Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Sepertinya semua sudah beres.
"Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar.
"Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi..
"Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta.
"Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya.
"Apa?"
"Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?"
"Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun.
"Papah bisa pergi?"
"Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun.
"Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?"
"Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini.
"Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi.
Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya.
"Aku nggak jadi ikut." Anto melotot.
"Kamu harus ikut. Pokoknya Aku nggak mau tau!"
"Tapi To, Aku nggak gablek duit pisan!"
"Kan ada Aku! Kamu cuma tinggal dampingin Aku aja, kok." Iman menggaruk kepalanya.
"Kenapa lagi?"
"Masalahnya Aku nggak bisa ninggalin duit buat Nisa." kata Iman akhirnya. Anto tertawa. Ia membuka dompetnya.
"Panggil Nisa kemari!" Iman mengulurkan tangannya
"Sini. Ntar Aku yang ngasihin." Anto menggeleng geleng.
"Kagak! Ntar Kamu tilep, lagi. Aku 'kan tau akal bulusmu!" Lagi lagi Iman menggaruk garuk kepalanya sebelum masuk untuk memanggil Nisa.
Lama Iman membujuk Nisa untuk keluar menemui Anto.
"Ada apa, Bos?" Nisa berusaha terlihat ceria. Anto melihat mata Nisa yang merah seperti habis menangis.
"Suamimu mau Aku pinjam dulu 3 hari. Boleh, ya?" Nisa diam. Bagaimana ia menyatakan penolakannya?
"Nih, buat pegangan di rumah." Anto mengulurkan 3 lembaran warna merah. Nisa tetap diam. Ia bingung sendiri.
Iman menyambar uang itu dari tangan Anto dan menggenggamkannya ke tangan Nisa.
"Berangkat dulu ya, Nis." senyum Anto. Nisa seperti tersadar.
"Makasih, Bos!" lembaran merah itu ia genggam dengan erat seperti takut ada yang mengambilnya.
Anto dan Iman melambai dari dalam mobil jeep yang mereka naiki. Nisa menatap kepergian mereka sampai menghilang dari pandangannya.
"Mudah mudahan Kalian menang, ya." bisik Nisa. Ya, mereka akan mengikuti lomba off road. Iman sangat di butuhkan untuk mengecek kesehatan mobil mobil team mereka yang akan mengikuti lomba.
"Nisa kayaknya abis nangis, ya?" tebak Anto. Iman sebenarnya tidak ingin menjawab tapi tatapan Anto seperti memaksanya untuk menjawab.
"Iya, kalii..!" Anto menggeleng geleng.
"Kayaknya Kamu seneng ya, bikin Nisa nangis."
"Ah, Dianya aja emang cengeng."
"Man, kalo istri tuh jangan dibikin nangis terus, rezeki Lo jadi seret."
"Masa' sih?"
"Ih! Nggak percaya!" Iman mengerutkan dahinya. Bukan begitu yang ia dengar dari saudara saudaranya. Memanjakan istri membuat istri jadi besar kepala dan tidak menghargai suaminya. Begitu itu.
"Istri harus dimanjain, disenangin.. !"
"Mau manjain pake apa? Duit aja nggak gablek!"
"Ya Kamu nya usaha, dong?"
"Usaha apa? Aku udah capek, To! Aku udah tua juga! Gantian lah!"
"Mau gantian sama siapa? Nino? Dia juga udah punya keluarga sendiri." Anto merasa miris mendengar cara berpikir Iman.
"Man, emang Nyak sama Baba Kamu dulu pernah minta minta sama Kamu, ya? Terutama pas Kamu udah nikah."
"Emang enggak. Tapi nggak tau juga, sih. 'Kan mereka cepet nggak adanya."
Anto menggeleng geleng.
"Gini aja, deh. Gimana perasaan Kamu kalau waktu itu Kamu cuma punya duit pas pasan buat keluarga Kamu sendiri tapi Kamu di mintain terus sama Nyak."
" Pusing, lah! " jawab Iman sekenanya. Ia dulu bahkan masih sering meminta pada Nyaknya saat ia tidak mempunyai uang untuk belanja Nisa.
"Begitulah Nino sekarang. Berapa, sih gaji seorang honorer?"
"Atuh udah kawin bae!" jawab Iman kesal. Anto sampai menjitak kepalanya.
"To! Lah, Kamu mah!" Iman melotot.
"Pusing dah ngomong sama Kamu! Kepala batu!"
"Ya udah nggak usah ngomong!" Iman malah ngambek. Ia menatap lurus ke depan. Kedua tangannya memegang setir. Tanda ia sudah tidak mau diganggu.
Anto menyandarkan badannya agar lebih santai. Ia memejamkan matanya. Tapi ia justru melihat mata Nisa yang merah dan sembab. Dulu mata itu begitu indah dengan binar cerahnya.
**********
Anto menghela nafas.
"Apa yang sudah di lakukan Si Sontoloyo ini, ya?" gumamnya lirih. Tapi cukup terdengar oleh Iman.
"Siapa si Sontoloyo?"
"Kamu, lah!"
"Sialan!" Anto terbahak bahak melihat raut wajah kesal Iman yang terlihat Lucu.
"Ntar Aku pinggirin nih, mobil! Aku balik!"
"Pinggirin aja!" tantang Anto. Mau pulang naik apa si Iman? Duit juga nggak punya!
"Beneran nih, ya?!" Iman benar benar menepikan mobilnya. Rasa kesalnya tidak dapat membuatnya berpikir dengan jernih.
Begitu mobil berhenti Iman langsung turun dari mobil.
"Man!" panggil Anto. Ia sangat membutuhkan Iman saat ini. Jadi ia memilih untuk mengalah.
"Udah, dong. Pake ngambek kayak bocah!"
"Kamunya begitu!" Anto tertawa. Iman benar benar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
"Iya! Maaf, maaf! Udah puaskah?"
"Idih, minta maaf masa' begitu?"
"Laaaah, harus pegimana, dong?"
"Minta maafnya yang tulus ikhlas!"
"Iya, maaf ya, Iman yang yang tidak beriman.."
"Idih!"
"Salah lagi?" Anto sampai mengacak acak rambutnya yang hanya 1 senti. Tentu saja itu tidak merubah keadaan rambutnya.
"Makan dulu, baru Aku maafin!" ketus Iman.
Oh, pantesan emosi nya sampai tingkat dewa. Perutnya lagi lapar!
"Ayolah! Mau makan di mana?" Iman nyengir.
"Di sini aja!" tunjuknya pada rumah makan di depan mereka. Anto baru menyadari kalau mobil ini ditepikan di depan sebuah rumah makan padang.
"Samber geledek! Mau makan mah tinggal bilang aja, nggak usah pake acara ngambek segala!" gerutu Anto seraya keluar dari mobilnya.
Ia langsung menonjok bahu Iman.
"Emang dasar sialan!"
Di rumahnya, Nisa menatap 3 lembaran merah di tangannya dengan hati penuh rasa syukur.
"Anto memang baik. Sahabat sahabat Kamu semua baik, Pah." monolognya. Anto adalah salah satu dari 3 sahabat Iman selain Eman dan Samsul.
Eman yang menguras empang lele anak buah di kantornya. Samsul sering diam diam memberinya uang untuk membeli susu saat Deni masih kecil dulu.
"Nggak usah bilang Iman." begitu selalu katanya. Saat itu Samsul belum menikah. Sekarang Ia sudah memiliki 2 anak dan direpotkan dengan kebutuhannya sendiri.
Nisa bangun dan merapikan dirinya untuk pergi ke pasar. Ia ingin membeli beras, minyak dan lain lain. Ia menyimpan selembar uang itu di dalam laci lemarinya.
"Untuk bekal Doni 4 hari." Nisa tersenyum. Hatinya sungguh lega. Bekal untuk Doni yang menjadi pikiran utamanya. Biarlah ia seharian menahan lapar asal bekal untuk Doni tersedia. Ia malu terus menerus meminta pada Nino.
"Nnee.. !" Rifki memanggilnya saat Nisa sudah duduk di atas motornya.
"Nenek mau ke pasar dulu ya, Sayang.."
"Ntuut.."
"Jangan! Nenek 'kan nggak bisa boncengin Rifki! Takut jatuuuh." Wiwi cepat cepat keluar. Ia baru menyadari Rifki tidak ada di kamar.
"Rifki sama Mamah, ya?" Wiwi menggendong Rifki. Untung anak itu menurut. Ia tidak menangis saat di bawa Mamanya masuk.
Nisa melaju dengan motor nya.
*******