Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Agenda nonton film kali ini seharusnya berlangsung aman dan menyenangkan, tetapi karena kehadiran perempuan asing yang menyapa ayahnya dengan begitu akrab, Naren jadi tidak bisa mengikuti jalannya film dan hanya terus memperhatikan gerak-gerik keduanya selama film berlangsung.
Naren tidak tahu kenapa bisa ada kebetulan semacam ini tetapi, perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Michelle itu ternyata menonton film yang sama, dengan seat number bersebelahan dengan milik Naren dan ayahnya. Oh, si Michelle itu tidak sendirian, dia bersama dengan kekasihnya yang berwajah belasteran, tetapi Naren tidak mengerti kenapa perempuan itu malah memilih untuk duduk di samping ayahnya.
Naren menarik dan membuang napas dengan kasar, berharap itu cukup ampuh menjadi sinyal bagi ayahnya untuk mengetahui bahwa dia sama sekali tidak nyaman. Walaupun ayahnya sudah mengenalkan Michelle sebagai sepupunya Om Daniel, Naren tetap merasa ada yang aneh dengan interaksi antara ayahnya dan perempuan itu. Seperti ada yang coba disembunyikan.
Saat ini, sudah ada banyak sekali asumsi yang berkeliaran di kepala Naren. Seperti identitas Michelle yang sebenarnya hanya samaran dan lelaki yang mengaku sebagai pacarnya itu hanyalah setingan. Bagaimana kalau ternyata Michelle ini berpacaran dengan ayahnya, dan agenda pertemuan antara ayahnya dan Om Daniel sebelumnya adalah pengalihan isu, padahal sebenarnya itu adalah agenda untuk sebuah perjodohan?
Sepenuhnya meninggalkan layar bioskop, Naren mengalihkan pandangan pada ayahnya dan Michele secara bergantian. Dua orang itu tampak serius menatap layar, tetapi beberapa kali sejak mereka duduk di sini, dia sempat menangkap mereka sedang berkomunikasi melalui gestur yang tak biasa.
“Ayah.” Naren mencicit. Janu menelengkan kepala ke arahnya, tapi masih enggan meninggalkan layar bioskop. “Kita perlu bicara serius sehabis ini,” bisiknya. Tidak terlalu pelan, sengaja supaya Michelle juga bisa ikut mendengar.
Barulah setelah Naren berkata begitu, Janu mau menatapnya, dan tatapan lelaki itu benar-benar penuh sekali dengan kegugupan yang membuat Naren semakin curiga. Ayahnya selalu pandai dalam mengendalikan sikap dan gerak tubuh, tetapi tidak dengan matanya. Mata lelaki itu terlalu jujur, Naren selalu bisa menangkap sebuah kebohongan dari sana.
“Soal apa?” tanya Janu setelah jeda yang cukup lama sejak ucapan Naren selesai mengudara.
Naren melirik lebih jauh ke arah Michelle, di mana perempuan itu tampak sedang menerima suapan popcorn dari pacarnya. Oh, they look like a sweet couple, tapi entah kenapa dia tetap tidak bisa berhenti curiga.
“Soal dia,” bisiknya. Sebelum ayahnya menoleh ke arah Michelle, Naren kembali membawa pandangan ke layar. Ah, sialan, gara-gara Michelle, dia jadi melewatkan banyak sekali adegan penting dari film yang mereka tonton sekarang. “You have to know bahwa Naren nggak percaya kalau dia bukan siapa-siapa Ayah.” Pungkasnya, lalu dia membiarkan obrolan ini selesai.
Film yang mereka tonton sisa kurang dari 20 menit lagi, akan sangat menyebalkan kalau Naren juga harus sampai ketinggalan ending ceritanya.
Maka, dia sepenuhnya meninggalan persoalan ayahnya, membiarkan saja lelaki itu bergulat dengan isi kepalanya—yang mungkin saja sedang sibuk memikirkan alasan untuk diberikan kepada dirinya.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
“Wah, filmnya seru banget, ya! Nggak nyangka bakal seseru ini. Untung aku ikut rekomendasi Edward.”
Mendengar cerocosan Michelle, Naren hanya bisa memutar bola mata malas. Mau dilihat dari sudut mana pun, interaksi lovey dovey antara Michelle dengan ‘kekasihnya’ itu tampak janggal. Seperti terlalu dekat dan terkesan di paksakan. Oh, atau karena dia yang sudah terlanjur terkena doktrin bahwa ada sesuatu antara Michelle dengan ayahnya?
“Next time kita nonton bareng lagi yuk, sama Kay juga!”
Kay? Kedengaran tidak asing. Naren seperti pernah mendengar nama itu sebelumnya, tetapi tidak ingat kapan dan di mana pastinya.
Meski begitu, munculnya nama baru dari bibir Michelle tetap membuat Naren tertarik. Terlebih saat menemukan ayahnya tampak menegang dan Michelle yang langsung membekap mulutnya dengan panik.
Naren menatap ayahnya secara intens, meminta penjelasan atas nama yang barusan muncul dan seketika membuat suasana menjadi awkward.
“My cat,” Jawaban itu datang dari Michelle, alih-alih Janu.
Naren kembali menatap perempuan bergaun peach di bawah lutut itu dengan sorot yang lebih tidak bersahabat. “Sejak kapan kucing boleh masuk bioskop?” tanyanya dengan nada sarkas. Kalau Michelle termasuk golongan yang peka membaca situasi, dia harusnya akan menghentikan omong kosong ini supaya mereka bisa berpisah dengan suasana yang tidak tambah aneh.
Namun, tanpa Naren duga, Michelle malah melanjutkan celotehnya yang seketika membuat dirinya geleng-geleng kepala.
“Ada, loh, Naren. Udah ada beberapa mal dan bioskop yang animal friendly. My friend udah pernah ajak husky dia buat nonton The Marvels.”
Nah, talk to my hand! Naren ingin berkata begitu, tetapi karena itu tidak sopan dan dia bisa saja dijewer sampai telinganya putus oleh ayahnya, Naren pun memutuskan hanya mengatakan hal itu dengan lantang di dalam hati.
Malas memperpanjang basa-basi aneh ini, Naren menarik lengan ayahnya sebagai tanda bahwa dia benar-benar mau mereka segera pergi. “Waktu magrib udah mau habis, jangan sampai kita skip cuma karena sibuk ngurusin duniawi.” Dia membisikkan kalimat itu persis di telinga ayahnya.
“Iya, sabar.” Lengan Naren dilepas pelan, lalu Janu berpamitan dengan cara yang lebih baik kepada Michelle dan Edward.
“Next time kita jalan bareng, ya,” meski bisik-bisik, Naren masih bisa mendengarnya dengan jelas dan rasanya ingin menepuk bibir merah merona Michelle menggunakan ujung sepatunya. Supaya bibir itu makin merah dan kelihatan semakin berisi. Alias, demi Tuhan, dia sudah muak dengan tingkah absurd perempuan itu!
“Iya, see you guys!” Janu melambaikan tangan kepada Michelle dan Edward, mereka membalasnya dengan cara yang sama.
Tidak usah tanya apa yang Naren lakukan. Dia hanya langsung berjalan dan menyeret lengan ayahnya tanpa mau berbasa-basi dengan cara serupa.
“Pelan-pelan,” tegur ayahnya, tetapi Naren tidak peduli dan tetap saja mengayunkan langkah.
Semakin jauh jarak mereka dengan Michelle dan Edward, semakin banyak pertanyaan yang Naren kumpulan di kepala untuk dia tanyakan kepada ayahnya setibanya mereka di rumah nanti.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
“Itu tadi anak bungsunya?” Di perjalanan pulang, Edward memuntahkan pertanyaan yang sejak tadi dia tahan-tahan.
Michelle dari balik kemudi mengangguk hanya sedetik kemudian. “Judes dan aura bokem yang dia punya kuat banget, kan? That’s why aku khawatir Kay nggak akan kuat buat handle.”
Alih-alih setuju, Edward malah terkekeh seraya menepuk-nepuk puncak kepala Michelle. “Kita semua kan tahu kalau Kay itu pawangnya para bocil kematian doyan tantrum. Bet me, anak itu pasti bisa luluh dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. Oh, malah bisa jadi lebih cepet?"
Michelle menoleh sebentar untuk mencari tahu dari mana datangnya kepercayaan diri yang Edward miliki. Tetapi kemudian dia sadar bahwa apa yang kekasihnya itu katakan adalah benar. Dia adalah saksi hidup dari sudah berapa banyak bocil kematian yang berhasil Kayanara taklukkan, jadi seharusnya tidak ada yang perlu dia khawatirkan.
“Percaya sama aku, she can do this. Kalau Janu memang calon yang tepat buat Kay, aku yakin dia juga nggak akan biarin Kay struggle menghadapi anak bungsunya sendirian.” Genggaman hangat yang Edward berikan menjadi dorongan semangat bagi Michelle, membuatnya kian berkobar seolah sedang memperjuangkan nasibnya sendiri.
“Yeah, she can do this!”
Bersambung....