Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Kondisi anak Anda cukup mengkhawatirkan. Berat badannya kurang dan fisiknya sangat lemah. Sambil menunggu persiapan penanganan di ruang NICU, mungkin bisa dilakukan metode skin to skin lebih dulu."
"Metode apa?" Alvian menatap sang dokter. Tak paham apa yang dimaksud dengan metode skin to skin. Sang dokter pun perlahan memberi penjelasan mengenai manfaat besar dari metode tersebut.
"Metode ini biasa disebut metode kangguru. Memeluk bayi di dada ibu atau ayahnya dengan sentuhan kulit. Selain membantu bayi prematur menghangatkan tubuhnya, juga bisa membantu menstabilkan detak jantung dan meningkatkan berat badan bayi."
Alvian diam sejenak, tak pula menolak saran dari dokter. Untuk saat ini apapun akan ia lakukan demi menyelamatkan bayi itu.
"Baik, Dokter."
Kini ia duduk bersandar di sebuah kursi dengan mengenakan pakaian khusus. Kemejanya dilepas sehingg sang bayi bisa bersandar di dadanya tanpa terhalangi apapun. Bersentuhan langsung antara kulit dan kulit.
Konon katanya, setiap orang tua memiliki ikatan emosional yang kuat dengan anaknya. Alvian benar-benar membuktikan hal itu sekarang. Sepanjang mendekap bayi mungil itu air matanya tak henti berderai. Ada rasa sakit yang menikamnya semakin dalam.
Tangisan lemah, tubuh dingin, dan juga kulit si kecil yang membiru di beberapa bagian benar-benar menyiksa batin. Bayi tak berdosa itu harus merasakan kerasnya hidup bahkan sebelum terlahir. Jika saja bisa, ingin sekali Alvian meminta maaf karena sudah membiarkannya tumbuh tanpa perhatian dan perlindungan.
Hampir 30 menit ia merenung, meresapi kehangatan yang tercipta dari setiap sentuhan. Alvian juga sempat mengumandangkan adzan. Seperti sebuah keajaiban, bayi kecil nan tampan itu menunjukkan banyak sekali kemajuan. Ia mulai menangis kuat, gerakannya pun tak selemah tadi.
Hingga akhirnya seorang dokter kembali datang menghampiri.
"Untuk sekarang cukup dulu, ya. Sekarang bayinya harus dibawa ke ruang NICU untuk mendapatkan perawatan."
Perlahan Alvian melepas pelukan meskipun rasanya benar-benar tidak rela.Kebersamaan itu membuat perasaannya campur aduk. Rasa seperti memiliki sesuatu yang berharga dan harus dilindungi.
Dokter membaringkan bayi ke dalam box, lalu dengan cekatan memeriksa detak jantung dan juga kondisi tubuhnya. Ia tampak tersenyum setelahnya. "Syukurlah, detak jantungnya mulai normal dan kulitnya tidak lagi membiru."
Kala detak jantung si bayi berangsur normal, justru detak jantung Alvian lah yang mendadak tidak normal. Sejak melakukan sentuhan kulit dengan si bayi, perasaannya benar-benar aneh. Jantungnya berdebar cepat dan terasa hangat yang menjalar ke hati. Selain itu, ia merasakan lega luar biasa.
"Terima kasih, Dokter. Tolong berikan penanganan terbaik untuknya. Berapa pun biaya yang dibutuhkan tidak masalah."
"Kami akan berusaha memberikan yang terbaik," ucap wanita itu. "Oh ya, di mana perlengkapan bayinya. Tadi saya cari tapi tidak ada."
Alvian baru menyadari hal itu. Perlengkapan bayi? Apa mungkin Ajela sama sekali tidak punya? Mengingat sulitnya kehidupan yang ia jalani belakangan ini.
Jangankan untuk membeli perlengkapan bayi. Bisa makan saja sudah untung.
"Sepertinya belum ada, Dok."
"Kalau begitu mungkin bisa dipersiapkan. Pakaian bayi, selimut dan diapers."
"Baik, Dokter."
Ketika seorang perawat mendorong box bayi meninggalkan ruang operasi, Alvian hanya menatapnya nanar. Perhatiannya lantas teralihkan kepada Ajela yang sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang perawatan VVIP seperti permintaannya.
Dia mendekat dan menatap wajah pucat wanita itu. Sebelah tangannya mengulur membelai puncak kepala.
"Aku minta maaf, Ajela . Kamu harus kuat."
**
**
Lamunan Galih membuyar oleh suara deringan ponsel. Ia langsung mengeluarkan benda pipih itu dari saku blazer. Nama yang tertera pada layar membuat sekujur tubuhnya meremang.
"Aduh, Tante Veny.
Bagaimana ini?" Ia menggaruk-garuk kepala gusar.
Sudah pasti tujuan Mama Veny menghubunginya adalah untuk menanyakan keberadaan Alvian.Panggilan pertama pun diabaikan Galih. Namun, Mama Veny tak menyerah. Ponsel terus berdering beberapa kali, membuat si empunya menyerah dan memilih menggeser simbol hijau pada layar agar panggilan terhubung.
"Iya, Tante," jawabnya dengan suara sedikit lemas.
"Galih, apa kamu sudah menemukan Alvian?"
Galih terdiam sejenak. Demi Alvian, kali ini ia akan berbohong kepada Mama Veny. "Belum, Tante. Alvian belum jawab telepon dan belum balas pesan."
"Ya ampun, sebenarnya ke mana sih itu anak? Ke rumah sakit mana dia membawa perempuan yang dia tolong!" Intonasi sang mama terdengar kesal.
"Belum tahu, Tante. Aku masih cari terus."
"Ya sudah, kalau ada kabar tolong cepat beritahu tante, ya."
"Baik."
Galih baru bernapas lega setelah panggilan terputus. Tepat setelah itu, pintu ruang operasi terbuka dan memunculkan sosok Alvian. Galih dapat melihat raut wajah sang sepupu yang tampak penuh khawatir.
"Al, sebenarnya perempuan yang kamu tolong tadi itu siapa?" tanya Galih, setelah Alvian duduk bersisian dengannya.
Pertanyaan itu pun tak langsung dijawab Alvian. Ia tampak penuh keraguan. Galih yang paham betul bagaimana karakter sepupunya itu langsung menepuk bahunya.
"Kamu jujur saja, siapa tahu aku bisa bantu sesuatu. Aku janji akan merahasiakan semua."
Hela napas Alvian terdengar berat. Ia menyandarkan punggungnya sambil menatap langit-langit ruangan. Sebenarnya, ia sedikit ragu untuk bercerita kepada Galih mengingat kedekatannya dengan mama dan oma. Namun, kali ini ia mencoba untuk mempercayai sepupunya itu.
"Kamu ingat malam ulang tahun PT. Ахс?"
Pikiran Galih langsung tertuju kepada sebuah perusahaan yang ada kerjasama dengan perusahaan mereka. Ya, malam itu Alvian memang menghadiri pesta ulang tahun perusahaan tersebut bersama Riana.
"Aku ingat. Malam itu kamu menghilang secara tiba-tiba dan membuat Riana kesal."
"Ya, semuanya bermula dari malam itu. Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya ada yang memasukkan obat perangsang ke minumanku."
Sontak bola mata Gali membeliak tak percaya. "Obat perangsang?"
"Iya."
Galih masih tampak belum percaya, bahkan terlihat cukup syok. "Tapi siapa yang berani melakukannya?"
Alvian memijat kepala yang mendadak terasa berdenyut. "Aku tidak tahu. Malam itu banyak tamu dan aku banyak bicara dengan orang baru."
"Kamu tidak ada niat menyelidikinya? Jangan-jangan ada seseorang yang sedang berusaha menjebakmu."
"Aku belum punya waktu. Aku tidak tahu harus bagaimana malam itu. Jadi aku menghubungi Bara dan minta dicarikan wanita." Alvian menjeda ucapannya dengan tarikan napas. Rasa bersalah akan kejadian malam itu kembali muncul.
"Ini gila! Tapi, apa hubungannya wanita yang kamu bawa ke rumah sakit dengan malam itu?" Ia menatap curiga. " Jangan-jangan...."
Alvian mengangguk pelan. “ Iya, wanita itu adalah Ajela , yang tadi kubawa ke rumah sakit."
Untuk beberapa saat Galih merasa seperti kehilangan akal sehat. Ia tahu betul seperti apa Alvian yang selama ini sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan seorang wanita.
Sangat tidak mungkin jika ia mau menghabiskan satu malam dengan seorang wanita penghibur.
"Maksudnya, kamu menghabiskan malam dengan wanita panggilan?"
"Aku tidak segila itu sampai mau dengan wanita sembarangan!"
"Oke-oke, aku paham." Galih masih mencerna setiap ucapan Alvian dan membentuk kesimpulan sendiri dalam pikirannya. "Jadi maksudnya wanita itu melahirkan anak dari hasil malam itu?"
Alvian mengangguk pelan. Meskipun sebelumnya Ajela mengaku hamil dari laki-laki lain, tetapi Alvian memiliki keyakinan jika bayi laki-laki itu memang benihnya.
"Kamu yakin itu anakmu? Bisa saja wanita itu hamil dengan laki-laki lain, kan?" Galih hendak memastikan. Walau bagaimana pun ia harus waspada dengan orang-orang di sekeliling Alvian. Ia bisa saja dijebak untuk mendapatkan keuntungan.
"Ayo, ikut aku ke ruang bayi."
Alvian berdiri meninggalkan tempat duduknya. Melangkah lebih dulu menuju ruangan khusus bayi. Galih mengikuti di belakang punggungnya, hingga mereka tiba di sebuah ruangan berdinding serba kaca.
Keduanya pun hanya melihat dari jendela, karena ruangan itu tidak boleh dimasuki selain petugas kesehatan dan orang tua bayi. Beruntung bayi Ajela berada di barisan paling dekat dengan jendela. Alvian dapat mengenali dari gelang bertuliskan nama Ajela yang melingkar di pergelangan tangan kanan.
Bagai dihimpit bongkahan batu besar, Alvian merasakan dadanya sesak tak terkira. Bayi kecil itu sedang terbaring dengan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya. Berjuang hidup dengan tubuhnya yang lemah.
"Itu bayinya." Alvian menunjuk salah satu bayi di dalam inkubator.
Pandangan Galih pun mengikuti ke mana arah yang ditunjuk Alvian. Menatap bayi itu secara benar-benar dan penuh teliti. Membuatnya terkejut sekaligus takjub. Sang bayi memang seperti pantulan Alvian dalam bentuk kecil. Siapapun pasti akan menduga bahwa mereka ayah dan anak. Tidak heran jika Alvian begitu yakin.
"Ya ampun, pantas saja. Tanpa tes DNA pun bayi itu bisa membuktikan dia anak siapa. Potongannya kamu banget," ujar Galih.
Lagi, Alvian mengangguk.
Ingin sekali ia peluk bayinya seperti tadi. Menciumi pipinya yang halus nan lembut.
"Dia lahir prematur dan tubuhnya masih sangat lemah."
Untuk pertama kali, Galih melihat tatapan sendu Alvian.
"Jadi, kalau bayi itu benar-benar anakmu, lalu bagaimana dengan ibunya? Kamu akan bertanggung jawab dan menikahi ibunya, atau mengambil anaknya saja?"
Pertanyaan Galih membuat Alvian diam seribu bahasa.
Bersambung ~