Terlahir kembali sebagai anak orang kaya bernama Ethan, ia bereinkarnasi bersama sebuah sistem yang misterius. Sistem Penguasa, yang meringankan hidupnya dan juga merumitkan kisah cintanya.
Di sekolah, Ethan dipertemukan dengan mantan pacar dari kehidupan sebelumnya, Karina. Kehidupan kedua ini menjadi kesempatan bagi Ethan untuk mengulangi hubungan dan memperbaiki kesalahannya.
Namun, Sistem Penguasa terus memaksa Ethan untuk menguasai sekolahnya, menjadi puncak tertinggi di antara siswa lain, dan Karina tidak menyukai gaya hidup Ethan itu.
Akankah Ethan dapat kembali bersama Karina? Ikuti kisahnya yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon milorasabaru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
'Secukupnya. Kan masih ada... penggantinya.'
Penggalan bait lagu dari Hindia berjudul Secukupnya terus kulantunkan, setiap Rara meminta belanja yang lain. Huft.
Rasanya berat ketika uangku menipis, tapi kan masih ada penggantinya, uang misi, walaupun belum bisa kutarik dalam waktu dekat. Terlalu belagu pas punya banyak uang.
"Pengen ini ya, Beb!" Rara menunjuk anting-anting yang kecil berwarna perak mengilap. "Lucu banget ini soalnya. Ya, ya?"
"Iya boleh. Ini terakhir ya, nanti kita gak bisa jajan makanan," ucapku sembari menghela napas.
Setibanya di mall, aku langsung membawa Rara ke toko baju, dan ternyata itu sebuah kesalahan. Pertama dia langsung mengambil hoodie warna biru, biar serasi katanya. Lalu, dia memilih rok berwarna abu gelap dengan motif windowpane. Tadinya, Rara ingin mengambil topi, tapi aku langsung melarangnya.
Sudah 700 ribu aku keluarkan, ditambah anting-anting itu, total pengeluaranku menjadi 750 ribu. Diskon sih diskon, tetep aja mahal!
"Bagus gak?" tanya Rara setelah dia memasangkan anting itu.
Tidak mungkin aku bilang 'gak bagus', bukan? Tapi, itu memang sangat cocok dengan paras yang sedang tersenyum manis padaku.
"Bagus," jawabku sembari mengangguk.
"Jujur." Rara mengernyit.
"Jujur, sejujur-jujurnya."
Lagian itu semua udah dibayar, Rara! Gak mungkin dikembalikan.
Aku menghela napas ketika Rara membalikkan badan pada cermin. Jangan sampai aku menunjukkan wajah yang terbebani ini.
"Hayu kita ngopi, nanti keburu sore," ucapku meraih tangan Rara.
Rara pun mengangguk dan meraih lenganku. Kemudian, kami meninggalkan toko itu. Aku sudah tidak sabar untuk duduk setelah berdiri lama menunggu Rara berbelanja.
Lorong-lorong mall begitu sepi, dan setiap pegawai yang kami lalui, selalu saja menatap heran kami. Wajar saja, anak sekolah mengenah pertama, terlebih masih duduk di kelas satu, sudah berlalu-lalang di mall, pada jam sekolah lagi. Walaupun, kami berdua sudah tidak mengenakan seragam sekolah, tetap saja ukuran tubuh tidak bisa berbohong.
"Kamu mau pesan apa?" tanyaku setibanya kami di kasir Starbucks.
Rara menatap kosong pada daftar menu. "Eh, bingung, ini gimana cara bacanya?"
Yah, aku baru teringat. Rara masihlah bocah, dan sepertinya ide buruk membawanya minum kopi.
"Samain aja deh kayak kamu," lanjut Rara.
Akhirnya, aku memesan dua gelas latte dingin berukuran tall, ukuran yang tidak terlalu banyak. Aku khawatir Rara tidak tahan kopi, walaupun yang kupesan itu milk based. Tidak lupa cemilan, aku memesan dark chocolate cake.
Itu semua menu yang pernah temanku traktir sewaktu dulu aku masih di Jakarta. Kalau aku beli sendiri, bangkrut.
"Totalnya jadi 132.000 rupiah, Kak," ucap Mbak Kasir.
Dengan hati yang sangat berat, aku mengulurkan 150 ribu rupiah. Setelah membayarnya, hatiku seperti terbelah melihat kembalian receh.
"Kamu cari tempat duluan aja," titahku pada Rara.
Dia mengangguk dan berlalu pada meja yang tepat di samping jendela. Ketika Rara berjalan, aku dengan cepat melihat sisa uangku.
118 ribu rupiah. Aku sudah terlalu boros.
Sejenak aku menunggu pesanan disiapkan, lalu mengantarkannya ke meja. Aku tidak mau bolak-balik. Menaruh satu gelas di depan Rara, dan satu untukku yang akan duduk di seberangnya. Dan, cake coklat itu aku taruh ditengah untuk dimakan bersama.
"Tau gak? Tadi di kelas si Ervan aneh banget, loh!" ucap Rara sembari memainkan ponselnya di atas meja dengan lengan hoodie yang melebihi tangannya. Terlalu oversize.
Aku yang baru terduduk menyesap terlebih dahulu kopi, lalu menanggapi Rara.
"Emang kenapa dia?"
"Dia tadi disuruh buka pintu tapi malah keluar kelas!" Rara terkekeh.
Aku pun ikut tertawa, 'ketawa karir' kalau istilah di kantorku dulu, hanya untuk menghargainya.
"Tadi ada apa aja di sekolah?" Aku membuka topik.
"Gitu deh, gak ada yang rame. Mending gak masuk deh kayak kamu, kayak kita," timpalnya
(konteks \= rame di Kota Bandung berarti seru)
"Oh, gitu. Aku juga lagi males sih sekolah, capek."
"Samaaaa. Aku juga males besok latihan basket, besok bolos lagi, yuk!" ajak Rara yang akhirnya menaruh ponselnya.
DING!
[Misi baru: Persuasi Rara untuk tetap rajin berlatih basket.
Hadiah: 5.000.000 rupiah.
Batas waktu: 5 menit.]
Bagus! Aku juga udah gak ada uang.
"Jangan gitu, kamu harus tetep latihan besok," ucapku halus.
"Kok gitu, Beb? Kamu hari ini ngajak bolos tapi besok bilang gak boleh," timpalnya menggerutu.
Aku menghela napas melihat Rara mengernyit. Aku harus memikirkan kata-kata yang tepat.
"Aku pengen kamu jadi pemain basket yang paling keren, bikin aku bangga sama kamu, ya?"
Memilih ekstrakulikuler basket adalah pilihan pertama Rara. Awal masuk sekolah, dia sangat bersemangat menceritakan kegiatannya itu, tapi belakangan ini, dia mulai terlihat malas.
"Oh, jadi kamu gak bangga sama aku sekarang?" tanya Rita dengan nadanya sedikit meninggi.
Sialan, jangan nyusahin aku Rara!
Tapi, wajah kuning langsat yang memerah itu semakin terlihat lucu dengan ujung rambut kuncir kembarnya yang terayun-ayun.
"Bukan gitu maksudnya, Sayang. Aku pengen kita jadi pasangan yang paling hits satu sekolah," ucapku asal bicara. Bodoh banget.
Rara tertegun. Kemudian, dia mulai duduk bersandar sembari meraih kopinya. Terdiam sejenak memandangi keluar jendela sembari menutup bibir penuhnya dengan lengan. Wajah tirusnya itu semakin memerah.
Katakan sesuatu Rara! Aku tidak punya waktu banyak!
"Rara..." ucapku lirih. Aku butuh respon dia secepatnya.
"Apa?"
"Latihan ya besok."
Rara menghembuskan nafas panjang. "Aku lagi males."
"Aku ngerti. Tapi, aku mau kamu terus semangat yah?" ucapku mendekati wajah ke meja.
"Iya deh, demi kamu." Rara mulai tersenyum. "Janji, ya, kamu engga cari cewek lain."
"Kok mikir gitu?" tanyaku spontan.
"Habisnya, banyak cewek yang suka sama kamu. Nanti kamu macem-macem sama yang lain, kalau aku terus sibuk latihan."
"Ya ampun, gak akan lah!" Aku menyangkalnya.
Walaupun memang sih aku saat ini sangat tampan, dan baru kali ini aku merasakan disukai banyak orang. Tapi, jiwa setia dari kehidupan lamaku ini tidak menghilang dariku.
"Janji?"
"Janji." Aku bersumpah. Lalu, aku mengulurkan lenganku dengan jari kelingking yang terangkat.
"Lebay," ledek Rara tapi dia juga mengikatkan jari kelingkingnya dengan milikku.
[Misi berhasil. Mendapatkan: 5.000.000 rupiah.]
Rara dan diriku pun tertawa. Lalu, kami menghabiskan waktu mengobrol dan bercanda hingga sore hari, tepat pada waktu pulang sekolah.
Ketika kami berjalan ke depan mall, aku mulai memesan taksi online lagi. Ternyata Rumah kami tidak cuma satu arah, tapi juga cukup dekat walaupun berbeda komplek.
"Udah gak usah turun, nanti orang tua aku marah kalau ketahuan pacaran," titah Rara ketika kami sampai di depan rumahnya. Perumahan itu biasa saja jika dibanding dengan komplek rumahku.
"Ya udah, sampai ketemu di sekolah, ya!" Aku melambaikan tangan padanya.
"Nanti telepon aku ya kalau udah nyampe rumah," timpal Rara sembari berlari ke halaman rumah.
Setelah aku memastikan dia sudah masuk ke dalam, aku memberi semua sisa uangku pada driver taksi online dan memintanya untuk mengantarkan aku kerumah.
Sepanjang perjalanan aku melepas hoodie-ku dan mulai mengenakan seragam sekolah. Lalu, kembali mengenakan hoodie.
"Nuhun nya, A!" ucapku pada sang supir ketika membuka pintu mobil.
"Sami-sami, A."
Mobil Ayah dan mobil biasa yang dipakai Ivan untuk mengantarku sekolah sudah terparkir di halaman rumah. Mereka semua sudah pulang ternyata.
Dengan berjalan santai, agar aku seolah pulang dari sekolah, aku mulai membuka pintu rumah. Aku harus bersikap natural.
Aku terbelalak melihat Ayah berdiri di depan pintu dengan tangan menyilang. Wajahnya mengerut.
"Ethan! Dari mana kamu!? Ayah dan Ibu dapat laporan kamu gak ke sekolah hari ini," tuntut ayahku dengan nada yang sangat tinggi, menggema seisi rumah.
Sial, bagaimana bisa aku ketahuan?
[Wali kelas melaporkan pada mereka bahwa Anda tidak menghadiri sekolah.]
Tolong aku, Nona!
[Tidak mau.]
😒
/Cleaver/