Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Aku Sudah Gila
Bagaimana aku bisa membiarkan kamu berlalu begitu saja, Lex? Melepaskan kamu tanpa mencoba untuk memperbaiki keadaan dan mengukir jejak lebih banyak lagi di sini? Ketika yang aku lakukan adalah terus berdiri di sampingmu dan terbiasa menghirup aroma musky dari cologne yang kamu pakai dalam setiap helaan napas.
Bagaimana bisa kamu pergi begitu saja dari aku yang katanya kamu cinta, Lex? Dan yang aku bisa lakukan hanyalah menatap punggung yang kokohnya akan selalu kurindu, menatap tubuh yang hangatnya akan selalu kunanti. Kamu ingat kan kalau kita sudah membagi suka dan duka bersama? Kita tertawa bersama. Aku menangisi sakitku di dalam pelukan kamu.
Sekarang coba lihat aku, Lex, coba pandang aku. Apakah kamu masih menemukan aku di sini? Apakah kamu masih bisa merasakan aku yang sama? Karena ... bagi aku sendiri, Alexander Rahardjo, aku tidak lagi merasa menjadi diri sendiri tanpa kamu di sini. Yang ada hanya ruang yang kosong, yang tak berpenghuni. Tidak ada hal yang bisa mengingatkan aku akan aku lagi. Yang ada hanya kenangan-kenangan kamu, kamu, dan kamu. Wajah kamu, senyum kamu, sentuhan kamu, perhatian kamu. Semua kamu. Tidak ada ... aku.
Apakah ... apakah ada setetes kemungkinan, sekecil apa pun itu, untuk kamu kembali kepada aku, Lex? Kepada kita? Apakah ada secercah harapan bagi aku untuk mendapatkan maaf dan kamu secara bersamaan?
Sepertinya hal itu tidak mungkin terjadi ya, Lex?
Baiklah. Aku seharusnya sudah tahu. Aku seharusnya sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi itu.
Sungguh aku berharap bahwa aku bisa membuat kamu untuk menoleh, barang sebentar saja, dan menyaksikan air mata penyesalan membanjiri pipi ini. Begitu banyak, lebih banyak lagi, yang ingin aku sampaikan sama kamu, begitu banyak alasan yang harus aku jelaskan. Namun, sepertinya aku sendiri yang memang harus mulai menyadari bahwa tidak akan ada lagi kesempatan kedua. Tidak akan ada lagi kita. Tidak akan ada lagi aku di dalam kehidupan kamu.
Baiklah, Lex. Kalau itu mau kamu. Kamu boleh mengusir aku dari dalam hari-hari kamu dan berlagak seperti tidak pernah terjadi apa-apa, akan tetapi pun kamu tidak mempunyai kuasa untuk apa yang aku lakukan di dalam hidup aku.
Aku akan menunggu, Lex. Menunggu keajaiban dari Tuhan. Maka ketika keajaiban itu berlaku dan kamu akhirnya mau menoleh ke belakang lagi, aku pastikan kalau aku akan tetap ada di sini, di tempat terakhir kamu meninggalkan kita.
Meskipun sepertinya hal itu tidak mungkin terjadi, aku akan mengambil kesempatan dan percaya pada keajaiban.
Aku tunggu kamu, Alexander Rahardjo.
—Kayra.
****
Entah sudah berapa lama aku mengurung diri di dalam kamar dan tidak ada seorang pun yang protes kecuali Mama yang sesekali mengetuk pintu untuk menyuruhku makan dan minum. Setelah ke luar untuk memenuhi panggilan itu, aku sekonyong-konyongnya masuk ke dalam kamar lagi. Bang Rian hanya bisa mengamatiku dengan kesedihan yang memenuhi wajah yang biasanya ceria itu, akan tetapi apa boleh buat?Ini adalah hal normal yang terjadi pada orang yang sedang dilanda patah hati, bukan?
Setelah menghadiri pesta ulang tahun pernikahan Om Seno dan Tante Meli malam itu, esoknya aku memaksa Papa dan Mama untuk mengizinkanku pulang bersama mereka dengan alasan “kangen rumah”. Aku berhasil meyakinkan mereka bahwa urusan untuk wisuda sudah selesai dan tidak ada yang akan kulakukan di Jakarta lagi. Papa dan Mama saling pandang untuk beberapa waktu, melakukan hal yang biasa mereka lakukan jika salah satu dari kami meminta/memberi tahu sesuatu yang tidak pernah mereka persiapkan sama sekali. Mereka berkomunikasi melalui mata masing-masing, mengangguk sekilas, kemudian mengabulkan permintaanku.
Sesampainya kami di rumah, Bang Rian tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihatku, entah karena aku yang memang tidak memberi kabar kepadanya atau karena alasan lain. Mungkin juga karena dia sudah punya ide soal apa yang menjadi alasan kepulangan mendadakku sebab aku juga tidak memberi tahu soal apa yang terjadi setelah pertemuanku dengan Alex malam itu.
Namun, siapa bilang kalau abang-abang itu akan diam saja melihat jadwal kepulanganku yang aneh ini? Padahal sebelumnya aku bersikeras untuk tetap tinggal di Jakarta sampai upacara kelulusan. Dan sekarang, tiba-tiba saja aku ngotot untuk pulang sebelum acara itu selesai.
Akhirnya, setelah melalui tiga hari yang panjang dan melelahkan, aku tidak punya pilihan lain selain membuka mulut. Aku tidak bisa lagi menyimpan semua yang terjadi di malam itu sendiri.
....
Embusan angin menembus kulitku yang tidak tertutup. Gaun berwarna navy blue itu hanya menutupi tubuhku hingga lutut. Ditambah lagi bahannya yang tipis membuat udara semakin menggigit. Kueratkan lagi dekapan long coat berwarna khaki yang kukenakan di sekitar tubuh. Meskipun kakiku masih terbuka dan masih menerima serangan dingin yang konstan, setidaknya badanku terasa sedikit lebih terjaga.
Ah, aku sudah tidak tahu lagi. Rasanya suhu udara semakin turun setelah aku mengirimkan pesan-pesan tadi. Seperti yang sudah berlalu, dua buah tanda centang hadir di bawah kalimat-kalimat itu. Namun, aku tidak tahu kapan mereka akan menjadi biru.
Aku tidak tahu apakah udara Jakarta memang bisa menjadi serendah ini atau sensasi yang menggemeretakkan tulang ini datang dari rasa gugup sebab penantian. Aku tidak tahu. Tidak ada yang benar-benar kuketahui lagi.
Sudah hampir lima belas menit setelah pesanku terkirim dan Alex belum juga menampakkan puncak hidung lurus dan mancungnya. Kemarin-kemarin aku boleh mengira bahwa dia cukup sibuk sehingga tidak punya waktu untuk membalas pesanku. Kemarin ini. Dulu. Namun, sekarang, mungkin dia lebih memilih untuk tidak membaca pesan dariku walaupun sedang memiliki banyak waktu luang.
Meskipun menyakitkan, aku rasa aku bisa memahami tindakannya.
Aku selalu kehilangan kendali atas pikiranku sendiri kalau otakku sudah memunculkan banyak spekulasi-spekulasi seperti ini. Seandainya saja dulu begini, mungkin sekarang keadaannya akan seperti itu. Atau, seandainya-seandainya yang lain. Atau, mungkin-mungkin yang lain. Dan kalau-kalau yang lain. Ah, sudahlah, Kayra! Stop pikiran-pikiran itu!
Namun, tetap saja tidak cukup hanya dengan sekadar bilang sudahlah dan stop. Tidak semudah itu.
Aku sebenarnya sudah lelah dalam menghadapi perasaan dan kini pun aku harus kembali menghadapi pikiran-pikiran aneh di dalam otak ini.
Kesal dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk mengakhiri penantian. Mungkin Alex tidak akan datang. Bahkan dia sudah tidak mau melihatku lagi. Sudahlah, berhenti berharap yang bukan-bukan. Berhenti merindukan hal yang tidak mungkin. Alex sudah mengakhiri cerita. Aku bukan bagian dari kehidupannya lagi.
Kutarik napas dalam dan kuembuskan dengan perlahan. Aksi itu membuat bahu dan dadaku bergerak naik-turun dengan signifikan. Aksi itu juga membuat aku berhalusinasi. Bisa-bisanya aku mendapati jejak-jejak wangi cologne yang selalu dipakai Alex, Versace Pour Homme Dylan Blue di dalam udara yang seharusnya dipenuhi oleh polusi itu.
Aku sudah gila. Aku benar-benar sudah gila.
Sudahlah, Kayra. Stop. Stop. Stop.
Lagi dan lagi, kuhela napas panjang. Setelah semua karbondioksida yang seharusnya keluar dari tubuhku kali itu tidak bersisa lagi, aku berbalik. Dan ....
Bersambung ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️