Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Sarapan
Eva tentu saja tidak bisa menolak. Ia membiarkan saja tangan pria itu bergerak ke arah perutnya. Saat menyentuh perut Eva, gadis itu panik membuat Adam spontan merangkul pinggang sang gadis dari belakang.
"Hei, jangan takut. Aku hanya ingin menyentuhnya saja. Aku tahu pasti setiap hari kamu menyentuhnya. Aku hanya ingin merasakannya juga seperti kamu merasakannya." Pria itu tidak sadar, rangkulannya membuat tubuh Eva menegang dan jantungnya berpacu cepat.
"Eh, iya." Namun Eva hanya melihat ke samping.
Wajah Adam terlihat berubah senang. Ia tersenyum. "Belum bergerak ya ...."
Padahal Adam tidak tahu, Eva tengah mengagumi wajah tampannya dari dekat. Eva tersadar ketika Adam berpaling ke arahnya. "Memangnya kamu belum merasakan apa pun?"
"Eh?" Seketika Eva panik dan mengalihkan pandangan ke arah lain. "Mmh, belum."
"Ya sudah, kita langsung makan malam saja. Tapi kamu harus bilang ya, kalo kamu merasakan sesuatu."
"Iya, Pak."
***
Pagi itu, Adam baru saja selesai solat subuh dan keluar kamar. Biasanya hari sabtu seperti sekarang, ia malas keluar kamar. Namun, sejak keberadaan Eva di rumah itu, ia begitu bersemangat ingin mengetahui kegiatan gadis itu bila ada rumah. Ia mendatangi kamar Eva dan mengetuk pintu. Namun sudah beberapa kali ia mengetuk tapi tidak ada yang membukakan.
Terdengar keramaian dari arah dapur. Ia melangkah dengan cepat ke sana. Di sana ada Eva, Chef Aldi dan para pembantu yang sedang berebut bicara.
"Eva, kenapa kamu ada di sini?" Adam terlihat heran.
"Ah, untung ada Bapak. Ini, Pak. Ibu Eva ingin memasak. Padahal 'kan udah ada Saya. Ibu Eva gak usah repot masak," adu Chef Aldi.
"Aku 'kan mau coba masak. Belajar dari Chef Aldi, tapi gak boleh." Eva merengut.
"Kenapa kamu tidak coba nikmati saja, Eva. 'Kan lebih enak tinggal makan," bujuk Adam pada Eva.
Gadis itu makin mengerucutkan mulutnya dan memalingkan wajah. Ia mulai ngambek.
"Eva ...." Adam berusaha bicara lembut tapi gadis itu bergeming.
Mata Eva mulai berkaca-kaca.
Adam mulai pusing melihatnya. Ia berpaling pada Chef Aldi. "Sudahlah, turuti saja maunya. Daripada nanti dia mogok makan?"
Chef Aldi menghela napas. Ia terpaksa menuruti permintaan Adam. "Ya, udah. Tapi ibu hati-hati ya."
Bukan main senangnya Eva mendengar hal itu. "Beneran? Asyik!" Eva meloncat ke arah Adam hingga pria itu terpaksa menangkap tubuhnya.
"Aduh, Eva ... hati-hati."
Gadis itu memeluk leher Adam sambil menyandarkan kepala. "Terima kasih ya, Pak." Ia mengangkat kepalanya lalu melepaskan pria itu. "Nanti aku akan masak yang enak lho, dibantu chef Aldi. Nanti Bapak coba ya."
"Eh, iya." Adam menjawab gugup. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Semua orang yang berada di dapur menatap ke arahnya. Bisa-bisanya gadis ini memeluknya di hadapan semua. Adam terpaksa menepuk-nepuk puncak kepada Eva agar orang tak berpikir lain. "Ya sudah, hati-hati. Dengarkan apa yang dibilang Chef." Ia mengingatkan.
"Iya." Pemilik manik mata hitam itu tersenyum lebar.
Adam meninggalkan dapur dan menunggu di ruang tengah sambil menonton TV. Tak lama, sarapan dihidangkan. Adam meneliti makanan yang tersedia. Eva membawa piring berisi beberapa telur mata sapi. Ada beberapa telur mata sapi yang tidak terlalu bagus bentuknya dan Adam bisa menebak, buatan siapa itu.
"Aku tadi bikin telur mata sapi lho, Pak! Cobain ya," sahut Eva riang.
Adam memperhatikan telur mata sapi itu dengan tak yakin. "Tuhan, mudah-mudahan masakannya bisa aku makan. Kalau tidak, bagaimana caranya aku merespon pertanyaannya nanti?" Ia menarik kursi yang biasa ia duduki dan Eva menyusul duduk di sampingnya. Keduanya mulai mengambil sarapan yang terhidang.
"Bapak cobain telur mata sapi yang aku buat dong!" pinta Eva dengan antusias.
Adam melirik ke arah piring yang berisi telur, pura-pura tak tahu. "Yang mana?"
"Yang ini." Eva mengambilkan untuk Adam dengan garpu. Kuning telurnya pecah sehingga warnanya sedikit tercampur yang putih.
Adam yang setengah hati melihatnya, terpaksa mencoba. Awalnya ia memejamkan mata ketika sudah memasukkan potongan telur itu ke dalam mulut, tapi sedetik kemudian ia mengangkat kedua alisnya karena terkejut. "Mmh ...."
"Gimana?" Eva yang menunggu komentar Adam, menatap pria itu penasaran.
"Kamu bisa masak?" Adam mengerut dahi dan membuka matanya.
"Aku bisa, tapi jarang karena aku kerja. Jadinya kalo motong atau masak, bentuknya gak bagus. Tadi aku belajar dari chef Aldi tapi gak bisa-bisa," keluh Eva.
"Ya, nanti lama-lama juga bisa." Adam menjawabnya dengan perasaan lega.
"Kapan?" Kedua manik mata itu menatap wajah Adam.
"Kamu mau masak atau mau kerja sih?"
Terkejut, Eva cepat-cepat menjawab. "Eh, aku mau kerja aja. Gak papa gak usah masak."
Adam tersenyum tipis. Ia memperhatikan gadis itu. "Tapi aku tidak akan mempekerjakan kamu selamanya. Kalau kehamilanmu sudah besar, kamu harus berhenti. Setelah itu mengurus anak."
Eva yang mulai mengambil lauk, melirik pria itu dan mengangguk. "Iya." Ia menatap Adam yang juga mulai mengambil makanan lainnya. "Tapi setelah aku jadi ibu rumah tangga, apakah kamu akan jadi suamiku selamanya?" Ia menghela napas. Andai masa depan itu pasti, alangkah indahnya.
Bel berbunyi. Salah seorang pembantu membukakan pintu.
"Oh, Adam. Kamu sedang sarapan?" Lindon datang bersama Shanti, anak satu-satunya.
"Oh, Paman. Ayo, sarapan," ajak Adam sambil menyendok nasi. Ia terpaksa tersenyum walau ia mulai merasa tidak nyaman. Diliriknya Eva yang tampak bingung. Selagi Eva ada di sisinya ia pasti akan baik-baik saja. "Ayo, silakan bergabung, Paman."
"Wah, maaf ya, terlalu pagi datangnya. Tapi kami tak sabar untuk meminta maaf soal kemarin." Lindon dan Shanti menyambangi meja makan.
"Silakan, ayo sekalian sarapan." Adam berusaha ramah.
Shanti meletakkan bungkusan plastik ke atas meja. "Eh, ini ada buah tangan."
"Apa itu?" Adam menatap pemberian Shanti.
"Ada cake pisang yang enak. Aku beli di toko kue mahal lho!" Shanti berusaha tersenyum. Pasalnya, ia agak takut mendekati Adam karena wajahnya terlihat galak walaupun sudah tersenyum.
Eva sedari tadi memperhatikan reaksi Adam. Pria itu walau berusaha tersenyum, masih terselip wajah dinginnya, membuat lawan bicara takut bicara dengannya.
"Tidak perlu repot-repot, aku sudah melupakan masalah kemarin. Ayo, duduklah," sahut Adam lagi.
Shanti dan Lindon menurut. Keduanya menarik kursi dan duduk melingkari meja.
"Ayo, sarapan bersama. Apa kalian sudah sarapan?"
"Sudah." Lindon coba tersenyum walau terlihat tidak tulus.
"Ayolah, coba. Pasti belum. Ini Eva tadi bikin telur mata sapi, cobain deh!"
Eva terkejut. Kenapa masakannya yang ditawarkan pada kedua orang ini? Masakannya bentuknya amburadul. Ia sendiri malu Adam menawarkan makanannya pada kedua saudara suaminya itu.
Dibawah tatapan Adam, Lindon terpaksa mengambil telur mata sapi buatan Eva meskipun ia tak yakin rasanya. Shanti pun sama. Keduanya mencoba masakan Eva.
"Mmh, tidak ada istimewanya. Apa ada yang aneh dengan telur ini?" batin Shanti melirik Eva.
"Mmh, biasa saja rasanya," sahut Lindon lega. "Untung rasanya tidak aneh."
"Apa Shanti bisa masak?"
Ditanya begitu, Shanti terlihat bingung sedang Lindon berusaha menutupi kekurangan Shanti. "Eh, dia sejak kecil tidak aku perbolehkan dekat kompor karena aku mengharuskan dia pintar cari uang."
"Tapi, 'kan banyak usaha di bidang kuliner yang menghasilkan uang." Mata elang Adam menatap Lindon.
Eva bisa merasakan hubungan mereka tidak begitu dekat, seakan Adam menganggap pamannya pegawai kantornya saja.
"Eh, iya, tapi aku tak suka anakku usaha kuliner karena berkutat di dapur itu kotor. Lebih baik dia bekerja di kantor saja."
"Mmh. Mudah-mudahan calon suaminya tidak protes ya." Adam menyendok nasi goreng dan menyuapnya.
Lindon melirik Shanti dan kemudian kembali ke Adam. "Eh, mungkin ke depannya dia akan belajar masak." Ia melirik Eva. "Shanti tak boleh kalah dari gadis kampung ini!"
Bersambung ....
tapi aku nggak mau kalo cuma sekedar like👉🏻👈🏻
semoga semakin semangat updatenya akak othor!!🙏🏼💪🏼💪🏼
lagian siapa juga yang tahu klo Eva istrimu...
makanya dari awal lebih baik jujur,ini pake bilang sodara lagi
padal aku dari kemarin uda ngumpulin bab, biar bisa d baca maraton, taunya pas baca langsung hbis😭😭
"berharap ada adegan kissing nya"
pas scroll eeh malah ketemu iklan habib jaffar, langsung baca istigfar karena tau yg ku pikirkan itu dosaaaaa😭🤣🤣
ini masalahnya di keyboardmu apa emang kebijakan dari mt/nt?
sekedar nanya aja nggak ada maksud lain mak🙏🏼🙏🏼