Theresa Coldwell adalah ratu tak tertandingi di sekolahnya—lidahnya tajam, kepercayaan dirinya tak tergoyahkan. Tak ada yang berani menantangnya… sampai Adrien Valmont datang. Santai, tak terpengaruh, dan sama pintarnya, dia membalas sarkasme Theresa dengan komentar tajam tanpa ekspresi, membuat setiap pertemuan mereka jadi ajang adu kecerdasan dan ego. Dari debat di kelas hingga persaingan di seluruh sekolah, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Tapi ketika sesuatu yang tak terduga mengancam untuk memisahkan mereka, akankah mereka akhirnya menurunkan ego masing-masing, atau justru terjebak dalam perang kata-kata yang tak berujung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Sang Ratu Jatuh...
Theresa Coldwell adalah definisi dari tak tersentuh.
Lidahnya tajam, kehendaknya sekeras baja, dan ia memiliki topeng sempurna berupa kepercayaan diri—dialah Ratu St. Marguerite High.
Tak ada yang bisa menggoyahkannya. Tak ada yang mampu.
Hingga hari ini.
Ia duduk di belakang ruang musik yang kosong, jemarinya bertumpu pada tuts piano. Tapi ia tak bermain. Tak bisa.
Jari-jarinya gemetar.
Pikirannya, yang biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini kacau—frustrasi, marah, dan sesuatu yang enggan ia akui.
Ia mengepalkan tangan.
“Sial.”
Suaranya hanya setinggi bisikan, tapi dalam keheningan ruangan itu, terdengar seperti sebuah pengakuan.
Orang yang Salah Datang di Waktu yang Tepat.
Pintu berderit terbuka.
“Yah. Ini kejutan.”
Theresa menegang.
Adrien Valmont.
Dari semua orang di sekolah, tentu saja dialah yang menemukannya dalam keadaan seperti ini.
Mata emas-hazel milik Adrien menyapu dirinya—terlalu tajam, terlalu mengetahui dengan tidak nyaman.
Theresa segera menegakkan tubuh, menyibakkan rambut putihnya ke belakang. “Aku baik-baik saja.”
Adrien mengangkat alis. “Aku tidak bilang apa-apa.”
Ia mendengus. “Kalau begitu, jangan.”
Adrien mengabaikannya dan bersandar di piano, tetap dengan sikap cueknya yang khas.
Tapi tatapannya tak pernah lepas darinya.
Topeng yang Retak.
Theresa mengira Adrien akan pergi.
Kebanyakan orang melakukannya saat ia sedang dalam suasana hati buruk—ia memastikan hal itu terjadi.
Tapi Adrien hanya berdiri di sana, mengamatinya.
Dan itu membuatnya merasa terbuka.
Ia mengalihkan pandangan, jari-jarinya mencengkeram tepi piano. “Aku bilang aku baik-baik saja.”
Adrien menghela napas pelan. “Kau tak perlu begitu.”
Tenggorokannya mengencang.
Sesaat—hanya sesaat—topengnya retak.
“Aku tak punya kemewahan untuk hancur.”
Adrien tidak mengejeknya. Tidak menyeringai atau melemparkan komentar sarkastik.
Ia hanya menatapnya, kilau geli di matanya meredup menjadi sesuatu yang lebih serius.
“Siapa yang memberitahumu itu?” tanyanya.
Theresa tertawa hambar. “Kenyataan.”
Adrien terdiam cukup lama.
Lalu ia bergerak.
Dengan gerakan lembut dan sengaja, ia menyibakkan sehelai rambut yang jatuh di wajah Theresa ke belakang telinganya.
Theresa membeku.
Jantungnya berdegup kencang, menggema di dadanya seperti dentuman gendang perang.
Ia terlalu dekat. Nafasnya nyaris terasa di kulit. Tatapannya tidak menghakimi, tidak menuntut—hanya tenang, hanya ada di sana, seolah memahami sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum berani akui.
Seharusnya ia mendorongnya pergi. Membangun kembali tembok yang selama ini melindunginya. Mengusir kehangatan aneh yang mulai merayap di sela-sela keheningan.
Tapi ia hanya… duduk diam.
Tidak bergerak. Tidak menolak.
Membiarkan dirinya bernapas.
Membiarkan dirinya… terlihat.
Gencatan Senjata Sementara.
Akhirnya, Adrien bersandar kembali, memberinya ruang. Tidak ada tekanan, tidak ada paksaan, hanya tatapan lembut yang bertolak belakang dengan biasanya. Seolah ia memahami sesuatu yang tak pernah diucapkan.
“Kau tahu, Coldwell,” katanya, suaranya tenang namun penuh makna, “bahkan ratu pun boleh memiliki hari yang buruk.”
Theresa menelan ludah. Kata-kata itu seharusnya terdengar sepele, tapi entah kenapa, sesuatu dalam dirinya terasa goyah.
Seorang ratu boleh memiliki hari yang buruk.
Tapi bukan aku.
Jarinya mengepal di atas rok seragamnya, kuku-kukunya hampir menusuk kulit. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—ekspektasi yang menghimpit, kesunyian yang menjadi teman setia, dan wajah-wajah yang menunggu setiap kesalahan untuk dijadikan senjata.
Lalu, dengan suara lirih—begitu pelan hingga ia tak yakin Adrien mendengarnya—ia berkata:
“…Tidak untukku.”
Suara itu nyaris tenggelam dalam keheningan, seperti rahasia yang tak seharusnya keluar. Seperti luka yang terlalu dalam untuk diakui.
Adrien tidak membantah.
Ia hanya duduk di sampingnya di bangku piano, tanpa berkata apa-apa. Tidak ada basa-basi, tidak ada sapaan, hanya keberadaannya yang tenang di sisinya.
Namun anehnya, Theresa tidak merasa terganggu. Tidak ada dorongan untuk mengusirnya atau memecah kesunyian dengan sarkasme seperti biasanya.
Untuk pertama kalinya, keheningan itu tidak terasa canggung atau menekan.
Untuk pertama kalinya, Theresa tidak keberatan berbagi keheningan dengan seseorang.