NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8 — Ancaman di Balik Kabut

​Pagi setelah Festival Panen terasa aneh. Desa Awan Jingga tidak sunyi karena tidur pulas; desa itu sunyi karena kemarahan yang tertahan. Sisa-sisa lampion merah yang basah karena embun pagi bergoyang, memancarkan bayangan yang tidak lagi meriah, melainkan mengancam.

​Mei Lan bangun sebelum matahari terbit. Ada rasa sakit dan rasa manis yang luar biasa di bibirnya, pengingat fisik akan ciuman putus asa di jembatan kayu. Ia tidak menyesalinya. Sentuhan Jian adalah titik balik, janji kebebasan yang ia dambakan.

​Namun, janji itu disertai harga yang mahal: kepergian Jian.

​Mei Lan bergegas menuju Gudang Padi Terkutuk. Ia tahu Jian telah memberinya waktu semalam. Ia harus berbicara dengannya, mendesaknya untuk tidak pergi, atau setidaknya, memintanya untuk membawanya.

​Saat ia mencapai jembatan kayu, tempat di mana mereka berciuman, jembatan itu kosong. Udara pagi terasa dingin dan basah, dan kabut tebal dari Sungai Embun telah merayap naik, menyelimuti area gudang padi seperti selimut putih.

​Mei Lan berjalan ke gudang. Pintunya sedikit terbuka, tertiup angin. Bau kayu lapuk dan balsem herbal tercium kuat.

​“Jian?” panggil Mei Lan, suaranya bergetar.

​Tidak ada jawaban, hanya gema suara napasnya sendiri. Gudang itu kosong. Tikar jerami di sudut ruangan telah digulung. Abu bekas api unggun di tengah ruangan telah disapu bersih. Tempat itu terasa bersih, tanpa jejak penghuni. Jian telah pergi.

​Hati Mei Lan mencelos. Ia merasakan keputusasaan yang dingin. Ia seharusnya tahu. Prajurit tidak menunggu.

​Namun, di bawah celah ambang pintu, matanya menangkap sesuatu yang terlipat rapi. Kain penutup tubuh tipisnya, yang Jian ambil dari tepi sungai dua hari lalu. Kain itu telah dicuci dan dikeringkan. Di atas kain itu, tergeletak benang sutra berwarna merah muda yang ia lihat tersangkut di tiang gudang. Jian telah mengembalikannya.

​Dan di sampingnya, tersembunyi di dalam lipatan kain, ada selembar kertas kecil.

​Mei Lan segera mengambilnya. Itu bukan surat, melainkan hanya empat karakter yang ditulis dengan tinta hitam pekat, goresan kuas yang kuat dan tegas, seperti pukulan pedang.

​“Jangan menenun benangku.”

​Itu adalah peringatan, permohonan, dan perpisahan. Jian ingin Mei Lan melupakannya. Ia ingin Mei Lan kembali ke tenunan hidupnya yang aman, yang sempurna, seolah ciuman itu tidak pernah terjadi.

​Mei Lan meremas kertas itu, air matanya menetes. Ia tidak bisa. Benang Jian sudah terjalin dalam dirinya.

​Sementara Mei Lan bergumul dengan kesedihannya, Kepala Desa Liang sedang murka. Ia duduk di balai desa bersama Putra Pedagang Cheng, Tuan Cheng, yang wajahnya masih dipenuhi rasa malu.

​“Ini penghinaan!” teriak Kepala Desa Liang. “Di depan semua orang! Pria asing itu merusak kehormatan saya dan rencana kita!”

​“Dia pasti seorang bandit atau buronan, Kepala Desa,” Tuan Cheng berusaha menenangkan diri. Ia adalah pedagang, dan pedagang tahu cara menghitung risiko. “Kehadirannya di sini berarti ada emas di balik lumpur. Jika kita bisa menangkapnya, kita akan mendapatkan hadiah dari pemerintah atau setidaknya menghapus saingan untuk Mei Lan.”

​“Dia menghilang,” kata Kepala Desa Liang, mengusap pelipisnya. “Dia pergi seperti hantu.”

​“Tidak ada yang pergi secepat itu,” balas Tuan Cheng, matanya menyipit licik. “Seseorang membantunya, atau dia masih bersembunyi. Dan kita tahu siapa yang dia lindungi. Mei Lan. Kita bisa gunakan gadis itu sebagai umpan.”

​Kepala Desa Liang tersenyum jahat. “Festival sudah berakhir. Kain sutra telah dipersembahkan. Tapi Mei Lan masih milik desa. Kami bisa menahannya. Kami bisa mendesaknya untuk segera menikahi Tuan Cheng, atau mengusirnya.”

​Rencana itu disepakati. Keputusan mereka berakar pada rasa malu yang mereka alami di depan umum, dan kebencian mereka terhadap kebebasan yang dipancarkan oleh Mei Lan dan Jian.

​Di sisi lain desa, Shan Bo, yang didorong oleh rasa cemburu dan rasa rendah diri, mengambil tindakan sendiri. Ia berjalan ke gudang padi. Ia melihat kekosongan itu. Jian memang telah pergi.

​Tetapi Shan Bo tidak puas. Ia tahu Jian tidak akan pergi tanpa meninggalkan jejak atau janji. Ia melihat jejak kaki Mei Lan yang baru di tanah basah.

​Shan Bo kembali ke rumah. Ia duduk di kamarnya yang gelap, mengasah pisau ladangnya. Ia tahu Mei Lan pasti akan kembali ke hutan. Ia harus mencegatnya. Ia harus menunjukkan pada Mei Lan bahwa ia, Shan Bo, adalah pria yang kuat dan yang peduli padanya, bukan prajurit asing yang membawa kehancuran.

​Ia tidak melihat Jian. Jian tidak pergi.

​Rho Jian bersembunyi di atap Gudang Padi Terkutuk. Ia tahu tindakannya di alun-alun semalam telah membakar jembatan. Ia tidak hanya melindungi Mei Lan, tetapi juga secara terbuka menantang otoritas desa. Ia harus pergi, tetapi sebelum itu, ia harus memastikan keselamatan Mei Lan.

​Ia telah melihat Shan Bo mengawasi gudang. Ia tahu Shan Bo cemburu. Ia telah melihat Kepala Desa Liang mengirim utusan ke alun-alun untuk melihat apakah Jian sudah pergi.

​Jian berbaring di atap gudang, tertutup oleh jerami kering. Ia sedang melakukan hal terakhir yang harus ia lakukan sebelum menghilang: menghapus tanda Pengkhianat.

​Ia membuka jubahnya. Tanda cap Singa Emas yang ternoda di bahu kirinya terasa dingin. Tanda itu, yang membuatnya menjadi buronan, harus dihilangkan. Ia membawa botol kecil berisi asam encer dan sebuah pisau bedah kecil. Itu adalah cara yang brutal, tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.

​Saat ia bersiap, matanya yang terlatih menangkap detail aneh di pohon terdekat. Tiga goresan tipis yang sengaja dibuat di kulit pohon maple—sebuah penanda.

​Jian segera menegang. Itu bukan penanda desa. Itu adalah penanda pelacak rahasia dari Pasukan Elit Istana. Mereka telah menemukannya. Mereka telah tiba di sekitar desa. Kabut ini, yang seharusnya melindunginya, kini menyembunyikan musuh.

​Jian tahu ia tidak punya waktu lagi. Keputusannya harus cepat dan brutal.

​Ia turun dari atap, meninggalkan rencananya untuk menghapus tanda. Itu tidak penting lagi. Jika Istana sudah dekat, ia harus bertindak.

​Ia meraih pisau berburunya dan berjalan cepat menuju rumah Mei Lan, bergerak di balik lindungan kabut. Ia tidak akan meninggalkannya begitu saja.

​Mei Lan berjalan lambat kembali dari gudang padi, memeluk kain penutup tubuhnya. Hatinya sakit, tetapi ia menerima kenyataan. Jian telah memilih keselamatannya, dan ia harus menghormati itu.

​Saat ia memasuki jalan setapak yang sempit, tempat ia bertabrakan dengan Jian tempo hari, Shan Bo melompat keluar dari balik pagar tanaman.

​“Kau menemuinya!” tuduh Shan Bo, matanya liar dan dipenuhi amarah. Ia memegang pisau ladangnya.

​Mei Lan tidak gentar. “Aku mencarinya, Shan Bo. Tapi dia sudah pergi.”

​“Pembohong!” bentak Shan Bo. “Dia merusak segalanya! Dia menghina desa! Dia hanya akan membawamu ke kehancuran! Aku lebih baik untukmu, Mei Lan! Aku adalah benang yang lurus, bukan benang yang putus!”

​“Kau adalah benang yang mencekik,” balas Mei Lan, berdiri tegak. “Jian memilih untuk melindungiku, meskipun itu berarti mengundang bahaya. Kau memilih untuk menahanku.”

​Amarah Shan Bo mencapai puncaknya. Ia mengayunkan pisau ladangnya, tidak untuk menyerang, tetapi untuk mengancam. “Kau tidak akan pernah lari dariku, Mei Lan! Kau milik desa ini!”

​“Mundur.”

​Suara itu datang dari kabut di belakang Shan Bo, dingin dan mengandung ancaman yang mengerikan. Shan Bo tersentak, berbalik dengan ketakutan.

​Rho Jian berdiri di sana, pisau berburunya di tangan. Ia tidak tergesa-gesa. Ia berjalan perlahan ke arah Shan Bo, setiap langkahnya mengikis keberanian pemuda itu.

​“Pisau itu hanya untuk memotong padi, bukan untuk mengancam wanita,” kata Jian, suaranya seperti batu yang beradu.

​Shan Bo, meskipun cemburu, tahu ia tidak sebanding. Ia melihat tatapan mematikan di mata Jian, tatapan yang ia lihat di malam serigala. Ia menjatuhkan pisau ladangnya, dan lari tunggang langgang.

​Jian mengabaikan Shan Bo yang melarikan diri. Ia berjalan lurus ke arah Mei Lan.

​“Mei Lan,” katanya, suaranya mendesak. “Istana telah menemukanku. Penanda mereka ada di pohon maple. Mereka ada di sekitar sini. Kau harus pergi.”

​Mei Lan menggeleng. “Tidak. Aku tidak akan pergi tanpamu.”

​“Kau tidak mengerti,” desak Jian, meraih bahu Mei Lan. “Ini bukan tentang Kepala Desa Liang atau Shan Bo. Ini adalah tentang penyiksaan, kematian, dan kehancuran seluruh desa. Mereka akan membakar tempat ini untuk menemukanku.”

​“Kalau begitu, bawa saya bersamamu!” tuntut Mei Lan.

​Jian menatap matanya, dan ia melihat tekad yang dalam. Ia tahu Mei Lan tidak akan meninggalkannya. Ia juga tahu ia tidak bisa meninggalkannya untuk menghadapi kemarahan desa dan kedatangan Istana.

​Jian menghela napas, sebuah keputusan yang berat. Ia meraih pergelangan tangan Mei Lan.

​“Baiklah,” kata Jian, nadanya tegas. “Kita harus pergi sekarang. Kau akan ikut denganku. Tapi Kau harus membuang semua yang menghambat. Ambil makanan, air, dan kain tenunan yang paling berharga. Kita akan keluar dari lembah ini melalui Jalur Batu Ular. Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal.”

​Mei Lan mengangguk. Ketakutan itu nyata, tetapi tekad di mata Jian dan sentuhan tangannya yang kuat membuat Mei Lan merasa anehnya damai. Mereka adalah dua benang yang kini terikat kuat, siap untuk ditarik keluar dari tenunan desa.

​“Ambil tasmu,” perintah Jian. “Aku akan menunggumu di hutan bambu, sepuluh menit. Setelah itu, aku pergi sendiri.”

​Mei Lan berbalik dan berlari menuju rumahnya. Ia hanya mengambil yang paling penting: kain penutup tubuhnya yang sudah dilipat Jian, beberapa makanan kering, dan satu gulungan Kain Sutra Cahaya Bintang yang ia tenun. Ia tidak perlu yang lain. Ia memiliki Jian.

​Sementara itu, Jian berjalan cepat ke area bambu, matanya terus mencari penanda Istana. Mereka harus bergerak. Sekarang.

​Jian tahu ini adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Ia seharusnya pergi sendirian. Tetapi saat ia melihat Mei Lan, ia menyadari ia tidak lagi hanya melarikan diri dari musuh-musuhnya. Ia melarikan diri bersama satu-satunya alasan mengapa ia ingin bertahan hidup. Benang takdir telah terjalin, dan kini, mereka harus menghadapi gunting yang ingin memotong mereka berdua.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!