Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#13 - Kekacauan di Taman Istana
"Nona, maafkan kami."
Tanpa aba-aba, para pengawal itu menerjang Selene dari segala arah. Namun, Selene hanya menyeringai sambil melebarkan kakinya, bersiap menghadapi mereka.
BANG!
Sebuah tendangan keras menghantam dada salah satu pengawal, membuatnya terpental ke belakang dan menghantam tanah dengan bunyi gedebuk berat.
KRAK!
Selene mengayunkan sikunya ke wajah pria di sampingnya, terdengar suara retakan halus saat tulang hidung pria itu patah. Dia menjerit sebelum terhuyung mundur.
SWOOSH!
Seorang pengawal lain mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi Selene dengan gesit menunduk lalu berputar cepat, menghantam perut pria itu dengan tendangan belakang yang membuatnya kehilangan keseimbangan.
Satu per satu mereka tumbang. Dalam waktu singkat, seluruh pengawal bocah itu terkapar di tanah, meringis kesakitan. Selene menepuk-nepuk tangannya, seolah membersihkan debu yang tidak ada.
"Yah, jadi sekarang giliranmu?" Selene melangkah mendekati bocah itu, senyuman jahat terukir di wajahnya.
Bocah itu—yang sebelumnya begitu sombong—kini pucat pasi. Dia menyaksikan bagaimana Selene menghajar para pengawalnya tanpa sedikit pun kesulitan. Kesombongannya lenyap dalam sekejap, digantikan oleh ketakutan yang nyata.
Dia mundur perlahan, sementara Selene terus maju. Langkahnya santai, namun ada tekanan besar yang membuat bocah itu merasa seperti seekor kelinci di hadapan seekor serigala lapar.
Punggungnya akhirnya menabrak dinding taman. Tidak ada lagi tempat untuk lari. Dengan panik, dia mengulurkan tangannya.
"Berhenti! Jika kau berani maju selangkah lagi, aku akan mengadu pada Ayahku! Kau akan dihukum berat!" suaranya bergetar, mencoba terdengar tegas, tetapi ketakutan dalam matanya jelas terlihat.
Selene terkekeh, melipat tangan di dadanya. "Oh, maksudmu Ravion Belmont? Si kepala jeruk itu?"
Bocah itu menggertakkan giginya. Berani sekali gadis ini menghina ayahnya!
Namun, sebelum dia bisa membalas, Selene kembali maju.
"Ayah... Ayah... Tolong aku! Seseorang ingin membunuhku! Ayahhh!" Bocah itu berteriak sekencang mungkin.
Selene mendecakkan lidahnya, "Tsk! Benar-benar bocah lemah. Selain nama ayahnya, dia sama sekali tidak berharga."
Namun, sebelum Selene bisa berbuat lebih jauh, sebuah tangan kuat tiba-tiba mencengkeram pergelangannya.
"Apa yang coba kau lakukan?"
Selene menoleh, melihat seorang pria yang berdiri di sampingnya. Tatapan pria itu penuh dengan otoritas.
"Oh, sampah lain?" Selene menyeringai, mengatakannya dengan nada manis yang malah membuat pria itu tersinggung.
"Yang Mulia..." Bocah itu menangis sambil memanggil pria tersebut.
Selene mengangkat alis. "Apa kau Lucian?"
"Berani sekali kau memanggil nama anggota kekaisaran dengan mulut kotormu!" pria itu membentak.
"Ohh, sangat kasar sekali." Selene terkekeh.
Pria itu semakin kesal. "Lepaskan dia!" perintahnya, matanya menatap tajam ke Selene.
Namun, Selene malah menyeringai lebih lebar. "Tidak mau!"
Pria itu mengencangkan cengkeramannya, mencoba menekan kekuatan Selene. Tapi Selene tetap tenang, seolah tidak merasakan apa pun.
Selene kemudian mengangkat kaki kanannya, bersiap menendang. Refleks, pria itu langsung melepas cengkeramannya dan mundur. Namun, dalam satu gerakan cepat, Selene menarik kerah pakaian bocah Belmont itu dan mengangkatnya ke depan seperti perisai.
Pria itu tidak sempat menghentikan serangannya dan pukulannya malah menghantam wajah bocah Belmont .
"ARGH!" bocah itu meringis kesakitan.
Selene tertawa.
Pria itu kembali menyerang, dan setiap kali dia mengayunkan tinjunya, Selene dengan licik menggunakan bocah Belmont sebagai tameng. Akhirnya, bocah malang itu babak belur.
"Berhenti!"
Suara lain yang lebih tegas terdengar.
Selene mendesah. "Tsk, siapa lagi sekarang?"
Bocah Belmont tiba-tiba makin memelas. "Yang Mulia Putra Mahkota!"
Selene melirik pria yang baru datang. "Oh, jadi ini Lucian? Kalau begitu, siapa pria ini?" Dia menunjuk pria yang sebelumnya menyerangnya dengan malas.
"Kau bahkan tidak mengenalku? Aku Ditrian!" pria itu menjawab tajam.
"Oh, jadi kau pesaing Lucian?" Selene bertanya dengan santai, seolah itu bukan hal besar.
Namun, bagi Ditrian, kata-kata itu adalah penghinaan besar.
Dia langsung menyerang Selene, tetapi Selene terus menghindar dengan mudah. Setiap pukulan Ditrian malah mengenai bocah Belmont yang masih terseret sebagai tameng.
Lucian mulai sakit kepala melihat kekacauan ini dan berusaha memisahkan mereka. Namun, Selene terlalu lincah dan licik.
Akhirnya, pertarungan empat orang itu berubah menjadi tontonan publik. Para bangsawan di aula istana mendengar keributan dan segera berbondong-bondong ke taman.
Saat mereka sampai, pemandangan yang mereka lihat benar-benar membuat mereka terdiam.
"Selene..."
Isolde berteriak, takut putrinya terluka.
Namun, Selene malah tersenyum manis, melambaikan tangan sambil berteriak, "Ibuuuuu~" dengan nada manja, seolah mereka hanya bermain-main.
Semua orang terkejut. Jadi, ini putri si tangan besi?
Namun, yang lebih terkejut adalah Ravion Belmont. Dia melihat putranya babak belur, kerah bajunya masih digenggam oleh Selene.
"Apa-apaan ini? Dari mana gadis lusuh ini datang?! Berani-beraninya menyentuh putraku!" Belmont maju dengan marah dan ingin memukul Selene.
Namun...
PLAKKK!
Tangan Selene lebih cepat. Dia menarik bocah Belmont ke depan, membuat Belmont menampar anaknya sendiri.
"Ups! Paman, kau sendiri yang memukulnya." Selene memasang ekspresi polos, membuat Belmont semakin geram.
Dia ingin mencabik-cabik Selene, tetapi Kaisar Magnus akhirnya turun tangan.
"CUKUP!"
Suaranya menggelegar, memenuhi taman dengan aura otoritas yang tidak terbantahkan.
Semua orang langsung diam.
Selene menghela napas. Keributan ini mulai membosankan. Dengan santai, dia berjalan ke arah Gideon dan Isolde.
"Ibu... Ayah..."
Gideon menatapnya, lalu bertanya dengan nada santai. "Putriku, kenapa kau memukuli orang lemah?"
Semua orang menahan napas. Ini… bukan reaksi yang mereka harapkan!
Selene mengangkat bahunya, "Aku hanya main-main. lagipula bukan aku yang memukulnya. Tapi dia." Dia menunjuk Ditrian tanpa ragu.
Ditrian hampir pingsan karena marah.
Magnus akhirnya menarik napas panjang dan mengambil alih situasi.