NovelToon NovelToon
Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Genggam Tangan Ku, Jangan Pergi

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Qatar love
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: siscaatann

Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RINTANGAN KEMBALI

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan proyek kelompok kami semakin mendekati tenggat waktu. Bima dan aku, meski udah berusaha menjalin komunikasi yang lebih baik, tetap aja ada tembok yang bikin jarak di antara kami. Rasanya, setiap kali aku berusaha mendekat, dia selalu mundur lagi.

“Meg, lo udah ngerjain bagian yang kemarin?” tanya Bima saat kami lagi ngumpul di kafe. Suaranya datar, bikin hatiku berasa aneh. “Iya, udah. Gue udah siapin presentasi buat besok,” jawabku sambil berusaha semangat. “Lo sendiri?”

“Gue juga, tinggal finishing aja,” katanya sambil ngeliat layar laptop. Aku bisa ngerasa ada yang aneh dari nada suaranya. Dia kayaknya belum sepenuhnya siap, meskipun kelihatannya dia oke-oke aja.

Di tengah suasana yang tegang ini, temen-temen kelompok kami mulai nyadar. Rina, yang selalu jadi temen curhat, langsung melirikku dan angkat bahu, seolah bilang, “Gimana nih, Meg?” Aku cuma bisa mengangkat tangan dan tersenyum, meski di dalam hati pengen teriak.

Setiap kali kami berusaha berdiskusi tentang proyek, Bima lebih suka main dengan laptopnya, kadang dia berkomentar, kadang juga cuman diem. “Bima, lo denger gak? Kita harus ngebahas ini,” ucapku dengan nada sedikit menekankan. Dia nyengir, tapi senyumnya itu nggak menutupi ketidakpeduliannya. “Iya, gue denger kok,” jawabnya, tanpa menoleh.

Rina dan temen-temen lain mulai ngerasa kalau ada yang aneh. “Eh, Meg, kenapa sih lo nggak tanya Bima langsung? Apa yang dia mau?” tanya Rina sambil nyengir. “Gue udah tanya, Rin. Dia kayaknya bosen sama proyek ini,” jawabku dengan nada sedikit frustasi.

“Coba deh lo bawa dia keluar, ajak ngobrol santai. Mungkin dia butuh refresh,” saran Rina. Sebenernya, ide itu lumayan bikin aku berpikir. Mungkin, kalau aku bisa ngajak Bima ngobrol di luar suasana proyek, dia bisa lebih terbuka.

Akhirnya, aku mutusin buat ngajak Bima makan siang di tempat yang biasa kami datangi. Saat kami duduk berdua, suasananya agak awkward. “Jadi, Bima, lo suka makanan di sini?” tanya aku, berusaha mencairkan suasana. “Lumayan sih, tapi gue lebih suka tempat lain,” jawabnya singkat.

Bukan jawaban yang aku harapkan. “Oke, kalau gitu kita bisa coba tempat lain minggu depan,” balasku. Dia hanya mengangguk, dan kembali ke kesunyian. Hatiku mulai merasa aneh, kayak ada yang menyumbat semua kata-kata yang pengen aku ucapin.

“Gue udah ngerasa ada yang salah di antara kita, Bima,” ucapku akhirnya. “Kita udah jarang ngobrol kayak dulu.”

Bima tampak terkejut. “Gue... nggak mau bikin lo merasa aneh, Meg. Tapi kadang gue butuh waktu sendiri,” jawabnya. Hati aku berasa nyesek. “Gue ngerti, tapi kita bisa lebih baik lagi kan?” tanyaku penuh harap.

“Ya, mungkin. Cuma, lo tau kan, kadang ada hal yang bikin kita pengen menjauh,” katanya sambil menunduk. Dalam hati, aku merasa bingung. “Apa yang bikin lo pengen menjauh? Apa karena gue?” tanya aku, dengan suara bergetar.

Dia tampak bingung dan diam sejenak. “Nggak, Meg. Bukan karena lo. Cuma... ya, kadang hidup ini bikin gue stress,” jawabnya pelan. Keterbukaan itu bikin aku sedikit lega, tapi tetap aja ada rasa khawatir.

“Kalau lo butuh tempat curhat, gue di sini, Bim. Kita temenan, kan?” tanyaku, berusaha untuk mendukungnya. Dia mengangguk, tapi ekspresinya masih tampak bingung. “Thanks, Meg. Lo emang baik banget,” ucapnya, dan aku merasa sedikit lebih optimis.

Namun, setelah makan siang itu, kembali lagi ke realita. Ketika kami kembali ke proyek, Bima masih menunjukkan sikap acuh. Dia lebih suka menghindar dari pembicaraan yang serius, dan setiap kali aku mencoba mendekat, dia malah menjauh lagi. “Kenapa sih, Bima? Kenapa semua ini terasa sulit?” pikirku.

Di kelas, saat kami harus presentasi, suasana makin tegang. Teman-teman lain tampak excited, sementara aku bisa merasakan beban di bahu Bima. “Oke, mari kita mulai presentasi. Siapa yang mau mulai?” tanya Pak Hendra. “Gue aja deh,” kataku, berusaha berani.

Saat aku menjelaskan proyek kami, aku sesekali melirik Bima. Dia tampak serius, tapi wajahnya kosong. “Apa lo denger, Bima?” tanyaku setelah presentasi selesai. Dia mengangguk, tapi senyumnya terpaksa.

Setelah kelas selesai, aku menghampiri dia. “Bim, kita perlu ngomongin presentasi itu. Lo pikir kita bisa lebih baik lagi?” tanyaku dengan nada penuh harap. “Mungkin kita harus lebih fokus, ya?” jawabnya, dan saat itu, aku merasa ada yang tidak beres.

“Bima, lo bisa jujur sama gue? Apa lo emang pengen semua ini?” tanya aku, tanpa bisa nahan perasaanku. Dia menatapku, seolah terkejut. “Meg, gue... gue emang pengen, tapi…”

Tapi apa? Dia terdiam dan hanya bisa menggeleng. “Cuma, ada hal-hal lain yang harus gue urus,” katanya pelan.

“Kayak apa, Bim? Lo bisa cerita, kok. Gue di sini buat lo,” balasku, berharap dia mau terbuka. Dia menarik napas dalam-dalam. “Gue cuma ngerasa bingung dengan semuanya. Terkadang, hidup itu lebih kompleks dari yang kita kira,” jawabnya.

“Gue ngerti, tapi kita bisa jalan bareng, kan? Jangan sendirian,” kataku, berusaha meyakinkan. Dia terlihat berpikir, namun tetap menghindar. “Gue nggak mau ngerusak hubungan kita, Meg. Kadang, lebih baik menjauh,” katanya lagi.

Jujur, itu bikin hatiku kembali terasa nyesek. “Gue nggak mau kita menjauh, Bima. Gue udah berjuang untuk ini,” jawabku, suaraku bergetar. “Kalau lo butuh waktu, bilang aja, tapi jangan pergi jauh-jauh dari gue.”

Hari-hari setelah itu makin berat. Setiap kali kami bekerja sama, rasanya semua usaha yang aku lakukan untuk mendekatkan diri sama dia kembali sia-sia. Temen-temen kelompok mulai ngerasa bingung, dan Rina langsung nyamperin aku. “Meg, lo baik-baik aja? Kenapa Bima kayaknya makin jauh?” tanyanya.

“Gue nggak tahu, Rin. Dia bilang butuh waktu, tapi...,” jawabku sambil meremas tangan. “Tapi lo udah berusaha, kan? Jangan nyerah, Meg. Coba lo cari cara buat deketin dia lagi,” saran Rina.

“Gue udah coba, tapi susah banget,” keluhku. Rina menggeleng, “Coba ajak dia nonton film atau makan bareng lagi. Mungkin dia butuh waktu yang lebih santai.”

Aku pun memutuskan untuk mengambil saran Rina. “Oke, besok gue mau ngajak Bima nonton film,” ucapku. Semoga kali ini bisa bikin dia lebih terbuka.

Keesokan harinya, aku pun ngajak Bima. “Eh, Bima, lo mau nonton film bareng nggak?” tanya aku. Dia kelihatan sedikit terkejut, lalu mengangguk. “Oke, mau nonton yang mana?” tanyanya. “Ada film baru yang seru di bioskop,” balasku, berusaha excited.

Kami pun sepakat untuk nonton film malam itu. Di bioskop, suasana jadi lebih santai. Bima kelihatan lebih rileks, meskipun ada momen-momen di mana dia tetap terlihat tenang. “Gue seneng kita bisa nonton bareng,” ucapku saat film dimulai.

“Gue juga, Meg. Kadang emang perlu keluar dari rutinitas,” jawabnya. Sepanjang film, kami berbagi tawa, dan rasanya bisa kembali ke momen-momen kecil kayak gini bikin hatiku lebih tenang.

Setelah film, saat kami di luar, aku mencoba membuka percakapan. “Gimana filmnya? Seru, kan?” tanyaku sambil senyum. “Iya, seru banget. Gue suka bagian yang…” Dia mulai cerita dan wajahnya terlihat ceria.

Kali ini, aku berusaha menyalakan kembali percakapan. “Jadi, Bima, lo mau cerita tentang apa yang bikin lo bingung kemarin?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!