Kalian Bisa Dukung aku di link ini :
https://saweria.co/KatsumiFerisu
Seorang pengguna roh legendaris, yang sepanjang hidupnya hanya mengenal darah dan pertempuran, akhirnya merasa jenuh dengan peperangan tanpa akhir. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, ia memutuskan mengakhiri hidupnya, berharap menemukan kedamaian abadi. Namun, takdir justru mempermainkannya—ia terlahir kembali sebagai Ferisu Von Velmoria, pangeran ketiga Kerajaan Velmoria.
Di dunia di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk menjalin kontrak dengan roh, Ferisu justru dikenal sebagai "Pangeran Sampah." Tidak ada roh yang mau menjawab panggilannya. Dipandang sebagai aib keluarga kerajaan, ia menjalani hidup dalam kemalasan dan menerima ejekan tanpa perlawanan.
Tetapi saat ia masuk ke Akademi Astralis, tempat di mana para ahli roh belajar tentang sihir, teknik, dan cara bertarung dengan roh, sebuah tempat terbaik untuk menciptakan para ahli. Di sana Ferisu mengalami serangkaian peristiwa hingga akhirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 : Galau
Di pagi yang cerah, di kediaman Duke Valcrest, Erica menikmati sarapan bersama keluarganya. Suasana pagi itu hangat, namun pertanyaan yang tiba-tiba dilontarkan Ayahnya membuat Erica terdiam sejenak.
"Bagaimana jalan-jalanmu kemarin bersama dengan Pangeran Ferisu?" tanya Duke Valcrest dengan nada biasa, sambil menyeruput tehnya.
Erica, yang pada awalnya hendak menjawab santai, terhenti sejenak. Ingatannya kembali pada kejadian aneh yang ia saksikan kemarin.
"Tak ada hal yang..." Erica menggantungkan ucapannya, matanya menyipit seakan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
"Hal yang...?" sela Ibu Erica, yang kini terlihat penasaran.
Erica menggeleng pelan, mencoba menghilangkan kebingungannya. Ia kemudian menatap Ayahnya dengan tatapan serius. "Ayah, apa tanggapan Ayah mengenai pedang sihir elemen air?"
Duke Valcrest mengangkat alis, sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Namun ia menjawab dengan tenang, "Pedang elemen air? Itu hanya mainan. Pedang itu tidak berguna dalam pertempuran. Satu-satunya fungsi yang bisa kubayangkan hanyalah untuk menyiram tanaman."
Seperti yang kuduga. Erica menggumamkan kata-kata itu dalam hati.
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal itu, Erica?" tanya Ibu Erica dengan nada lembut, namun ada rasa ingin tahu dalam suaranya.
Erica menghela napas, lalu mulai menceritakan kejadian yang ia saksikan di kota. Tentang bagaimana Ferisu, dengan caranya yang tak terduga, memecahkan masalah antara pandai besi dan pedagang.
Ia menjelaskan secara rinci bagaimana Ferisu mengubah batu roh air menjadi pedang es yang luar biasa, bahkan memotong kayu dengan mudah. Tak hanya itu, ia juga menyebutkan solusi yang Ferisu berikan untuk kompor portabel, sesuatu yang tak terpikirkan oleh orang lain.
Sementara Erica bercerita, ekspresi Duke Valcrest berubah drastis. Matanya melebar, rahangnya sedikit ternganga. "Tidak mungkin!" serunya dengan nada yang mencerminkan keterkejutannya.
"Tapi itu kenyataan, Ayah. Aku menyaksikannya sendiri. Dia bahkan menjelaskan mekanismenya dengan cara yang masuk akal, seolah-olah dia sudah memahami prinsip batu roh air jauh lebih baik dari para pengrajin atau ahli sihir."
Duke Valcrest terdiam, terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Mungkin... Ferisu—pangeran yang selama ini kita anggap sampah—tidaklah seperti yang kita duga," lanjut Erica, menatap tajam ke arah Ayahnya.
Ibu Erica yang sejak tadi mendengarkan hanya bisa menatap putrinya dengan penuh kebingungan. "Jadi, kau percaya dia menyembunyikan sesuatu?" tanyanya dengan ragu.
Erica mengangguk kecil. "Aku yakin. Ada lebih banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Ferisu."
Duke Valcrest akhirnya berbicara, suaranya lebih tenang namun penuh dengan pertimbangan. "Kalau begitu, Erica... kita harus mengawasi dia lebih dekat. Jika dia benar-benar memiliki potensi sebesar itu, maka posisi Ferisu di kerajaan bisa berubah drastis."
Erica hanya mengangguk, namun dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa rahasia besar yang sebenarnya disembunyikan oleh Ferisu.
"Oh iya," suara Ibu Erica terdengar santai, tetapi matanya menyimpan rasa penasaran yang tajam. "Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Ferisu? Aku dengar dia punya satu tunangan lagi. Kalau tak salah, dia seorang Elf, ya?"
Erica yang baru saja meneguk tehnya langsung terdiam. Alisnya sedikit berkerut, menandakan ia merasa kurang nyaman dengan pertanyaan tersebut. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, lalu menjawab dengan nada datar.
"Hubungan kami baik-baik saja," katanya singkat, matanya menghindari tatapan langsung dari Ibunya.
"Oh? Hanya itu? Kau tidak merasa aneh berbagi tunangan dengan orang lain?" desak Ibu Erica dengan senyum kecil yang terasa seperti menusuk.
Erica menghela napas pelan. "Aku tidak terlalu peduli," ujarnya, berusaha mengakhiri topik itu. "Lagipula, semuanya hanya soal perjodohan politik, bukan karena cinta."
Namun, Ibu Erica tampak belum puas. "Tapi kau tetap bertunangan dengannya. Apakah dia menunjukkan sikap yang... mendekati layaknya seorang tunangan? Atau mungkin si Elf itu yang lebih mendominasi perhatian Ferisu?"
Erica mulai merasa risih. "Bu, apa ini benar-benar penting untuk dibicarakan saat sarapan?" Ia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan nada protes, tetapi itu hanya membuat Ibunya tersenyum lebih lebar.
"Yah, hanya ingin tahu saja. Bagaimanapun, dia calon suamimu, Erica," jawab Ibu Erica dengan nada menggoda.
Duke Valcrest yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, mencoba mencairkan suasana. "Cukup, sayang. Jika Erica tidak ingin membahasnya, kita tidak perlu memaksanya."
Erica mengangguk cepat, merasa berterima kasih pada Ayahnya. Namun, meskipun percakapan itu berakhir, hatinya tetap gelisah. Ia tidak hanya risih karena pertanyaan ibunya, tetapi juga karena ia sendiri mulai memikirkan hubungannya dengan Ferisu dan betapa misteriusnya pangeran itu.
"Kenapa aku bahkan harus memikirkan ini?" gumam Erica dalam hati sambil menyantap makanannya kembali.
.
.
.
Setelah selesai sarapan, Erica berjalan menuju taman di kediamannya, mencoba mencari ketenangan. Suasana taman pagi itu begitu damai, dihiasi oleh gemericik air dari air mancur kecil di tengahnya. Erica memilih sebuah bangku di bawah pohon besar, tempat favoritnya, lalu duduk dengan santai menikmati angin yang berhembus lembut.
Seorang pelayan datang dengan sopan, membawa nampan berisi kue-kue kecil dan secangkir teh hangat. "Nona Erica, ini kuenya. Semoga Anda menikmati waktu santai Anda," ujarnya dengan lembut sebelum meninggalkan Erica sendirian.
Erica menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah bunga-bunga di depannya. "Huft~" suara lirih itu keluar bersama embusan napasnya yang terasa berat.
Pertanyaan ibunya tadi saat sarapan terus bergema di kepalanya. Ia memegang cangkir teh yang masih mengepul, namun tak kunjung meminumnya. "Licia yang lebih mendominasi perhatian Ferisu?" Erica bergumam pelan, mengulang kalimat itu. Lalu, dengan nada yang lebih tegas, ia menyahut dirinya sendiri, "Aku tak peduli soal itu."
Tapi kebohongan itu terasa seperti duri di hatinya. "Memang kenapa kalau Ferisu lebih memperhatikan Licia? Bukankah aku sendiri tidak pernah menganggap pertunangan ini serius?" Erica kembali berbicara sendiri, suaranya penuh nada kesal, seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar tidak peduli.
Ia menggigit salah satu kuenya, lalu bersandar ke bangku dengan frustrasi. "Kenapa aku harus memikirkan dia? Dia itu Pangeran Sampah, pemalas, dan acuh!" katanya, mencoba menegaskan pendiriannya.
Namun, gambaran Ferisu yang berbeda dari hari sebelumnya kembali muncul di benaknya. Cara Ferisu menangani perdebatan di kota, solusi kreatifnya soal kompor portabel, hingga ketenangannya yang begitu tak terduga—semua itu membuat Erica semakin gelisah.
"Apa mungkin aku yang selama ini salah menilai dia?" Erica bergumam dengan nada lebih lembut, tetapi segera menggelengkan kepala, menepis pikirannya sendiri. "Tidak, itu tidak mungkin. Dia hanya beruntung."
Tetapi, meskipun ia mencoba menyangkal, hatinya terus bertanya-tanya. "Sebenarnya, siapa kau, Ferisu?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam kediaman Duke Valcrest, ruangan kerjanya yang megah dipenuhi aroma kayu mahoni dan tumpukan dokumen tertata rapi di atas meja besar. Di sana, Duke Valcrest tengah duduk di kursinya, sementara istrinya, Margaret, berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan raut wajah serius.
"Sayang, bagaimana menurutmu tentang cerita Erica tadi?" tanya Margaret, suaranya lembut namun sarat dengan rasa ingin tahu.
Duke Valcrest menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja. "Jika itu benar adanya... kita tak bisa melepaskan Pangeran Ferisu begitu saja," jawabnya mantap. "Dia mungkin selama ini dipandang sebelah mata, tetapi kemampuan seperti yang diceritakan Erica adalah hal yang luar biasa. Ini bisa menjadi kesempatan emas untuk keluarga kita."
Margaret berbalik, menatap suaminya dengan pandangan penuh arti. "Kau berpikir untuk memanfaatkan hubungan pertunangan mereka?"
"Lebih dari itu," Duke Valcrest mencondongkan tubuhnya ke depan, menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Jika Ferisu benar-benar memiliki kecerdasan dan kemampuan seperti itu, dia bisa menjadi aset besar bagi kerajaan—dan bagi masa depan Erica. Pernikahan mereka bisa memperkuat posisi keluarga kita di istana."
"Tapi bagaimana jika semua itu hanya kebetulan belaka? Atau mungkin Erica salah menilai?" tanya Margaret, tampak masih ragu.
Duke Valcrest tersenyum tipis, sorot matanya penuh keyakinan. "Aku mengenal Erica. Dia bukan tipe yang mudah terkagum atau berlebihan dalam menilai sesuatu. Jika dia mengatakan Ferisu melakukan sesuatu yang di luar dugaan, maka aku yakin ada sesuatu yang lebih dalam pada anak itu. Lagi pula, tidak ada salahnya kita menggali lebih jauh tentang dia."
Margaret mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi di hadapan suaminya. "Kalau begitu, apa langkah kita selanjutnya?"
"Kita perlu mengamati dia lebih dekat," jawab Duke Valcrest. "Aku akan mengirimkan seseorang untuk memantau setiap tindakannya. Selain itu, kita harus memastikan bahwa hubungan Erica dengan Ferisu tidak merenggang. Jika perlu, kita dorong Erica untuk lebih mendekat kepadanya."
Margaret tersenyum tipis, tampak puas dengan rencana itu. "Aku akan berbicara dengan Erica. Tapi kau tahu sifatnya—dia keras kepala dan tidak suka didikte."
"Aku tahu," Duke Valcrest mengangguk. "Tapi aku yakin dia akan memahami pentingnya ini, baik untuk keluarganya maupun untuk dirinya sendiri."
Keduanya saling bertukar pandang, kesepakatan tak terucap terjalin di antara mereka. Masa depan keluarga Astrea kini seolah tergantung pada rahasia yang tersimpan di balik sosok Pangeran yang selama ini dianggap sebagai "sampah."
raja sihir gitu lho 🤩