Hai pembaca!
Kali ini, saya akan membawa Anda ke dalam sebuah kisah yang terinspirasi dari kejadian nyata, namun dengan sentuhan kreativitas yang membuatnya semakin menarik. Simaklah cerita tentang Halimah, seorang wanita yang terjebak dalam badai cinta, kekerasan, dan teror yang mengancam jiwa.
Semuanya bermula ketika Halimah bertemu dengan seorang pria misterius di media sosial. Percakapan mereka berlanjut ke chat pribadi, dan tak disangka, suami Halimah menemukan bukti tersebut. Pertengkaran hebat pun terjadi, dan Halimah dituduh berselingkuh oleh suaminya.
Halimah harus menghadapi cacian dan hinaan dari keluarga dan tetangga, yang membuatnya semakin rapuh. Namun, itu belum cukup. Ia juga menerima teror dan ancaman, bahkan dari makhluk gaib yang membuatnya hidup dalam ketakutan.
Bagaimana Halimah menghadapi badai yang menghantamnya? Apakah ia mampu bertahan dan menemukan kekuatan untuk melawan? Ikuti kisahnya dan temukan jawabannya. Jangan lewatkan kelanjutan cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DODIAKSU 12
Halimah menatap Aleric dengan malu-malu, "Ia, sekarang aku penyakitan," ucapnya dengan nada yang lembut.
Aleric tersenyum dengan lembut dan mengangguk. "Tidak apa-apa, aku akan memeriksa mu. Apa keluhanmu?" tanyanya dengan nada yang santai dan profesional.
Halimah terus memegang dadanya, seperti mencoba untuk menenangkan diri sendiri. "Aku merasa detak jantungku berdetak sangat cepat, nyeri dada seperti tertekan, lemas, pusing, mual, keringat dingin, dan sesak napas," ucapnya dengan nada yang sedikit terengah-engah.
Aleric berdiri dan mendekati Halimah, matanya memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi wajahnya. "Aku akan memeriksa detak jantungmu," ucapnya dengan lembut.
Halimah hanya mengangguk, dan Aleric segera berjalan lebih dekat. Ia mengambil stetoskop dan meletakkannya di dada Halimah, mendengarkan detak jantungnya dengan teliti. Wajahnya serius dan profesional, namun matanya masih menyimpan kesan hangat dan peduli.
Wajah Halimah memucat, keraguan dan kekhawatiran terukir jelas di matanya. "Dokter, bagaimana cara mengobatinya? Apakah penyakit ini bisa sembuh?" tanyanya dengan suara yang bergetar.
Aleric menatapnya dengan penuh empati. "Jangan khawatir, Halimah. Aku akan melakukan segala upaya untuk membantumu. Kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada yang terlewatkan."
Aleric kemudian menambahkan, "Namun, aku juga ingin menekankan pentingnya mengelola stres. Stres bisa memicu penyakit ini, dan aku ingin kamu berhati-hati dalam menghadapi situasi yang memicu stres."
Halimah mengangguk pelan, namun wajahnya masih terlihat bingung. Ia tidak tahu bagaimana menjawab ucapan Dokter, karena stres telah menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari. Suaminya dan orang-orang di sekelilingnya telah membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran stres yang tidak terputus.
Aleric meminta suster dan staf untuk membawa Halimah ke ruangan khusus untuk pemeriksaan lebih lanjut. Di sana, Halimah menjalani serangkaian tes, termasuk Elektrokardiogram (EKG), yang merekam aktivitas listrik jantung untuk mendeteksi detak jantung yang tidak teratur, perubahan irama jantung, atau tanda-tanda kerusakan jantung.
Setelah menyelesaikan semua tes, Halimah kembali ke tempat Aleric, yang masih menunggunya dengan sabar. "Halimah, berita baiknya adalah bahwa penyakitmu belum terlalu parah," ucap Aleric dengan senyum yang menenangkan. "Namun, jika tidak diatasi dengan serius, maka akan sangat berbahaya. Oleh karena itu, aku akan memberikanmu resep obat yang harus kamu minum secara teratur."
Aleric kemudian menambahkan, "Aku juga akan terus memantau perkembanganmu, jadi jangan ragu untuk bertanya atau menghubungiku jika ada apa-apa. Dan, jangan lupa, lusa kamu harus kembali untuk cek up , agar kita bisa melihat apakah ada perubahan atau tidak."
Aleric memandang Halimah dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Halimah, aku ingin meminta nomor teleponmu. Aku ingin terus memantau perkembanganmu, karena penyakitmu ini sangat berbahaya dan aku tidak ingin ada hal yang terlewatkan."
Halimah ragu-ragu, tidak yakin apakah harus memberikan nomor teleponnya kepada Aleric. Ia takut suaminya akan mencurigainya lagi, terutama karena Aleric adalah teman sekolahnya dulu. Namun, ia juga tidak bisa menolak permintaan Aleric, yang terus memandangnya dengan mata yang penuh kekhawatiran.
Akhirnya, Halimah mengeluarkan ponselnya dan memberikan nomornya kepada Aleric. "Terima kasih, Dokter," ucapnya dengan senyuman.
Halimah kemudian bangkit dari duduknya dan menyalimi tangan Aleric. "Sampai jumpa lagi, Dokter. Terima kasih atas bantuannya."
Aleric membalas salimannya dengan hangat. "Tak usah sungkan, Halimah. Kita dulu teman, sekarang juga kita teman. Jadi, jika ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku. Aku akan selalu ada untuk membantumu."
Halimah keluar dari ruangan Aleric dengan senyum lega, di mana Rafa sudah menunggunya dengan wajah cemas.
"Mak, bagaimana pemeriksaannya? Apakah penyakitnya parah?" tanya Rafa dengan suara yang khawatir.
Halimah tersenyum lembut untuk menenangkan Rafa. "Alhamdulillah, Le. Mamak tidak sakit parah kok. Cuma, mamak harus berhati-hati agar tidak terlalu stres."
Rafa menghela napas lega, lalu meraih bahu Halimah. "Baguslah, Mak. Rafa takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada mamak."
Rafa menatap Halimah dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Semua yang dikatakan Dokter itu benar, Mak. Mamak tidak boleh lagi terlalu stres. Aku tahu Mamak mengalami semua ini karena Pak E. Sekarang, jangan hiraukan Pak E lagi, Mak. Mamak harus menyayangi nyawa Mamak sendiri. Harus menjaga kesehatan Mamak, apa Mamak tega meninggalkan Rafa sendirian?"
Rafa memeluk pundak Halimah dengan hangat, menunjukkan kasih sayangnya. Halimah merasa terharu dan menyesal karena telah membuat Rafa cemas.
"Iya, Le... maaf jika Mamak selalu membuatmu cemas," ucap Halimah sambil mengusap lembut tangan Rafa, menunjukkan rasa sayangnya.
Rafa kemudian membantu Halimah berjalan menuju lift, dan mereka berdua menaikinya untuk turun ke lantai bawah. Setelah sampai di lantai bawah, Rafa menuju tempat obat untuk menebus resep dari dokter, sementara Halimah menunggu di kursi tunggu, terlihat lega dan tenang.
Setelah beberapa saat, Rafa kembali dengan wajah yang terlihat bingung. Halimah segera menyadari hal itu dan bertanya dengan penasaran. "Kenapa, Le? Kamu terlihat bingung. Apakah uang kita kurang?"
Rafa menggelengkan kepala. "Enggak, Mak. Justru sebaliknya. Kita tidak diharuskan membayar sepeserpun!"
Rafa menggaruk kepalanya, terlihat tidak percaya. "Padahal, ini adalah klinik, Mak. Biasanya, biayanya sangat mahal, apalagi karena Mamak tadi melakukan banyak tes."
Halimah terkejut dan tidak percaya. "Apa? Benarkah kita tidak membayar sepeserpun, Le?"
Ia tidak bisa memahami mengapa mereka tidak diharuskan membayar. Ia juga mulai mempertanyakan apakah semua itu ulah Aleric, apakah dia yang meminta bagian administrasi untuk menggratiskan pengobatannya.
Halimah merasa bingung dan khawatir tentang tindakan Aleric yang tidak meminta biaya pengobatan. Ia khawatir jika Aleric akan dipecat karena melakukan itu semua kepadanya. Karena Aleric hanya seorang dokter yang bekerja di klinik itu.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya Le, Mamak mau ke atas dulu. Ada sesuatu yang Mamak lupakan," ucap Halimah pada Rafa.
Rafa menawarkan untuk menemani, tapi Halimah menolak. "Mamak bisa sendiri kok."
Halimah berjalan menuju lift, dan ketika di dalam lift, ia terlihat sangat khawatir. Ia penasaran apakah Aleric lah yang membantunya untuk tidak membayar pengobatannya.
Tak lama pintu lift terbuka, dan Halimah segera keluar dari dalam lift. Ia melewati lorong sepi untuk menuju ruangan Aleric. Namun, saat hendak menuju ruangan Aleric, ia melihat Aleric ada di depan pintu bersama seorang wanita yang sangat cantik dan modis.
Halimah menghentikan langkahnya, dan matanya tertuju pada wanita yang bersama Aleric. "Siapa wanita itu? Apakah dia istrinya?" batin Halimah.
Halimah memilih untuk tidak melanjutkan langkahnya menuju Aleric. Ia menatap mereka berdua dari kejauhan, dan merasa insecure ketika membandingkan dirinya dengan wanita yang bersama Aleric. Ia kemudian memandang dirinya sendiri dari pantulan kaca jendela, dan merasa tidak percaya diri.
Wanita itu terlihat sangat seksi dan cantik, dengan baju yang ia kenakan terlihat sangat cocok dengan tubuhnya yang langsing dan proporsional. Halimah tidak bisa tidak membandingkan dirinya dengan wanita itu, dan ia merasa tidak percaya diri ketika menatap pakaian daster lusuh yang ia kenakan.
Karena terlalu terburu-buru, Halimah tidak sempat mengganti pakaiannya, sehingga ia hanya menggunakan daster dan rambutnya yang acak-acakan. Halimah sadar jika penampilannya sangat tidak bagus kali ini.
Halimah memilih kembali ke tempat Rafa, dan ia berjalan gontai ke dalam lift. Tak lama pintu lift terbuka, dan Halimah sudah berada di lantai bawah. Rafa segera berlari menghampiri mamanya, dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
"Mak, apa yang terjadi? Kamu terlihat sedih," tanya Rafa dengan suara yang lembut.