Fahira Hidayati tak pernah menyangka akan terjebak begitu jauh dalam perasaannya kini. Berawal dari pandangan mata yang cukup lama pada suatu hari dengan seorang ustadz yang sudah dua tahun ini mengajarnya. Sudah dua tahun tapi semuanya mulai berbeda ketika tatapan tak sengaja itu. Dua mata yang tiba-tiba saling berpandangan dan seperti ada magnet, baik dia maupun ustdz itu seperti tak mau memalingkan pandangan satu sama lainnya. Tatapan itu semakin kuat sehingga getarannya membuat jantungnya berdegup kencang. Semuanya tiba-tiba terasa begitu indah. Sekeliling yang sebelumnya terdengar riuh dengan suara-suara santri yang sedang mengaji, tiba-tiba saja dalam sekejap menjadi sepi. Seperti sedang tak ada seorangpun di dekatnya. Hanya mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu LHS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#13
"Kamu lebib faham masalah agama daripadaku. Tak ada yang bisa merubah nasib kita jika kita sendiri tidak mau merubahnya. Dengan hanya mengandalkan penghasilan yang sekarang tapi di saat yang sama kebutuhan hidup kita semakin bertambah, tentu itu semua tidak cukup. Apalagi sekarang kita sudah punya anak. Carilah pekerjaan lain agar kita tidak susah terus menerus seperti ini. Aku tidak menuntut banyak darimu. Terbebas dari hutang dan cukup kebutuhan sehari-hari, bagiku itu sudah cukup," kata Zulaikha setelah keduanya terdiam beberapa saat.
Ustadz Pahlevi terdiam. Apa yang dikatakan Zulaikha sudah terpikirkan jauh sebelumnya. Bahkan ia sempat tak tidur semalaman karna memikirkan itu. Tapi ia bingung harus kerja apa. Ikut teman-temannya yang jadi tukang sebagai laden, atau pekerjaan kasar lainnya, ia merasa tak pantas diri. Terkecuali bekerja di sawah sendiri mungkin masih bisa ia lakukan. Tapi sawah pun ia gak punya. Statusnya sebagai Ustadz benar-benar telah membelenggunya. Membuatnya malu dengan omongan orang-orang. Orang-orang yang melihatnya santai dan terkesan berkecukupan tentu akan bertanya-tanya ketika melihatnya tiba-tiba bekerja.
"Aku ini sudah mondok bertahun-tahun dengan bantuan biaya dari Almarhum Tuan Guru Ainul Yaqin. Sangat tidak pantas bagiku untuk meninggalkan pesantren itu," kata Ustadz Pahlevi mencoba membela diri. Zulaikha mendesah pendek. Setengah kesal. Ekspresinya sama sekali tidak respek dengan kata-kata Ustadz Pahlevi. Ia kemudian bangkit.
"Aku tidak menyuruhmu meninggalkan pesantren. Aku hanya ingin kamu mencari pekerjaan lain. Pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan kita sehari-hari. Mana pernah aku melarangmu sekalipun pergi ke pondok kapanpun kamu mau. Aku hanya minta tolong kurangi beban pikiranku," kata Zulaikha sambil berlalu meninggalkan Ustadz Pahlevi. Ustadz Pahlevi membentur-benturkan kepalanya beberapa kali di sofa. Kesusahan demi kesusahan terbentang di depan matanya.Tanpa ada jalan keluar selain meminta bantuan seseorang untuk memberinya pinjaman. Bulan ini sudah kelar, tapi bulan-bulan berikut akan menuntut hal yang sama.
Hujan masih turun dengan derasnya. Ustadz Pahlevi menoleh ke arah jam dinding. Tidak terasa sudah pukul sepuluh malam. Hujan di luar sana masih turun deras. Lantai ruang tamu sudah digenangi air sebab terkena cipratan air, juga limpahan air yang mengalir dari ember.Zulaikha sudah sedari tadi tak terlihat keluar dari kamarnya.
Ustadz Pahlevi bangkit. Ember yang sudah penuh menampung bocoran air hujan ia angkat dan menumpahkan isinya di luar rumah. Ustadz Pahlevi berdiri sejenak memandang langit yang nampak gelap. Hujan pertama di tahun ini begitu deras. Melihat gelapnya langit, kemungkinan hujannya akan bertahan hingga tengah malam nanti.
Ustadz Pahlevi kemudian kembali masuk. Setelah meletakkan ember di tempatnya semula, ia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Sambil berbaring, tatapannya jauh menerawang ke atas sana.
Ustadz Pahlevi tiba-tiba tersenyum. Pikirannya yang kusut dan dipenuhi kesusahan tentang nafkah keluarganya hilang begitu saja ketika wajah Fahira Hidayati muncul di ujung pandangannya. Bola mata bulat dan tatapan tajam gadis itu membuat jiwa kelaki-lakiannya bangkit. Dia mencoba mengingat kembali dari awal kejadian kemarin sore saat dua kali beradu pandang dengan Fahira Hidayati. Mulai menerka arti dari sorot mata gadis itu. Tak mungkin itu adalah sorot mata kebencian. Tidak juga tatapan aneh terhadap dirinya. Jawabannya hanya satu. Mungkinkah gadis itu tertarik kepadanya? Batinnya.
Ah, gadis itu tahu kalau dirinya sudah berisitri dan punya anak. Mungkinkah ia suka kepada laki-laki yang sudah beristri sepertinya?
Ustadz Pahlevi membolak-balikkan badannya kesana kemari. Rasa berbeda yang kini menguasai hatinya membuatnya tidak nyaman. Ustadz Pahlevi bangkit dan melangkah menuju lemari cermin yang ada di tengah-tengah ruang tamu. Ia menoleh ke arah kamar tempat Zulaikha dan anaknya tidur. Suasana terlihat sepi. Ustadz Pahlevi mulai memperhatikan dirinya di depan cermin.
Ah, sepertinya ia harus memakai kembali pakaian yang dipakainya tadi sore saat mengajar agar lebih memastikan bahwa tidak ada yang aneh dari dirinya . Ustadz Pahlevi kemudian berbalik. Satu persatu pakaian yang ia pakai mengajar tadi sore dipakainya dan kembali ke cermin. Di depan cermin, Ustadz Pahlevi mulai membolak-balikkan tubuhnya dan memperhatikannya dengan detail.
Ustadz Pahlevi memajukan tubuhnya lebih dekat dengan cermin. Wajahnya hampir-hampir menyentuh cermin. Dia mulai memeriksa wajahnya. Mengusap-usap minyak yang terlihat di sekitar pipi dan hidungnya. Tak lupa ia membolak-balikkan posisi kopiahnya, yang menurutnya pas dan terlihat enak dipandang saat mengajar di hari-hari berikutnya nanti. Hal yang sama sekali tak pernah ia lakukan sebelumnya. Bahkan menghadap cermin pun ia malas. Ustadz Pahlevi tersenyum. Ia mengangguk mantap kepada bayangnya sendiri di depan cermin. Tidak salah lagi. Ia meyakini bahwa Fahira Hidayati memang tertarik kepadanya. Tatapan itu bukan tatapan kebencian ataupun tatapan takzim seorang santri kepada ustadznya. Tatapan itu adalah tatapan ketertarikan. Kesimpulan sementaranya itu membuat perasaannya begitu bahagia.
Terdengar suara batuk Zulaikha dari dalam kamar. Ustadz Pahlevi buru-buru membalikkan badannya. Kopiah segera ia letakkan di atas penggantungan dan kembali berbaring di atas sofa. Ustadz Pahlevi menghela nafas pelan sembari merasakan denyut jantungnya yang berdetak lebih keras. Pikirannya kembali melayang menghadirkan sosok Fahira Hidayati.
Gadis itu memang cantik. Kulitnya yang hitam manis selaras dengan matanya yang bulat bening dan tajam. Saat menghadirkannya kembali, ia seperti sedang menyaksikan keindahan burung merak yang sedang mempertontonkan warna bulunya yang indah. Dia jadi tak sabar menunggu hari esok. Besok ia akan membuktikan bahwa Fahira Hidayati menatapnya karna ia menyukainya. Jika pandangan itu terjadi lagi, ia akan berikan sedikit senyum untuk Fahira Hidayati. Jika gadis itu membalasnya dengan tersenyum lalu menunduk malu, maka gadis itu memang menyukainya.
Ustadz Pahlevi menghempaskan nafasnya keras. Seakan-akan ingin mengurangi sedikit beban rasa tak menentu dalam hatinya. Hingga tanpa ia sadari, suara hujan yang masih deras meninabobokannya lelap dalam tidurnya.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua malam ketika hujan mulai reda. Hanya gerimis kecil yang terlihat dalam lingkup cahaya-cahaya lampu di tepi jalan. Pepohonan membisu seperti kedinginan diguyur hujan sejak isya tadi. Langit masih terlihat gelap. Udara berhembus dingin. Tubuh-tubuh yang sebelumnya bersimbah peluh saat malam hari, kini meringkuk kedinginan dalam selimut tebal mereka.
Fahira Hidayati masih bersimpuh di atas sajadahnya setelah selesai melaksanakan shalat tahajjud dan shalat hajat beberapa rakaat. Dan kini ia masih harus menyelesaikan bacaan shalawatnya hingga mencapai seribu kali. Ia terlihat beberapa kali memindahkan tasbih bergantian dari tangan kanan ke tangan kirinya jika ia merasa salah satu dari tangannya terasa pegal. Malam ini adalah malam jumat, yang tidak mau ia lewatkan begitu saja dengan tidur ataupun menghayal. Doa dan usaha harus beriringan dilakukan. Shalat hajat dan shalawat yang ia lakukan, ja meminta keberkahan dan pengabulannya atas segala doa dan hajat dalam hatinya. Bersatu dengan Ustadz Pahlevi suatu saat nanti adalah harapannya. Tak peduli berapa usianya nanti, juga usia Ustadz Pahlevi saat Allah mengabulkannya.
"Alhamdulillah," desah Fahira Hidayati sambil meletakkan tasbih di atas sajadah. Tatapannya berbinar-binar menghadap ke depannya. Hatinya merasa tenang. Ia kemudian melepas mukenanya lalu berbaring di atas sajadahnya. Sebelum menutup matanya, tak lupa ia berdoa dan menghadiahkan fatihah untuk Ustadz Pahlevi.