhaskara terkikik puas.
“Hahaha, bagus muridku, kau sudah menghormati adat mereka! Nikmati saja, mungkin bisa menambah pengalaman rasa!”
Shantand ingin protes, tapi ia sadar—suku Lambe Dower masih menatapnya dengan penuh harap.
Tersenyum lebar.
Menunggu reaksinya.
Mau tak mau, Shantand menelan sisa makanan di mulutnya dengan senyum dipaksakan.
“Uh… ya… nikmat sekali…”
Slamet Paramis tertawa keras, diikuti seluruh suku.
“Hahaha! Bagus! Kalau begitu, ayo lanjutkan pesta!!”
Tari-tarian kembali dimulai, irama tabuhan gendang semakin cepat, dan Shantand hanya bisa menatap ke langit malam.
Ini akan menjadi malam yang panjang…
*****
Paramis menatap Shantand dengan penasaran, lalu bertanya, “Kawanku, sebenarnya kau ini apa? Apa pekerjaanmu di tempat asalmu?”
Shantand, yang mulai merasa nyaman setelah sambutan hangat suku Lambe Dower, menjawab, “Aku seorang pedagang tahu.”
Paramis mengernyitkan dahi. “Tahu? Apa itu tahu?”
Shantand menghela napas, lalu membuka keranjangnya yang masih menyisakan beberapa potong tahu. Ia mengangkat satu dan menunjukkannya kepada Paramis. “Ini namanya tahu. Makanan ini dibuat dari kedelai dan bisa dimasak dengan berbagai cara, seperti digoreng atau dijadikan campuran masakan.”
Paramis mengambil sepotong tahu, memeriksanya dengan cermat, lalu mencium aromanya dengan ragu. “Ini… makanan?”
Shantand mengangguk. “Iya. Kalian punya minyak, garam, atau bumbu lainnya?”
Paramis mengucapkan beberapa perintah pada para pembantunya.
Lalu Beberapa perempuan suku langsung bergegas dan kembali dengan membawa minyak kelapa, garam, dan beberapa rempah-rempah yang mereka gunakan dalam masakan sehari-hari.
Shantand tersenyum dan mulai memasak. Ia menyalakan api, menuangkan minyak ke dalam wajan batu, lalu dengan hati-hati memasukkan tahu ke dalamnya. Suara mendesis segera terdengar, diikuti aroma harum yang langsung menarik perhatian semua orang di sekitarnya.
Beberapa penduduk mulai membungkuk, mendekatkan wajah untuk mencium bau yang keluar dari wajan. Mereka saling berbisik, tampak penasaran dan sedikit takjub.
Saat tahu matang keemasan, Shantand mengangkatnya, menaburkan sedikit garam, lalu menyodorkan potongan pertama kepada Paramis.
Pemimpin suku itu menerimanya dengan ragu, lalu menggigit kecil. Seketika matanya membelalak. Ia terdiam beberapa detik, mengunyah perlahan, lalu tiba-tiba tertawa lebar.
“Hahaha! Ini luar biasa!! Iwaaak pitttiiick.." teriak Paramis.
Tanpa menunggu lama, ia memberi isyarat kepada yang lain untuk mencoba. Dalam sekejap, seluruh tahu yang ada di dalam keranjang digoreng dan dibagikan.
Saat mereka mencicipi, suasana langsung berubah. Penduduk suku Lambe Dower mulai menabuh alat musik sederhana, menari dengan penuh semangat, dan berteriak riang.
"Dan serentak mereka dengan kompak mengucapkan kata
- "iwaak pitiiik" Beberapa kali.
“Kawanku, kau luar biasa!” seru Paramis. “Tahu ini sungguh seperti makanan dewa bagi kami! Enak luar biasa! Kami ingin lebih banyak! Apakah kau bisa memberikannya kepada kami?”
Shantand tak menyangka sambutan mereka akan seheboh ini. Ia hanya bisa tersenyum dan menjawab, “Bisa… bisa! Asalkan kalian mau mengambilnya di tempat yang kita sepakati.”
Paramis dan para tetua suku mulai berdiskusi dalam bahasa mereka sendiri.
Sementara itu, Bhaskara yang mengerti percakapan mereka hanya terkekeh.
“Muridku, kau selamat. Saat ada sesuatu yang bisa dipertukarkan, nyawamu tak lagi jadi taruhan. Mereka menganggapmu utusan dewa… karena membawa makanan terenak bagi mereka.”
Shantand menghela napas lega. Namun sebelum ia sempat bersantai, Bhaskara menambahkan,
“Sebelumnya, makanan terenak bagi mereka adalah daging manusia ... Hahaha”
"Dan makanan yang kau makan tadi adalah semacam bumbu untuk daging manusia agar semakin nikmat ketika nanti dimasak.. hhaha"
Jantung Shantand langsung berdegup kencang.
Tiba-tiba, Paramis menepuk pundaknya dengan penuh semangat.
“Tuan Shantand! Mulai sekarang, kau adalah tamu kehormatan kami! Bahkan lebih dari itu… Kami akan menyebutmu Raja shantand!”
Seluruh suku serempak bersorak. "Raja shantand!! Raja santan!!”
Shantand hanya bisa tertawa kaku, sementara Bhaskara di dalam labu tuak kembali terkikik.
“Hahaha… Muridku, kau baru saja menjadi pedagang tahu paling beruntung… dan paling berbahaya… di dunia.”
Ya tahu telah menyelamatkan nyawa Shantand!
---
Keesokan paginya...
Shantand berdiri di tepi perkampungan suku Lambe Dower, siap untuk pulang. Beberapa anggota suku sudah berkumpul, termasuk Paramis yang tersenyum sambil menepuk bahu Shantand.
"Kawanku, perjalananmu masih jauh, tapi jangan khawatir. Kami akan mengantarmu hingga ke batas hutan dan memberi petunjuk arah pulang."
Shantand mengangguk penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Paramis. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian."
Paramis tertawa kecil. "Tentu saja! Bagaimana mungkin kami melupakan seseorang yang membawa makanan dewa?"
Beberapa anggota suku mulai berjalan mendampingi Shantand, menunjukkan jalan yang harus ia tempuh. Saat mereka sampai di sebuah batu besar yang ditandai dengan ukiran suku, Paramis menunjuk ke arah utara.
"Di sana, ikuti jalur sungai kecil itu, lalu belok ke timur setelah melewati pohon beringin besar. Kau akan menemukan jalan yang lebih mudah menuju tempat asalmu."
Shantand menghafal arah tersebut dalam pikirannya. Ia menatap Paramis dan tersenyum. "Aku akan kembali sesuai kesepakatan. Kita bertemu di tempat yang sudah kita tandai untuk transaksi tahu."
Paramis mengangguk. "Kami akan menunggu. Jangan lupa bawa lebih banyak tahu! Sekarang pergilah, sebelum matahari terlalu tinggi."
Shantand melangkah pergi dengan perasaan lega. Di dalam labu tuak, Bhaskara mendengus.
"Kau beruntung, muridku. Tak hanya selamat, tapi kini kau punya pelanggan baru."
Shantand tersenyum kecil. "Ya, pelanggan yang hampir memakanku jika aku tidak membawa tahu..."
Bhaskara tertawa kecil. "Itulah seni berdagang, muridku. Kadang, nyawa jadi taruhannya."
Shantand hanya menghela napas dan terus berjalan, siap kembali ke peradaban dengan kisah baru yang tidak akan pernah ia lupakan.
---