Awalnya pura-pura, lama-lama jadi cinta. Aku, Renata Priyanka, menghadapi kenyataan hidup yang tidak terduga setelah calon suamiku memutuskan hubungan satu minggu sebelum pernikahan.
Untuk memperbaiki nama baik keluarga, kakek mengatur pernikahanku dengan keluarga Allegra, yaitu Gelio Allegra yang merupakan pria yang terkenal "gila". Aku harus beradaptasi dengan kehidupan baru dan konflik batin yang menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anak Balita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kapan Kau Akan Menikahi Ku?
1 Maret 2025, malam hari.
Saat peringatan tiga tahun hubunganku dengan Edward, aku berfikir jika sudah seharusnya kami melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu jenjang pernikahan. Melihat umurku yang sudah menginjak usia 24 tahun dan Edward berumur 27 tahun. Itu adalah usia manis untuk menjalani sebuah kehidupan pernikahan bersama pasangan yang dicintai.
"Ed, selamat hari jadian kita yang ke-3 tahun! Bagaimana? Apa kau tidak ada niatan untuk melanjutkan hubungan kita ke jenjang yang lebih serius?" aku bertanya kepadanya, Edward Knightley yang duduk tepat di sampingku.
Edward yang mendengar pertanyaan keramat dariku itupun sontak terdiam dan menunduk seakan sedang memikirkan sesuatu. Dia yang terlihat belum siap untuk menikah, mencoba mencari-cari alasan agar tidak menyakiti perasaanku saat itu. Memikirkannya saja dia belum siap, apalagi melakukannya.
"Apa yang kau katakan sayang? Dari awal kita pacaran kan hubungan kita selalu serius, memangnya apa yang kau ragukan dariku?" tanya Edward memegang kedua pipiku dengan lembut.
"Bukan begitu. Tapi, jenjang serius yang ku maksud adalah sebuah pernikahan. Kapan kau akan menikahi ku?" tanyaku.
Pertanyaanku itu membuat Edward terdiam, dia mengepalkan tangannya, dengan wajah tersenyum ia mencoba menenangkan dirinya dan mencoba untuk terlihat baik di depanku.
"Aku paham, aku mengerti perasaan mu sayang. Tapi coba kau pikirkan diriku juga, bukankah waktu itu aku pernah berjanji? Aku akan menikahi mu disaat aku sudah sukses nanti, tunggu sebentar lagi oke?" rayu Edward dengan nada pelan dan lembut.
"Tapi kapan kau akan sukses?! Kenapa sangat sulit mendapatkan kepastian darimu? Apa karena uang? Uangmu belum cukup untuk menikah denganku? Aku punya uang, biar aku yang membayar biaya pernikahan kita nanti. Masalah sukses, kita bisa meraihnya bersama-sama!" aku mengucapkan kata-kata yang terasa bagaikan pisau tumpul yang dipaksa digunakan untuk menusuk dada laki-laki itu.
Dia merasa jika harga dirinya seakan terlihat sangat tidak berharga di mataku, padahal aku tidak begitu. Memang benar jika keluargaku jauh lebih kaya dibandingkan Edward yang hanya memiliki uang pas-pasan. Tapi masalahnya bukan soal uang, tapi soal kesiapan dan harga diri. Edward terdiam, dia menatap mataku yang terlihat mulai berkaca-kaca.
"Kau tidak tahu bagaimana perasaan ku saat kau mengatakan hal itu dengan sangat mudah! Harga diriku sebagai laki-laki seperti tidak ada harganya sama sekali di mata mu itu! Jangan hanya ingin dipahami, cobalah untuk memahami!" kata Edward yang tiba-tiba membentak gara-gara hatinya sudah terlanjur marah.
Tubuhku gemetar, air mataku perlahan menetes ke pipi. Ini pertama kalinya aku melihat kemarahan Edward yang sangat menggebu-gebu. Walau Edward tidak suka main tangan, namun nada tinggi yang barusan ia keluarkan membuatku benar-benar ketakutan.
Melihatku gemetar akibat bentakkan darinya, Edward merasa bersalah karena membuat wanita yang sangat ia cintai meneteskan air matanya gara-gara perlakuannya yang kasar. Tangannya menarik tubuhku dengan lembut, membuatku berada dekat di sampingnya.
Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar, dia merasa wajar jika aku berfikir seperti itu. Dia salah, melihat pengorbanan yang sudah kulakukan selama ini hanya untuknya, dia tidak ingin membuatku merasa kecewa. Dengan lembut ia memelukku, membelai rambutku kemudian berbisik di telingaku.
"Baiklah, baik sayangku. Jika hal itu benar-benar bisa membuatmu bahagia, aku akan mengikuti apapun yang kau inginkan. Maaf sudah membentak mu tadi ya dan aku masih belum bisa membuatmu bahagia," kata Edward yang terdengar sangat tulus.
Aku menggelengkan kepalaku, naik ke atas pangkuan Edward yang memangku tubuhku dengan erat. "Itu tidak benar, bisa terus bersamamu seperti ini adalah sebuah kebahagiaan tak terhingga bagiku. Maka dari itu, tetaplah bersamaku sayang. Aku tidak mau kehilangan dirimu," aku membelai rambut Edward yang agak panjang dengan model potongan wolf cut.
Perasaan sedih, haru, marah, kecewa, dan bahagia. Semuanya tercampur rata didalam satu waktu diantara kami berdua. Aku mulai mencium bibir laki-laki dihadapan ku itu dengan lembut. Ritme mengalir mengikuti nada, kami terhanyut akan suasana yang penuh akan romantisme.
Perlahan Edward membalikkan keadaan, dia membaringkan tubuhku yang ringan ke sofa tempat kami duduk saat itu. Mulut saling memenuhi satu sama lain, tangan kekar Edward meraba lalu membuka kait bra di punggungku.
Dari atas turun ke bawah, jalurnya memang seperti itu. Kebimbangan hati mulai memudar seiring pesatnya kemajuan pergerakan. Tubuhku menggeliat disaat Edward menyentuh bagian yang sensitif. Hawa dingin dimalam itu seakan tidak berefek kepada kami berdua, karena suasana menjadi semakin panas seiring berjalannya waktu.
"Ugh... Ahh..." desah dan hela nafas saling bersahutan, memenuhi ruangan itu.
"Tu-tunggu Ed... Ed!" aku berteriak menyadarkan Edward yang seakan dimabukkan oleh feromon milikku.
"J-jangan dimasukkan!" sambungku sembari terus berusaha mendorong tubuh Edward yang terasa sangat berat.
"Kenapa? Tidak boleh?" tanya Edward dengan ekspresi yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Edward yang terlihat masih belum sadar sepenuhnya itupun terus mendorong-dorongkan benda miliknya, walau hal itu tidak pernah berhasil karena ia belum melonggarkan nya.
"Hiks, kumohon Ed..." tak terasa, air mataku perlahan menetes, aku menangis sambil terus memukul-mukul dada Edward dengan lemah.
GYUTT!
Edward langsung memeluk tubuhku dengan erat, dia baru saja tersadar jika apa yang sudah ia lakukan sudah membuatku menangis seperti itu.
"Maaf, maaf sayang! Aku sudah menyakitimu," katanya sambil terus memeluk tubuhku seakan tidak mau melepaskannya.
"Hiks..., Kau hanya boleh melakukannya setelah kita menikah nanti. Sekarang tidak boleh! Huhu," sambil menangis aku memeluk balik tubuhnya yang bidang.
"Kapan kita akan menikah?" tanya Edward.
"Sebulan... Beri aku waktu sebulan, aku akan berbicara dengan kakek," sahutku.
"Kenapa hanya kau yang akan berbicara? Apa kau tidak akan membiarkanku bertemu dengan keluarga besar mu?" tanya Edward lagi.
"Itu... Itu karena kakek sudah pasti tidak akan mendengarkan mu, memangnya kau siap untuk bertemu dengan kakekku?" jelasku.
Edward tersentak, "Ja-jangan bergerak dulu sayang! Ahh..." ekspresi nya meringis, seperti sedang menahan sesuatu yang tidak bisa dia tahan.
Aku melirik ke arah bawah, dan ya benda milik Edward masih berdiri dengan tegak. Aku tertegun, Edward bergegas berdiri lalu pergi ke toilet untuk menyelesaikan urusannya. Aku tertawa saat melihat situasi yang baru saja menimpa diriku dan dirinya.
"Padahal aku takut banget, jujur rasanya sangat menegangkan hingga membuat jantungku hampir berhenti berdetak," gumam ku sambil memeriksa detak jantungku yang berdetak dengan sangat cepat dan berbunyi keras.
Aku melihat toilet yang baru saja Edward masuki. Aku sangat berharap jika aku benar-benar akan berjodoh dengan sosok Edward, laki-laki yang sangat mencintaiku dan sangat ku cintai. Sebuah ketulusan sudah membawaku sampai ke titik itu.