“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 29
Jam dinding kamar rawat menunjukkan pukul delapan malam. Cahaya redup membuat ruangan terasa semakin sunyi. Mahira menatap Nurma yang masih tertidur. Wajah gadis itu pucat dan bibirnya kering, napasnya masih belum stabil meski sudah diberi obat.
Ponsel Mahira bergetar pelan.
Satu pesan masuk dari Doni.
Sayang hati hati. Jaga diri. Aku malam ini ada pekerjaan.
Mahira menatap layar itu lama.
Lalu ia menekan tombol telepon.
Nada sambung berulang… kemudian mati.
Tidak aktif.
Mahira menggigit bibir. Dadanya menghangat oleh rasa kesal yang sulit dijelaskan.
“Kenapa dia tidak ada waktu aku butuh,” gumamnya lirih.
“Semua ini juga berawal dari lingkaran dia.”
Ia menutup wajahnya sebentar dengan kedua telapak tangan, mencoba menarik napas panjang. Saat menghembuskannya, suaranya berubah lebih tenang.
“Dia masih remaja… hanya terlihat dewasa.”
Mahira menatap langit langit, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri.
“Aku tidak bisa mengandalkan dia untuk urusan seperti ini. Risiko terlalu besar. Kalau aku kalah… setidaknya biar aku saja. Jalan hidup dia masih panjang.”
Mahira memutuskan tinggal di rumah sakit malam itu. Tidak tega meninggalkan Nurma sendirian. Ketika obat mulai bekerja, Nurma akhirnya tidur lebih tenang. Tubuhnya tidak lagi menggigil seperti tadi.
Pagi datang pelan. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai. Mahira terbangun oleh suara lirih dari ranjang sebelah.
“Bu…,” erang Nurma.
Mahira segera bangun. “Ada apa Nurma?”
“Haus bu…” suara itu hampir tidak terdengar.
Mahira berdiri, mengambil gelas plastik berisi air, lalu memasang sedotan. Ia menahan kepala Nurma dengan lembut.
“Pelan pelan,” ujarnya.
Nurma meneguk sedikit demi sedikit. Setelah itu ia menutup mata, seperti mengumpulkan tenaga.
“Bu… ibu tidak pulang?” tanya Nurma lirih.
Mahira tersenyum kecil. “Tidak. Aku di sini menjaga kamu.”
Mata Nurma bergetar. Ia menatap Mahira lama, seperti tidak percaya.
“Terimakasih bu. Ibu selalu ada untuk aku.” Suaranya pecah di akhir kalimat.
Mahira meraih tangan Nurma, menggenggamnya hangat. “Sudah kewajiban kita sesama manusia untuk saling bantu. Dan kamu murid aku.”
Kelopak mata Nurma mengembun. Setetes air jatuh ke pipinya. Mahira cepat mengusapnya dengan ibu jarinya.
“Sabar ya Nurma. Kamu anak kuat.”
Ia harus menelan ludah sebelum melanjutkan, karena kata kata itu sendiri terasa berat.
“Keadilan pasti datang.”
Namun setelah mengucapkannya, Mahira sadar betapa besar pertarungan yang menunggunya di luar sana. Tapi melihat mata Nurma, ia tahu ia tidak mungkin mundur
..
Mahira merapikan selimut Nurma sebelum berbicara.
“Nurma… ibu mau pergi sebentar. Kamu bisa sendiri dulu di sini?” suaranya lembut, nyaris seperti suara seorang kakak.
Nurma tersenyum tipis. Senyum yang berusaha terlihat kuat padahal tubuhnya masih lemah.
“Tentu saja bu. Aku sudah sehat. Sudah baik baik saja.”
Mahira tahu itu bohong. Mata gadis itu masih sayu, tubuhnya masih gemetar kecil. Ia mengusap rambut Nurma pelan.
“Kamu anak hebat, Nurma.”
Pipi Nurma memerah sedikit, lalu ia menatap Mahira pelan.
“Terimakasih bu… ibu mau ke mana?”
Mahira menahan napas sebelum menjawab. “Ibu mau cari keadilan untuk kamu.”
Nurma terdiam. “Ke mana bu?”
Mahira menegakkan tubuhnya, suaranya mantap. “Kantor polisi.”
Terdengar helaan napas panjang dari ranjang. Nurma memalingkan wajah sebentar lalu kembali menatap langit langit.
“Silakan bu. Tapi…” ia menggigit bibir. “Aku ragu hasilnya akan ada. Orang seperti Leo… Saras… orang seperti mereka… biasanya menang.”
Mahira merasakan dada kirinya mengencang. Perasaan pahit itu muncul lagi. Ia tahu Nurma tidak sedang pesimis. Gadis itu hanya mengatakan kenyataan yang selama ini disaksikannya.
“Seburuk apapun instansi itu,” ucap Mahira pelan, “mereka tetap lembaga penegak keadilan. Kita harus mencoba.”
Nurma mengangguk pelan, meski tatapannya seperti sudah lelah berharap.
“Baik bu. Semoga sukses.”
Mahira tersenyum, meski sulit. “Doakan ibu ya.”
Nurma mengangguk kecil.
Mahira membelai kepala gadis itu sekali lagi sebelum berjalan keluar. Pintu tertutup pelan. Suara langkah Mahira memudar di lorong rumah sakit.
Di dalam kamar rawat, Nurma menatap langit langit sambil menghela napas panjang. Senyum miring muncul di sudut bibirnya.
“Sepertinya… semua itu akan sia sia bu,” bisiknya lirih, lebih seperti kenyataan pahit daripada keputusasaan
Mahira duduk di belakang motor ojek online, tangannya menggenggam erat pegangan. Jalanan pagi masih basah sisa embun. Angin menerpa wajahnya, membuat jilbabnya berkibar. Namun pikirannya tidak berada di jalan itu.
“Apapun akan aku lakukan untuk mendapatkan keadilan,” gumamnya, lebih seperti janji pada diri sendiri.
Berkali kali ia menelan ludah. Di kepalanya muncul gambaran yang menakutkan, namun anehnya justru menguatkan. Jika laporannya ditolak… ia akan berlutut di depan kantor polisi. Jika tetap ditolak… ia membayangkan sesuatu yang lebih ekstrem. Menjahit mulutnya sendiri sebagai bentuk protes. Bayangan itu membuat perutnya mual tapi tekadnya tidak goyah.
Ketika ojek berhenti di depan kantor polisi, Mahira turun dengan tangan berkeringat. Bangunan itu terlihat biasa saja, tapi bagi Mahira terasa seperti gerbang menuju medan perang.
“Demi tegaknya keadilan… apa pun akan aku lakukan,” bisiknya lagi.
Ia melangkah masuk. Lorong pelayanan penuh orang. Ada yang menangis, ada yang marah, ada yang tampak pasrah. Semua ingin didengar. Mahira memeluk tasnya erat, berusaha menahan gemetar.
Ia tiba di depan meja pelayanan. Seorang polisi duduk di belakang meja, wajahnya datar, matanya lelah.
“Saya mau melaporkan kasus kekerasan pada siswa saya, Pak,” ucap Mahira. Suaranya pelan tapi mantap.
Polisi itu mengangkat wajah. “Sekolah mana, Bu?”
“SMK Nusantara.”
Sekilas perubahan kecil muncul di wajah polisi itu. Seperti ada sesuatu yang ia kenali. Seperti nama itu punya bobot tersendiri. Ia menghela napas pelan sebelum bertanya lagi.
“Bawa hasil visumnya, Bu?”
Mahira mengeluarkan map dari tasnya. Tangannya sedikit bergetar saat menyerahkannya. Polisi menerima dokumen itu, membukanya perlahan lalu membaca dengan seksama. Alisnya naik turun mengikuti kalimat yang ia baca.
Setelah beberapa detik, ia menutup mapnya. “Baik. Ibu bisa ceritakan kronologinya?”
Mahira menarik napas panjang, lalu mulai bercerita.
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti mengiris ulang luka yang baru saja kering. Polisi itu mengetik cepat, jari jarinya menari di atas keyboard. Sesekali ia menatap Mahira, memastikan tidak ada detail yang terlewat.
Mahira menceritakan semuanya tanpa melewatkan satu pun. Suara Nurma yang memohon. Tangan Leo yang menarik rambut. Bau gudang. Ketakutan. Dan bagaimana ia menemukan Nurma hampir tidak sadarkan diri.
Polisi itu tidak memotong. Tidak bertanya. Hanya mengetik. Namun wajahnya yang kaku perlahan berubah menjadi tegang. Mahira melihat itu, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, ia merasa sedikit… sangat sedikit… ada harapan.
Polisi yang mewawancarai Mahira mengangkat ponselnya dan berjalan menjauh sedikit. Suaranya terdengar menurun tapi nada bicaranya jelas. Ia sedang memberi instruksi. Mahira bisa melihat dari bahasa tubuhnya bahwa sesuatu mulai bergerak.
Polisi itu kembali menghampirinya. “Baik, Bu Mahira. Ibu tunggu di sini dulu. Demi keamanan dan untuk memudahkan proses.”
Mahira mengangguk. “Baik, Pak.”
Untuk pertama kalinya sejak kejadian, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Tidak sesulit yang ia bayangkan. Tidak semenyeramkan bayangan protes ekstrem yang sempat terlintas di kepalanya.
…
Di SMK Nusantara, suasana siang itu berubah drastis. Biasanya siswa berkumpul sambil bercanda, tapi kali ini semua berdiri kaku. Bisik bisik bertebaran di udara.
Dari kejauhan, sirene mobil polisi terdengar pelan namun menusuk suasana. Lima menit kemudian, beberapa mobil memasuki halaman sekolah. Ban mobil menggerus kerikil, menimbulkan suara yang membuat beberapa siswa saling pandang dengan wajah ngeri.
Bu Nurhasnah bergegas keluar kantor sambil memaksa senyum, tapi tangan yang menggenggam map terlihat gemetar.
Pak Ramli, polisi yang memimpin rombongan, mendekat dengan langkah mantap. “Berdasarkan hasil visum dan barang bukti, kami akan mengamankan saudara Leo dan kawan-kawan untuk pemeriksaan.”
Wajah Bu Nurhasnah menegang. “Silakan, Pak.”
Suaranya datar, tapi bulu tengkuknya berdiri.
Dalam hati ia menggeram. “Mahira. Mahira. Kamu cari masalah.”
Beberapa guru berdiri di lorong, pura pura sibuk tapi jelas sedang menonton.
Leo dipanggil ke ruang kepala sekolah. Leo mengedarkan padangan tersenyum miring kemudian mengulurkan tangannya untuk di borgol.
“tidak usah” ucap pak ramli “bawa dengan tenang jangan ada keributan” perintahnya
Tidak ada keributan. Tidak ada adu mulut. Semua berlangsung sunyi dan teratur, tapi ketegangannya menusuk.
Saat rombongan polisi keluar dari area sekolah, udara seperti meledak. Guru guru di ruang guru langsung bersuara.
“Mahira cari masalah…” keluh Anggi sambil memegang pelipis, wajahnya pucat.
Pak Agus meletakkan kopinya yang sudah dingin. “Kita harus siap siap. Akan ada badai sebentar lagi.”
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh