NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.5k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SAHEN GAGANANTARA

"Apa yang terjadi? Kenapa berhenti?" Suli panik saat tiba-tiba kilas balik yang mereka saksikan lenyap.

Sementara Tawang segera memeriksa tangan Arka dan Diyan. Jelas-jelas tangan mereka masih saling berpegangan, tetapi kenapa ingatan keduanya kosong seperti layar televisi yang tiba-tiba dimatikan?

"Oh, astaga! Altair Tawang, lihat!" AlSuli berseru kegirangan saat bayangan samar-samar mulai terbentuk lagi.

"Puji Sang Misteri Yang Agung." Tawang menutup mata dan mengucap syukur dengan sepenuh hati ketika negeri di awan itu muncul di ingatan Arka dan Diyan.

Dibangun dari susunan awan-awan putih, ruang peristirahatan yang diperuntukkan khusus bagi para kanak-kanak altair ini sangat sunyi, tenang, dan damai.

Berdiri di pintu dan melihat ke dalam, yang tampak hanya ruangan cukup luas berisi awan-awan melayang. Di atas awan-awan itu terdapat para altair kecil sedang tidur lelap. Namun, ruangan cukup luas ini akan menjadi semakin lebar dan kian luas jika dimasuki. Jadi, bisa dikatakan bahwa ruangan ini akan menyesuaikan diri dengan kebutuhan. Isinya tidak sesuai seperti yang terlihat.

Pintu ruangan perlahan mengayun terbuka. Seorang altair pria berpostur tubuh tinggi tegap, rambut ikal cokelat keemasannya berkilau. Manik cokelat gelapnya mengedar pandang sejenak, kemudian melangkah masuk. Jubah berlapis emas yang dikenakannya terlihat tidak rapi---ada beberapa bagian yang terkoyak---melambai-lambai bagian bawahnya saat melangkah di koridor.

Seperti memaksa apa yang ada di hadapannya untuk mundur, semakin dia maju, ruangan itu pun menjadi kian luas. Lorong seperti memanjang dan semakin banyak pula tempat tidur awan yang terlihat. Bertingkat tanpa tiang penyangga, begitu rapi dan memukau dengan warna putih cemerlang.

Beberapa altair perempuan terbang menghampiri sang altair agung yang terus melangkah hanya untuk menyapa dan memberinya hormat.

"Sugeng rawuh dan salam sejahtera, Altair Agung Cariyawarta." Suara mereka terdengar seperti paduan yang merdu nan lembut.

"Salam sejahtera juga untuk kalian semua." Cariyawarta membalas sembari terus melangkah lebar-lebar. Para altair pengasuh yang sudah hafal sang altair agung datang untuk siapa, segera membubarkan diri.

Setelah berjalan cukup jauh, Cariyawarta menghentikan langkah. Dari tempatnya berdiri, pintu masuk terlihat hanya sebesar lubang angin. Dia mendongak, lalu satu tempat tidur yang berada di tingkat paling atas, entah dari berapa jumlah yang ada, perlahan melayang turun dan berhenti tepat di hadapannya.

Bocah altair yang ada di atas pembaringan awan itu tidur lelap. Kepala dengan rambut kecokelatan menempel nyaman di atas bantal awan lembut. Tubuh kecilnya juga berselimutkan awan, menutup hingga bahu.

Altair agung itu menyentuh kepalanya lalu mengusap lembut. "Salam sejahtera, Arka."

Altair kecil yang penampilan fisiknya sepadan dengan bocah fana usia lima tahun itu bergeming, sang altair agung pun tidak berniat membangunkannya. Dia perlahan menyingkap selimut awan, lalu mengangkat tubuh mungil tersebut dan mendekapnya di dada dengan posisi duduk.

Mungkin karena merasa terusik, kelopak mata altair kecil pun berkedut sesaat, kemudian perlahan terbuka. Sepasang mata cokelat menatap sayu dan senyum pun langsung merekah lebar.

"Sugeng rawuh, Guru Agung Cariyawarta." Suaranya yang serak mengucap salam, terdengar lucu dan menggemaskan.

Cariyawarta tersenyum lembut. "Salam sejahtera, Arka. Maaf, sudah mengusik tidurmu."

Arka memandang ke sekeliling lalu memaku tatap pada tempat tidurnya yang ternyata sudah kembali ke tempat semula. "Guru Agung, kenapa aku digendong?" tanyanya kemudian.

"Kita akan melakukan perjalanan jauh."

"Benarkah? Ke mana?" Saat bertanya, sepasang mata cokelat sayunya tampak lebih berbinar.

"Ingat, Arka. Tidak semua pertanyaan harus dijawab ... karena?"

"Awan punya telinga dan udara bisa membocorkan rahasia," ucap Arka sangat lancar, sepertinya kalimat itu sudah sangat dia hafal.

Cariyawarta tersenyum bangga. "Pintar. Kalau begitu, kita berangkat sekarang."

"Baik." Kepala altair mungil itu mengangguk antusias.

Tidak berjalan seperti saat masuk tadi, sekarang Cariyawarta langsung lenyap. Keluar dari Sahen Gaganantara tanpa perlu melewati pintu gerbang. Sekarang dia tengah mengepakkan sayap emasnya, melayang turun bersama Arka dalam pelukannya.

"Guru Agung, aku mau terbang sendiri," pinta Arka sungguh-sungguh.

Altair agung pun tertawa renyah. "Sayapmu masih belum mampu terbang jauh, Arka."

"Tapi aku mau mencoba."

"Aku sungguh minta maaf. Kita nggak boleh membuang-buang waktu."

"Baiklah kalau begitu." Setelah itu, Arka kecil pun tidak berbicara apa-apa lagi.

Cariyawarta meluncur turun dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata, hingga tubuhnya hanya terlihat seperti bayangan berkelebat.

"Lihatlah ke bawah, Arka," ujarnya beberapa saat kemudian.

"Waoo! Itu tempat apa?" Mulut dan mata Arka sampai terbuka lebar saking takjubnya.

"Mega Dipta."

"Apa itu?"

Tidak ada jawaban dan Arka pun tidak mengulangi pertanyaan. Matanya terpaku pada empat sosok bercahaya yang sedang berdiri berjejer di atas hamparan putih seperti awan. Namun, semakin dekat Arka menyadari bahwa itu sepertinya bukan awan.

Begitu mendarat, Cariyawarta langsung menurunkan Arka di atas gundukan Mega Dipta. Bocah altair itu cepat-cepat menarik kembali kakinya dan kedua tangan memeluk erat lengan sang altair agung.

"Dingin sekali ...." Dengan mata melebar, wajah polos bocah altair itu pun tampak syok berat.

Lagi-lagi sang altair agung terkekeh, kemudian berkata, "Mega Dipta ini adalah wujud udara yang membeku. Ya tentu saja dingin."

Mega Dipta hanya ada di puncak Gunung Pandan. Udara dingin bisa dirasakan oleh siapa pun, tetapi eksistensinya tidak bisa dilihat sembarang orang. "Ayo, turun," ujar Cariyawarta.

Arka menggeleng cepat. "Kakiku telanjang," ucapnya lirih dengan wajah yang semakin terlihat merana.

"Kemarilah, Arka. Ada yang menunggumu di sini." Cariyasukma memanggil.

Arka menoleh dan langsung melupakan yang lain saat mata sayunya melihat bayi montok bercahaya keemasan ada di tangan sang altair agung itu.

"Guru Agung, itu siapa?" Selagi bertanya tatapan Arka tidak beranjak sedikit pun dari bayi itu.

"Sana, ajak dia berkenalan," ujar Cariyawarta

Arka menatap sang altair agung, lalu beralih menatap hamparan Mega dipta, sesaat kemudian kembali menatap sang altair agung. Beberapa saat terus begitu, kemudian tiba-tiba tersenyum lebar dan mata pun berbinar.

Cariyawarta menaikan kedua alisnya. "Kenapa malah menatapku, hum? Ayo, turun. Sapalah adikmu."

"Adik?" Mata Arka melebar maksimal. "Adikku? Sungguh?"

"Tentu saja." Cariyawarta mengangguk serius.

Segera setelah itu, tanpa disangka-sangka Arka merentangkan kedua sayap kecilnya. Dia pun segera melepaskan lengan sang altair agung, kemudian terbang dengan suka cita. Cariyawarta tergelak ringan. Dia sudah tahu bahwa Arka hendak melakukan itu, karena hasrat hati altair kecil tersebut sangat jelas terlihat di sorot matanya.

Lambaian sayap Arka terlihat berat dan tidak beraturan, karena sesungguhnya, altair sekecil dia belum waktunya untuk terbang. Bocah altair itu berhenti dan mengambang di udara tepat di hadapan para altair dewasa.

"Salam sejahtera Guru Cariyasukma, Guru Cariyapurna, Punta Satria, dan Tuha Harnum." Dia mengucap salam sambil mengatupkan kedua tangan di dada. Sedikit ngos-ngosan, tetapi wajahnya begitu ceria, apalagi saat menatap bayi yang didekap Altair Agung Cariyasukma.

[Punta dan Tuha: panggilan sopan untuk altair yang lebih dewasa. Punta khusus untuk laki-laki bisa berarti: ayah, paman, kakak dll. Tuha khusus perempuan: ibu, bibi, kakak dll]

Keempat altair membalas salam Arka bersamaan, lalu Altair Agung Cariyawarta menghampiri dan membawa bocah itu ke dalam gendongan. Namun, Arka tidak terlalu peduli, matanya terus terpaku pada si bayi.

"Arka, panggil dia Diyan."

"Diyan." Arka pun spontan menyeletuk, menyebut nama yang barusan dia dengar dari bisikan.

Kelima altair dewasa saling bertukar pandang penuh arti. Setelah itu, dengan suara berat nan dalam Altair Agung Cariyapurna bertanya, "Dari mana kamu tau namanya?"

Arka menatap polos, kelopaknya berkedip-kedip cepat merefleksikan kebingungan. "Bukan Arka, Guru Agung Cariyapurna. Tapi, barusan ada suara yang menyuruh Arka memanggilnya begitu."

Altair kecil itu menjelaskan apa adanya dan sangat lugu. Tidak perlu bertanya lagi karena mereka semua sudah paham sekiranya siapa yang telah berbicara pada bocah itu.

"Baiklah, kalau begitu kita sepakat memanggilnya Diyan," ujar Altair Agung Cariyasukma disertai senyum lebar. Mata cokelat keemasannya menatap lembut Arka yang tampak sumringgah.

"Guru Cariyasukma, bolehkah aku menyentuhnya?"

"Tentu saja."

Atas izin Cariyasukma, kecil Arka pun menjulur perlahan, tetapi tiba-tiba ditarik kembali. Mata polosnya menatap sang altair agung sendu.

"Arka takut tidurnya akan terganggu."

"Nggak akan kalau kamu menyentuhnya pelan-pelan," Cariyawarta meyakinkan. "Ayo, sentuh."

"Ba-baik." Perlahan dan hati-hati, Arka memberanikan diri menyentuh pipi Diyan dan benar saja, bayi itu terusik dan membuka mata. "Guru Agung Cariyawarta, dia bangun."

Arka kaget dan segera menyembunyikan wajah di dada Cariyawarta. Arka takut bayi itu akan menangis.

"Nggak pa-pa, Arka. Lihat, dia tertawa."

Arka cepat-cepat menoleh dan langsung bertemu tatap dengan mata sewarna perak dan jernih laksana cermin. "Woow, matanya bagus!" serunya takjub.

Seolah mengerti bahwa dirinya sedang dipuji, bayi Diyan tertawa-tawa riang, tangannya pun menggapai-gapai ke arah Arka.

"Arka, kemarilah." Cariyasukma meraih Arka dengan satu tangan, menggendongnya di sebelah kiri lalu membawanya menyingkir.

Sepeninggal Cariyasukma, ACariyapurna berkata, "Sebelum Arka berusia sepuluh tahun, dia tidak boleh tahu jati diri Diyan."

Karisma dan wibawa yang terpancar dari Altair Agung membuat Satria dan Harnum hanya bisa menunduk patuh.

"Ingat, kalian sedang menjalani hukuman atas kecerobohan. Jadi, jangan sekali-kali melakukan keteledoran lagi. Kalau itu terjadi maka Sahen Gaganantara bukan lagi rumah kalian."

Satria dan Altair Harnum menjengit ngeri. Dibuang dari Sahen Gaganantara sungguh tidak pernah terpikirkan. Bahkan hanya membayangkannya saja tidak berani. Lebih baik tubuh hancur dan menjadi kepingan-kepingan cahaya yang akan berpotensi menjadi altair baru, daripada harus menjadi altair buangan.

"Aku dan Altair Cariyasukma akan sesering mungkin mengunjungi kalian," ujar Cariyawarta menimpali perkataan Cariyapurna, sambil mengulurkan sebuah botol kristal sebesar ibu jari kaki pria dewasa. "Ini salep untuk mencegah sayap Diyan tumbuh. Kalian harus memastikan sayap Diyan tidak tumbuh sebelum usianya tujuh belas tahun."

Satria menerima botol tersebut dan bertanya, "Bolehkah kami tahu, kenapa harus mencegah sayap Diyan tumbuh?"

"Karena yang terbakar di kawah api hanyalah raga-nya, sedangkan roh-nya melarikan diri ke fana. Jika sayap Diyan tumbuh, maka jiwa mereka akan mudah terhubung dan saling menemukan. Roh api-nya lemah, tidak bisa menciptakan raga sendiri seperti halnya roh cahaya murni. Roh api butuh wadah untuk bertahan hidup. Dia bisa merasuki tubuh siapa pun, tapi tidak semua tubuh bisa menjadi wadah yang sempurna untuk-nya.

Jika tahu roh cahaya telah memiliki raga, dia pasti mengincar Diyan untuk merasukinya atau menarik roh Diyan masuk ke dalam diri-nya dan menjadi lebih kuat dengan wadah yang saat itu dia tempati."

"Tapi, kenapa Arka juga? Bukankah dia tidak bersalah?" Harnum menatap mengiba. Rasanya tidak adil bila bocah altair yang tidak tahu apa-apa itu juga harus mendapat hukuman.

Suara tegas Altair Agung menyahuti, "Arka adalah bagian dari dia yang paling netral. Tercipta murni dari dia yang masih suci, tidak sedikit pun tercemar oleh aura iblis-nya. Hanya Arka yang bisa memutus ikatan antara dia dan Diyan. Arka dan Diyan harus menggenapi takdir mereka, supaya bisa kembali ke Sahen Gaganantara. Sama seperti kalian."

Satria dan Harnum saling bertukar pandang. Kemudian menoleh ke arah Cariyasukma yang duduk di atas batu besar dengan Arka dan Diyan berada di pangkuannya.

Entah, bagaimana seharusnya mereka menyikapi hal ini. Bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan? Ataukah bersedih dan mengutuk karena bocah-bocah altair yang tidak tahu apa-apa itu harus menggenapi takdir dengan hidup di bumi, layaknya altair buangan?

"Kalian harus berperan layaknya orang tua bagi mereka. AltairHarnum, sepertinya Diyan akan sangat merepotkanmu. Jangan segan untuk bersikap tegas padanya, karena di dunia fana ini seorang ibu berteriak pada anaknya yang berbuat nakal bukanlah hal yang langka atau tabu," ujar Cariyawarta

Dia tersenyum maklum saat melihat wajah Harnum merona. Altair perempuan itu mengangguk patuh dan berkata, "Saya mengerti, Altair Agung Cariyawarta. "

Setelah itu, puncak Gunung Pandan pun berlalu dan digantikan dengan suasana kamar yang hangat. Kamar yang memiliki dua tempat tidur berukuran sedang ini sangat hening. Cariyasukma, Pak Satria dan Bu Harnum berdiri saling berhadapan di dekat jendela yang terbuka. Kilasan masa lalu barusan mengingatkan kembali bahwa Satria dan Altair Harnum ada di fana untuk menjalani hukuman sekaligus mengemban tugas.

"Waktunya semakin dekat, kalian harus mempersiapkan diri dan usahakan supaya Diyan selalu dalam pengawasan."

"Baik, Yang Agung Cariyasukma." Pak Satria dan Bu Harnum membalas bersamaan.

Cariyasukma memberi keduanya anggukan samar, kemudian menghilang begitu saja.

[Bersambung]

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!