Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Sera tidak bisa membunuh Gregor begitu saja. Bukan karena dia tidak mampu, tetapi karena mempertimbangkan dampak politik yang akan mengguncang Argueda dari dalam. Gregor, meskipun bukan pewaris sah, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam lingkaran politik kerajaan. Membunuhnya secara langsung bisa memicu bentrokan internal yang berbahaya bagi kestabilan Argueda.
Namun, Gregor melakukan kesalahan besar jika berpikir bahwa Riana akan terikat oleh pertimbangan yang sama.
Riana bukan Sera.
Dia tidak peduli pada kestabilan politik Argueda. Dia tidak peduli pada dampak diplomatik atau konsekuensi strategis. Dia hanya tahu satu hal: Yuki adalah miliknya.
Dan Gregor telah berani menyentuh sesuatu yang bukan miliknya.
Riana adalah pangeran dari negeri Garduete. Sebuah kerajaan yang lebih kejam, lebih brutal, dan tidak akan ragu untuk menumpahkan darah demi mempertahankan haknya. Jika Gregor berpikir dirinya cukup cerdik untuk mengambil sesuatu dari Riana, maka dia telah memilih musuh yang salah.
Yuki mungkin belum pernah menikah secara resmi dengannya. Tapi itu hanya formalitas yang tidak pernah mengubah kenyataan yang ada di benak Riana.
Yuki adalah istrinya.
Dan siapa pun yang berani menyentuh miliknya akan mati.
...****************...
Yuki duduk di depan cermin besar dengan ekspresi bingung. Tangan para pelayan dengan cekatan menata rambutnya, menyematkan hiasan bunga kecil di antara helaiannya, dan memastikan setiap helai gaunnya jatuh dengan sempurna. Gaun putih yang dikenakan Yuki begitu indah—anggun dan menawan, terbuat dari kain halus yang berkilau lembut di bawah cahaya lilin.
Namun, kebingungan terus mengusik pikirannya.
“Kenapa aku harus memakai ini?” tanyanya akhirnya, suaranya mengandung nada curiga.
Para pelayan saling bertukar pandang, seolah ragu untuk menjawab. Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menjawab dengan hati-hati. “Kami hanya mengikuti perintah, Yang Mulia. Pangeran Riana memerintahkan kami untuk mendandani Anda seindah mungkin hari ini.”
Yuki semakin bingung. Kenapa Pangeran Riana tiba-tiba ingin dia berdandan seperti ini?
Dia mencoba mencari petunjuk dari wajah para pelayan, tapi tidak ada yang tahu lebih banyak. Mereka hanya menundukkan kepala, fokus menyelesaikan tugas mereka.
Hatinya mulai gelisah.
Apa yang sedang direncanakan Pangeran Riana?
Pintu ruangan terbuka, dan Pangeran Riana akhirnya masuk. Langkahnya mantap, penuh percaya diri, dan matanya langsung tertuju pada Yuki. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya saat ia mengamati Yuki dari ujung kepala hingga ujung kaki, jelas puas dengan hasilnya.
Yuki tanpa sadar menunduk, tidak sanggup menahan intensitas tatapan pria itu. Matanya justru tertuju pada tangan Pangeran Riana—telapak tangannya yang terluka, dengan perban yang Yuki sendiri pasang semalam.
Dia masih ingat bagaimana dirinya terbangun di tengah malam dan mendapati Pangeran Riana tertidur di sampingnya, napasnya teratur namun ekspresinya tetap tajam meskipun dalam tidur. Saat itu, dia melihat darah mengering di tangannya, luka akibat pecahan kaca.
Apa yang telah membuatnya begitu marah?
Yuki menebak, mungkin Pangeran Riana telah meremas sesuatu—gelas kaca, mungkin—hingga pecah dan melukai tangannya sendiri. Tapi kenapa? Apa yang membuatnya kehilangan kendali sampai seperti itu?
Yuki menggigit bibirnya, hatinya diliputi pertanyaan yang belum terjawab. Pangeran Riana selalu menyimpan banyak rahasia, dan Yuki tidak tahu apakah dia ingin mengetahui jawabannya atau tidak.
Yuki menatap Pangeran Riana dengan bingung saat melihat pria itu mengenakan pakaian formal kerajaan, tampak lebih anggun dan berwibawa dari biasanya. Kilauan emas pada jubahnya memantulkan cahaya, menambah aura otoritas yang tak terbantahkan.
“Apakah ada acara penting hari ini?” tanyanya, merasa ada sesuatu yang janggal.
Pangeran Riana, yang sejak tadi mengamatinya dengan pandangan puas, hanya tersenyum tipis. “Ya,” jawabnya tenang, “Pendeta suci mengatakan ini adalah hari baik. Jadi ayo kita pergi.”
Yuki mengerutkan kening, firasat buruk mulai menyelimutinya. “Pergi ke mana?”
Pangeran Riana melangkah lebih dekat, membiarkan aroma khasnya menyelimuti ruang di antara mereka. Dia menatap Yuki dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan satu kata yang membuat dunia Yuki seolah berhenti berputar.
“Menikah.”
Yuki membeku. Jantungnya berdegup kencang, dan seketika ruangan terasa semakin sempit. “Apa…?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Pangeran Riana tidak mengulang ucapannya, seolah yakin bahwa Yuki telah menangkap maksudnya dengan jelas. Sebaliknya, dia hanya mengulurkan tangannya, menunggu Yuki menggenggamnya.
Namun, Yuki justru melangkah mundur, kebingungan dan ketakutan bercampur dalam benaknya. “Tidak… Aku tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba—”
“Apa yang perlu kau pahami?” potong Pangeran Riana, nada suaranya tetap tenang, tapi ada ketegasan yang membuat Yuki tahu bahwa dia tidak diberi pilihan. “Kau adalah milikku, Yuki. Sudah seharusnya kita menikah.”
Mata Yuki membelalak. Ada sesuatu dalam sorot mata Pangeran Riana yang membuatnya semakin gelisah—bukan sekadar dominasi yang biasa ia tunjukkan, tetapi juga kepemilikan mutlak.
“Tidak… Aku…”
“Kau tidak perlu berpikir terlalu banyak,” sela Pangeran Riana, mendekat dengan langkah mantap. “Pernikahan ini sudah diputuskan. Kau hanya perlu mengikutiku.”
Yuki menelan ludah, merasa semakin sulit bernapas. Seakan-akan, sejak awal, dia memang tidak pernah punya pilihan.
“Tapi bukankah kita sudah menikah?” Yuki bertanya dengan ragu, mengangkat tangannya untuk menunjukkan cincin bermata biru yang melingkar di jarinya. Matanya menatap Pangeran Riana, mencari jawaban. “Dan kita sudah punya dua anak…”
Pangeran Riana menatap cincin itu sejenak, lalu tersenyum tipis—senyum khasnya yang sulit ditebak antara kesenangan atau ancaman. “Ya,” katanya pelan, “tapi kita belum menikah secara resmi.”
Yuki membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, tapi tatapan tajam Pangeran Riana menghentikannya.
“Jadi sekarang, ayo ikut,” lanjutnya, suaranya tenang namun penuh ketegasan. “Atau… kau ingin aku menggendongmu saja?”
Nada suara Pangeran Riana terdengar begitu santai, namun di baliknya tersirat kepastian bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya. Yuki tahu bahwa menolak bukanlah pilihan yang bisa dia ambil tanpa konsekuensi.
Namun, alih-alih menunggu jawaban, Pangeran Riana langsung melangkah mendekati Yuki. Tanpa peringatan, lengannya yang kuat melingkari tubuhnya, mengangkatnya dengan mudah seolah Yuki tidak memiliki berat sama sekali.
Yuki tersentak, matanya membelalak saat udara di sekitarnya berubah. “Pangeran Riana—”
“Sudah kubilang, kita akan menikah,” potong Pangeran Riana tanpa memberi ruang untuk protes. Langkahnya tegap dan tanpa ragu, membawa Yuki keluar dari kamar dengan mantap.
Pelayan-pelayan yang berbaris di sepanjang koridor menundukkan kepala, tidak ada satu pun yang berani menghalangi atau bahkan mempertanyakan tindakan sang pangeran. Yuki hanya bisa menatap sekitar dengan bingung, dadanya berdebar keras.
Mereka melangkah menuju altar pernikahan—menuju ikatan yang tak bisa dihindari.
...****************...
Di dalam kuil yang megah dan penuh cahaya dari lilin-lilin suci, suasana terasa khidmat. Pilar-pilar tinggi menopang langit-langit berkubah yang dihiasi lukisan kisah-kisah lama, sementara lantai marmer putih berkilauan di bawah cahaya lembut.
Di tengah ruangan, di depan altar yang dihiasi kain sutra emas, Bangsawan Voldermon dan Bangsawan Xasfir telah berdiri sebagai saksi pernikahan ini. Keduanya tampak tenang, tetapi sorot mata mereka tidak bisa menyembunyikan ketajaman pengamatan mereka terhadap kejadian yang berlangsung.
Tak jauh dari mereka, Tuan Veyron dari Argueda berdiri dengan sikap anggun, matanya yang penuh pengalaman menatap lurus ke arah Yuki. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tetapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit diterjemahkan—apakah itu rasa khawatir, atau justru kepasrahan terhadap keadaan?
Di depan altar, pendeta suci dengan jubah putih panjang telah bersiap. Tangannya menggenggam kitab suci, dan raut wajahnya penuh ketenangan seorang pria yang akan menyaksikan sumpah suci di bawah restu para dewa.
Di antara semua hadirin, hanya satu sosok yang bergerak dengan penuh kendali—Pangeran Riana. Dengan langkah tegas, ia membawa Yuki dalam gendongannya, tidak memberi kesempatan bagi perempuan itu untuk memberontak.
Di tengah kebingungannya, Yuki hanya bisa mengikuti langkah Pangeran Riana, membiarkan para pendamping pengantin menuntunnya menjalani setiap ritual pernikahan. Segalanya terasa seperti mimpi—terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, namun tak ada celah untuk menolak atau bahkan bertanya.
Lilin-lilin suci di altar menyala terang, mengirimkan aroma dupa yang lembut memenuhi ruangan. Yuki menatap ke depan dengan kosong, mendengar lantunan doa yang diucapkan pendeta, tetapi maknanya terasa jauh dari jangkauannya.
Ketika tiba saatnya bertukar cincin, Pangeran Riana meraih tangan Yuki dengan lembut namun tak tergoyahkan. Ia menatap cincin bermata biru di jari manis perempuan itu. Tanpa ragu, ia melepaskannya.
Yuki menahan napas saat Pangeran Riana mengeluarkan cincin lain dari dalam sakunya—sebuah cincin yang berbeda. Cincin yang telah ia persiapkan lima tahun lalu.
Tidak ada yang tahu bahwa sejak dulu, sejak sebelum semua kekacauan ini terjadi, Pangeran Riana telah memiliki cincin itu. Cincin yang seharusnya menjadi simbol dari janji mereka di masa lalu. Namun, takdir membawa mereka pada jalan yang berliku, hingga akhirnya, setelah bertahun-tahun, cincin itu kini berada di tempat yang seharusnya—melingkari jari manis Yuki.
Mata Pangeran Riana berkilat dengan rasa puas. Akhirnya. Akhirnya, cincin itu berfungsi sebagaimana mestinya.