Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana C Pangeran Pertama
Penjaga menggiring seorang pelayan dapur masuk ke halaman sidang. Wajahnya lusuh. Pipi kanannya bengkak seperti baru selesai menangis. Keringat bercucuran meski udara masih sejuk.
“Nama?” tanya Kasim Agung.
“Zhou Nian, pelayan dapur Kediaman Timur.”
Kaisar menurunkan pandangannya dari singgasana. “Kenapa kau mencoba melarikan diri?”
Pelayan itu gemetar. Lalu, seperti sudah menghafalkan jawabannya, ia mulai bicara:
“Semua ini… adalah perbuatan saya sendiri.”
Gumaman kembali terdengar.
“Saya tidak disuruh siapa pun. Saya yang mencuri lencana itu. Saya yang menyuruh dua orang menyusup dan menyerang saksi. Mereka adalah… suami dan anak saya.”
Beberapa bangsawan tampak kaget.
Zhou Nian melanjutkan, dengan suara pelan namun terstruktur:
“Saya menyimpan dendam pada dua pangeran. Pangeran Keempat—karena dia memenjarakan ayah saya, Kepala Desa An, ini soal masalah pajak tahun lalu. Dan… Pangeran Pertama… karena dia memecat suami saya dari jabatan juru catat.”
“Saya... membenci keduanya.”
Ia menunduk. “Dan saat tahu Pangeran Keempat akan menggunakan kuda dari kandang luar… saya memutuskan untuk membalas. Saya tahu... ini akan dihukum mati. Tapi saya ingin keduanya tahu… mereka bukan dewa.”
Kaisar menyipitkan mata. “Lalu surat pengakuan yang muncul sebelum ini?”
Zhou Nian terdiam sejenak. Lalu berkata,
“Itu juga saya yang tulis. Saya tahu akan ada pemeriksaan. Saya ingin... membuat semuanya terlihat seperti permainan orang dalam.”
“Dan saya... berhasil, bukan?”
Para menteri saling menatap. Sebagian terlihat bingung. Sebagian... justru tampak mencurigai karena kalimatnya terlalu matang.
Yu Zhen yang berdiri tak jauh hanya menunduk, meremas sisi jubahnya sendiri.
Di dalam pikirannya: "Kalau itu ditulis oleh dia... kenapa menyebut 'keponakan dari desa selatan'? Kenapa menyebut Pangeran menyelamatkan orang waktu banjir? Itu kan tidak berkaitan…"
Namun ia menahan diri. Sudah ada pengakuan. Sudah ada “pengakuan sukarela”. Tidak mungkin ia yang cuma dayang melontarkan keraguan terhadap alibi yang “sempurna”.
Di sisi lain, Jing Rui hanya menatap lurus, ekspresinya tak terbaca.
Lian He melirik ke arah tuannya, lalu bergumam lirih, “Terlalu rapi. Terlalu bersih.”
“Dan karena itu... tak bisa dijebol,” jawab Jing Rui sama lirihnya.
Lian He kembali menambahkan “Surat lama itu... terlalu tulus untuk sekadar pengalihan. Tapi…”
Jing Rui hanya menatap ke depan. Diam. Satu-satunya reaksi hanyalah ketukan jari pada gagang kursi.
Mereka berdua tahu. Semua tahu. Tapi…
Kaisar hanya bisa menjatuhkan hukuman berdasarkan bukti dan saksi.
Bukan intuisi.
“Zhou Nian,” kata Kaisar akhirnya, “telah mengaku. Maka ia... dijatuhi hukuman mati atas tindakan sabotase Parade dan percobaan pembunuhan terhadap keluarga kerajaan.”
Suara gendang ditabuh pelan.
Zhou Nian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum samar… lalu dibawa pergi tanpa penolakan ataupun drama tangisan seakan dia sudah mempersiapkan diri sebelumnya.
Saat Zhou Nian digiring keluar, Pangeran Pertama menatap punggung wanita itu dengan dingin. Dalam hatinya:
“Dasar pengkhianat.”
Yang ia maksud… bukan si Zhou Nian.
Tapi pelaku kedua dari hari sebelumnya. Suruhan lain yang sebelumnya disiapkan untuk menyabotase kuda dan membunuh saksi bila perlu, yakni suami Zhou Nian.
Dia — yang malah mencuri lencana.
Dia — yang menulis surat ke Jing Rui. Bahkan menyebutkan bahwa keluarganya pernah diselamatkan.
Itu kelemahan fatal.
“Sudah diberi makan, disembunyikan, dilatih… dan dia malah menulis surat. Bahkan menyebut nama keluarga.”
“Aku bisa memaafkan kebodohan, tapi bukan pengkhianatan.”
“Keluarga besarnya akan menerima akibatnya. Aku tidak perlu membunuh. Cukup buat mereka tak bisa menikah, tak bisa bekerja, dan digosipkan cukup keras hingga semua menyingkir.”
Pangeran Pertama mengatur napas. Wajahnya kembali netral. Ia lalu melirik ke arah para menteri.
Dan tak satu pun dari mereka yang berani menyentuh isu ini lebih lanjut. Bukti sudah jelas. Saksi sudah mengaku. Surat dari pelaku lama bisa diabaikan karena dianggap hasil manipulasi.
Rencana A gagal — itu yang menyerang dan ketahuan.
Rencana B — pelaku cadangan malah membelot.
Tapi Rencana C... sukses.
Cukup satu orang yang mengaku sebagai pelaku tunggal.
Dan sisanya, tinggal angin.
Pangeran Pertama tersenyum tipis ke arah para menteri seakan menunjukkan bahwa tak ada seorangpun yang boleh mencari masalah dengannya.
Ia mudah gusar dan ceroboh, namun soal kelicikan, ia tertutup dan rapi.
Saat sidang mulai dibubarkan, sorot mata Kaisar tetap tajam namun tidak ada yang tahu isi sebenarnya. Mungkin beliau juga mengerti.
Namun, bahkan seorang Kaisar... terikat masalah aturan istana.
Sementara Pangeran Pertama menoleh ke arah bawah. Wajahnya datar. Tapi dalam hati ia sudah menyusun daftar nama yang perlu diawasi dan dibereskannya malam ini.
"Kasus ditutup, kita akan lanjutkan kegiatan parade panen hari ini," ujar Kaisar akhirnya, diikuti dengan suara gong kecil tanda penutupan sidang.
Di sisi timur lapangan, tepat di balik pagar kayu dan deretan tiang pilar samping panggung kehormatan, barisan dayang dari barak barat berdiri dalam formasi longgar.
Mereka memang tak diizinkan ikut duduk atau mendekat ke tengah. Tapi dari celah tirai bambu dan sela pagar, mereka masih bisa melihat cukup jelas panggung sidang darurat.
Dan… mendengar, kalau kebetulan angin meniup ke arah mereka.
“Eh... itu Yu Zhen, kan?” bisik seorang dayang sambil menyipitkan mata ke arah lapangan.
“Iya. Itu dia,” sahut satu lagi, tangannya menggenggam erat ujung lengan bajunya. “Dayang pojok yang kemarin masuk barak. Gila, dia bisa berdiri di situ…”
“Muka masih pucat, lengan masih dibebat… tapi bisa ngomong sejelas itu?” desis yang lain, agak kagum.
“Jangan-jangan dia bukan dayang biasa,” gumam satu yang lebih muda, nyaris berbisik.
“Aduh, kalian ini terlalu cepat berimajinasi,” sela seorang dayang yang tampak lebih senior. “Kalau dia istimewa, nggak mungkin masuk barak kita kemarin.”
Tapi bisik-bisik itu belum berhenti. Justru makin cepat, makin mendesak.
“Kalian tadi denger, kan? Dia bicara panjang soal waktu dan logika… terus tiba-tiba bilang dia dipeluk Pangeran Keempat…”
Beberapa langsung menoleh bersamaan.
"Tapi dia menceritakan itu di depan banyak orang penting, menurutmu karena polos atau cari pengakuan kalau sekarang dia dekat dengan Pangeran Keempat?"
“Hssst! Jangan sebut keras-keras! Di belakang kita ada kasim lalu-lalang.”
Tapi satu suara tak sabar menyela, nadanya agak tinggi. “Huh, lucu sekali. Sekarang semua bicara tentang Yu Zhen.”
Mereka menoleh. Shuang Mei.
Sang ‘ratu barak’ berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Senyumnya tipis, tapi kaku.
“Kalau saja pengawas tak kubujuk untuk menugaskannya ke kandang hari itu…,” desisnya pelan, nyaris untuk dirinya sendiri, “...dia tidak akan ada di situ sekarang.”
Dayang lain menahan napas. Beberapa saling melirik—mereka baru ingat.
Ya. Yang berencana menyarankan penugasan Yu Zhen ke tempat itu… adalah Shuang Mei sendiri. Mungkin sebagai pelajaran karena gadis baru itu tidak mau tunduk padanya.
“Gawat,” gumam Qin'er. “Kalau benar Shuang Mei yang menyuruh dia ke tugas itu… dan sekarang Yu Zhen malah diperhatikan langsung oleh Yang Mulia…”
“...bisa-bisa, malah dia yang terancam.”