Di sebuah SMA ternama di kota kecil, siswa-siswi kelas 12 tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Namun, rencana mereka terganggu ketika sekolah mengumumkan program perjodohan untuk menciptakan ikatan antar siswa. Setiap siswa akan dipasangkan dengan teman sekelasnya berdasarkan kesamaan minat dan nilai akademis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYANOKOUJI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Minggu-minggu berlalu, dan situasi semakin menantang bagi keluarga kecil Andi dan Putri. Di Jakarta, kondisi ibu Andi mulai stabil, tetapi masih membutuhkan perawatan intensif. Putri merasa terjepit antara tanggung jawabnya merawat ibu mertuanya dan kebutuhan Amira yang semakin sulit diatasi.
Sementara itu di Berlin, Andi bekerja tanpa kenal lelah. Ia bahkan mengambil pekerjaan tambahan di akhir pekan untuk mengumpulkan lebih banyak uang. Namun, tekanan pekerjaan dan kerinduan pada keluarganya mulai mempengaruhi kesehatannya.
Suatu malam, ketika sedang video call dengan Putri, Andi tiba-tiba merasa pusing dan hampir pingsan.
"Andi! Kau baik-baik saja?" tanya Putri panik.
Andi berusaha tersenyum, "Aku tidak apa-apa, hanya sedikit lelah."
Tapi Putri tahu lebih baik. "Kau terlalu memaksakan diri, Andi. Kau harus istirahat."
Kejadian itu menjadi titik balik bagi mereka. Putri menyadari bahwa situasi ini tidak bisa berlanjut. Ia memutuskan untuk berbicara dengan ayah mertuanya.
"Ayah," kata Putri suatu sore, "saya pikir kita perlu mencari perawat profesional untuk Ibu. Andi sudah terlalu lelah di Berlin, dan Amira mulai menunjukkan tanda-tanda stres."
Ayah Andi menghela nafas panjang. "Kau benar, Putri. Kami terlalu banyak meminta dari kalian. Maafkan kami."
Keputusan itu membawa perubahan besar. Mereka mempekerjakan seorang perawat berpengalaman untuk merawat ibu Andi. Putri bisa lebih fokus pada Amira, dan mereka mulai merencanakan kepulangan ke Berlin.
Ketika Andi mendengar kabar ini, ia merasa lega sekaligus bersalah. "Apa kau yakin tidak apa-apa meninggalkan ibu?" tanyanya pada Putri.
"Ibu akan baik-baik saja dengan perawat barunya. Sekarang, kita perlu memikirkan keluarga kita, Andi," jawab Putri tegas.
Seminggu kemudian, Putri dan Amira kembali ke Berlin. Reuni mereka di bandara penuh air mata dan pelukan erat. Andi tidak bisa berhenti tersenyum melihat putri kecilnya yang sudah bertambah tinggi.
"Ayah, Amira kangen sekali," kata Amira sambil memeluk erat leher ayahnya.
Malam itu, setelah Amira tertidur, Andi dan Putri duduk di balkon apartemen mereka, memandangi lampu-lampu kota Berlin.
"Terima kasih, Putri," kata Andi lembut. "Kau telah melalui banyak hal sulit demi keluarga kita."
Putri menyandarkan kepalanya di bahu Andi. "Kita berdua telah berjuang, Andi. Yang penting sekarang kita bersama lagi."
Mereka terdiam sejenak, menikmati kebersamaan yang telah lama mereka rindukan.
"Kita telah belajar banyak dari pengalaman ini," lanjut Putri. "Tentang pentingnya komunikasi, tentang bagaimana Putri melanjutkan perkataannya, "Tentang pentingnya komunikasi, tentang bagaimana menyeimbangkan kewajiban keluarga dan pekerjaan, dan terutama, tentang kekuatan cinta kita sebagai sebuah keluarga."
Andi mengangguk setuju. "Kau benar. Aku merasa kita telah tumbuh lebih kuat sebagai pasangan dan sebagai orang tua."
Mereka terdiam sejenak, merenungkan perjalanan mereka selama beberapa bulan terakhir.
"Andi," Putri memecah keheningan, "Aku berpikir... mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk pindah lebih dekat ke keluargamu di Jakarta."
Andi menatap Putri dengan terkejut. "Benarkah? Tapi bagaimana dengan karirmu di sini? Dan Amira? Dia baru saja kembali ke sekolahnya di Berlin."
Putri tersenyum lembut. "Aku tahu ini keputusan besar. Tapi setelah semua yang terjadi, aku merasa kita perlu lebih dekat dengan keluargamu. Kita bisa mencari kompromi, mungkin tinggal di Jakarta selama beberapa bulan dalam setahun?"
Andi memeluk Putri erat. "Terima kasih sudah memikirkan ini. Mari kita bicarakan lebih lanjut dan pertimbangkan semua opsi."
Keesokan harinya, mereka mulai mendiskusikan rencana masa depan mereka dengan lebih serius. Mereka mempertimbangkan berbagai pilihan: pindah permanen ke Jakarta, tinggal di Jakarta selama beberapa bulan setiap tahun, atau tetap di Berlin tapi dengan kunjungan rutin yang lebih panjang ke Indonesia.
Sementara itu, Amira mulai beradaptasi kembali dengan kehidupan di Berlin. Meskipun awalnya sulit, ia mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan positif di sekolah dan dalam interaksi sosialnya.
Suatu hari, ketika mereka sedang makan malam bersama, Amira tiba-tiba bertanya, "Ayah, Ibu, apakah kita akan pindah ke Jakarta?"
Andi dan Putri saling berpandangan, terkejut bahwa Amira menangkap pembicaraan mereka.
"Kami sedang mempertimbangkannya, sayang," jawab Putri lembut. "Bagaimana perasaanmu tentang itu?"
Amira terdiam sejenak sebelum menjawab, "Amira suka di Berlin, tapi Amira juga kangen nenek dan kakek di Jakarta. Bisakah kita tinggal di dua tempat?"
Jawaban polos Amira membuat Andi dan Putri tersenyum. Mereka menyadari bahwa keputusan ini akan mempengaruhi seluruh keluarga dan mereka harus mempertimbangkan kebutuhan setiap anggota keluarga.
"Kita akan mencari cara terbaik untuk keluarga kita, Amira," kata Andi, mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang.
Malam itu, setelah Amira tidur, Andi dan Putri kembali berdiskusi. Mereka menyadari bahwa perjalanan mereka sebagai keluarga masih panjang, dengan banyak tantangan dan keputusan sulit yang harus dihadapi. Namun, mereka juga yakin bahwa cinta dan komitmen mereka sebagai keluarga akan membantu mereka melewati apa pun.