Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Pabrik Terbengkalai
Langkah Maelon terhenti tepat di depan gerbang besi tua itu. Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana. Mungkin satu menit. Mungkin satu jam. Tak ada yang bisa menghitung waktu di tempat seperti ini. Di hadapannya, dua daun pintu logam menjulang hampir dua kali tinggi tubuh manusia, sebagian tertutup debu dan tumbuhan liar yang entah bagaimana bisa bertahan di antara batu dan karat. Bagian tengah pintu terbelah, retakan yang membentuk pola tak simetris seperti luka yang dibuka paksa namun tak pernah ditutup kembali.
Maelon menyentuh permukaan besi itu perlahan, dan meskipun tak ada cahaya, ia bisa merasakan ukiran halus di bawah lapisan karat. Bukan tulisan. Lebih seperti guratan yang dibuat jari manusia dalam keadaan panik, dalam waktu yang singkat, dengan tangan gemetar dan nafas tercekat. Ia menempelkan telinganya ke pintu. Tak ada suara. Tapi diamnya terlalu dalam, seperti bukan hening, melainkan sesuatu yang menyembunyikan dirinya.
Maelon tak membuka pintu. Ia mendorongnya, pelan, hanya sekadar celah. Cukup untuk dirinya menyelinap masuk. Dan saat ia melangkah ke dalam, dunia berubah.
Udara yang menyambutnya berat dan kaku. Seperti menghirup kenangan yang basi. Baunya aneh—bukan sekadar besi tua. Ada sesuatu yang hangus tapi lembap. Seperti darah yang mengering di dalam air. Langit-langit pabrik menjulang tinggi di atas kepalanya, hampir tak terlihat karena pekatnya bayangan. Cahaya samar dari sisa kekuatannya hanya menyentuh lantai di dekat kakinya, membentuk lingkaran cahaya kecil yang seolah menolak tumbuh.
Ia melangkah perlahan. Tidak ada suara kecuali desahan langkahnya sendiri dan sesekali dentingan logam dari kejauhan—tidak jelas dari mana. Lorong demi lorong ia lewati, setiap dinding memiliki cerita sendiri. Bekas tangan yang menyeret diri, bercak merah tua yang sudah menjadi bagian dari logam itu sendiri, dan pada satu dinding, coretan kasar: “KAMI TIDAK DIBUNUH, KAMI DIBENTUK.”
Ia menatap kalimat itu cukup lama. Terlalu lama.
Tidak ada tujuan pasti di dalam langkahnya. Tapi kakinya terus bergerak. Kadang ia berhenti, mendengarkan, meraba, mengamati, seolah berharap tempat ini menjawabnya. Tapi tidak. Pabrik itu hanya memantulkan pikirannya kembali pada dirinya sendiri. Setiap lorong seperti cermin gelap: menunjukkan ketakutan yang bahkan belum sempat Maelon pahami.
Di satu ruangan, ia menemukan tungku pembakar besar. Kosong. Tapi dinding bagian dalamnya masih hangat. Seolah baru saja digunakan. Di sekeliling tungku, terdapat puluhan kursi besi kecil, semuanya berkarat, beberapa bahkan patah. Di atas kursi-kursi itu, tersisa pakaian... atau yang dulu mungkin pakaian. Sekarang hanya lapisan kain tipis yang menempel pada bentuk manusia yang tak lagi utuh. Tak ada tengkorak. Tak ada tulang. Hanya bentuk samar, seperti bayangan tubuh yang terlalu lama duduk dalam api.
Maelon tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, napasnya perlahan. Jantungnya berdetak lebih lambat dari biasanya, seperti tubuhnya pun menyesuaikan diri dengan keheningan ini.
Pabrik ini... bukan sekadar tempat membuat logam.
Pabrik ini... terasa seperti tempat membentuk seseorang.
Atau... sesuatu.
Dan Maelon tahu, belum waktunya untuk tahu jawabannya. Tidak sekarang. Belum. Tapi tiap langkahnya di tempat ini akan mendekatkannya pada sesuatu—yang entah bisa ia terima, atau justru akan menghancurkan dirinya pelan-pelan.
Langkah Maelon terhenti. Di antara bayangan gelap pabrik tua itu, sesuatu berdenyut—bukan cahaya, bukan suara, tapi semacam tarikan sunyi yang memaksa matanya memandang satu titik. Di sana, di ujung koridor yang dipenuhi jelaga dan debu yang menggantung di udara seperti kabut yang dibekukan waktu, berdiri sebuah benda… atau mungkin bukan benda. Sebuah bentuk hitam pekat, begitu pekat hingga seolah menolak didefinisikan oleh kenyataan. Ia tidak bersinar, tidak memantul, bahkan tidak bergerak. Tapi di sekitarnya, udara tampak melengkung, seperti waktu sedang menyusut ke satu titik.
Bentuknya seperti lingkaran yang tidak utuh, sisi-sisinya berdenyut perlahan, seolah bernapas. Di sekitarnya, reruntuhan tampak berubah—besi-besi menjadi rapuh, batu bata mengelupas tanpa disentuh, seakan kehadiran "benda" itu meluruhkan segala hal menjadi rapuh dan tak berarti. Sebuah portal. Atau lubang. Atau mungkin… luka. Luka yang terbuka pada kenyataan.
Dari balik bayangan pilar-pilar karat, Maelon mengintip—tak berani terlalu dekat. Lalu ia melihat mereka.
Mereka muncul dari sisi lorong lain. Enam orang—semua bertudung, bertopeng. Topeng mereka bukan terbuat dari logam biasa; tapi dari sesuatu yang tampak seperti tulang yang dipoles, dihiasi ukiran-ukiran kuno yang samar-samar menyala. Setiap topeng memiliki bentuk wajah yang berbeda: satu tersenyum lebar secara tidak wajar, satu dengan mata membesar tanpa mulut, satu menyerupai wajah anak-anak, tapi terdistorsi oleh retakan yang meneteskan sesuatu hitam pekat dari matanya. Maelon merinding. Mereka tidak bicara. Tak satu pun suara datang dari gerakan mereka. Tapi atmosfer berubah ketika mereka lewat—suasana menjadi lebih kaku, seperti dunia ikut menahan napas.
Mereka menyeret sesuatu. Tiga orang. Tangan dan kaki mereka terantai dengan logam tebal berwarna gelap yang tampak seperti serpihan obsidian. Tubuh mereka lemas, tertunduk, wajah mereka tertutup kain hitam kusam. Beberapa bagian tubuh mereka tampak lebam, luka mengering, satu dari mereka bahkan pincang, langkahnya diseret paksa oleh rantai yang melingkari leher.
Maelon menahan napas. Ia ingin tahu—teramat ingin tahu. Tapi di saat yang sama, ada suara kecil dalam dirinya yang memohon agar ia berbalik. Tapi kakinya tetap di tempat. Seperti akar, tubuhnya terpaku pada lantai. Mereka melewati lorong perlahan, menuju sebuah ruangan terbuka di ujung kompleks pabrik. Cahaya dari portal itu—atau lebih tepatnya, bayangan yang dipancarkan olehnya—ikut merembes ke arah ruangan itu.
Maelon mengendap mengikuti mereka.
Ruangan itu lebar, langit-langitnya menjulang tinggi dan melengkung seperti rahang terbuka. Di tengahnya, sebuah altar berdiri—terbuat dari logam tua dan pecahan-pecahan kaca yang membentuk simbol melingkar di bawahnya. Tepat di atas altar itu, tergantung lentera tua, tapi cahayanya bukan berasal dari api. Ia menyala lembut dengan warna biru kehijauan yang tidak alami, nyalanya berkedip tak beraturan seperti napas orang yang sekarat.
Di sisi altar, terdapat simbol-simbol pahatan—beberapa tampak seperti bahasa, tapi bukan bahasa yang pernah dikenali Maelon. Bentuknya terlalu tajam, terlalu dalam, seolah diukir bukan dengan alat, tapi dengan penderitaan. Beberapa ukiran tampak baru, seakan tempat ini masih digunakan. Bahkan darah… darah segar menetes dari sudut altar, mengalir ke bawah, masuk ke parit kecil yang mengitari simbol di lantai.
Salah satu dari pria bertopeng membuka sebuah gulungan kain, mengeluarkan pisau panjang dengan gagang perak tua. Ia mengangkat pisau itu ke atas, dan saat itu, semua suara menghilang. Benar-benar hening. Bahkan detak jantung Maelon terasa hilang.
Tahanan pertama dipaksa berlutut di hadapan altar. Tidak ada tangis. Tidak ada teriakan. Hanya gemetar, dan napas yang terlalu cepat. Pria bertopeng mengangkat tangan kirinya, dan portal itu—benda hitam pekat di belakang altar—berdenyut. Lebih cepat. Lebih gelisah. Seperti sesuatu di dalamnya sedang… kelaparan.
Maelon tak tahu apa yang sedang ia saksikan.
Apa yang mereka lakukan?
Siapa mereka?
Apa itu altar?
Apa benda itu?
Pertanyaan datang seperti badai, tapi tak satu pun dijawab. Dan tubuhnya tetap bersembunyi, tetap diam. Bahkan napas pun ditahan. Karena ia tahu, satu langkah, satu suara kecil, dan ia akan menjadi bagian dari altar itu.
Dan saat tirai kain hitam dari wajah si tahanan ditarik—Maelon melihat matanya. Mata yang telah kehilangan harapan, tapi belum kehilangan rasa takut.
Maelon memalingkan wajah.
Tapi ingatan itu, sudah tertanam. Terlalu dalam untuk dilupakan.