Untuk melunasi hutang Ayahnya, Silvi terpaksa menikah dengan Andika. Sejak saat itu hidupnya seperti di neraka. Dia hanya menjadi pemuas Andika yang memang seorang casanova itu. Meski sudah memiliki Silvi tapi dia masih saja sering mengajak wanita lain ke apartemennya.
Silvi merasa tidak sanggup lagi dengan kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan Andika, akhirnya dia kabur. Andika terus mencari dan ingin membawanya kembali. Di saat itulah Andika merasa kehilangan.
Berbagai cara sudah Andika lakukan untuk mendapatkan Silvi lagi. Apakah Silvi mau kembali dengan Andika atau Silvi lebih memilih bersama Dion, sahabat yang selalu setia menemaninya dan juga mencintainya dengan tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Sebenarnya siapa yang ngelakuin ini sama lo?
Dion mengambil minyak kayu putih dan mendekatkannya di hidung Silvi. Beberapa saat kemudian Silvi mulai membuka matanya. Dia pijat pelipisnya yang terasa pusing.
"Sil, lo kenapa? Lo sakit? Minum obat dulu."
Perlahan Silvi duduk. Dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Sil, lo ada masalah apa? Cerita sama gue, mungkin gue bisa bantu." tanya Dion sekali lagi.
Lagi, lagi, Silvi hanya menggelengkan kepalanya. Dia menatap sisi lain dengan mata nanarnya. "Tolong izinkan ke Pak Erik, gue gak ikut pelajaran olahraga."
"Lo mau pulang juga? Biar gue izinkan sekalian."
Silvi menggelengkan kepalanya lagi. "Gue masih bisa ikut pelajaran."
"Ya sudah, sekalian gue panggilkan Bu Nur biar periksa kondisi lo." Kemudian Dion keluar dari UKS, dia memanggil Bu Nur, penjaga UKS agar memeriksa kondisi Silvi.
Setelah itu dia mengizinkan Silvi pada Pak Erik jika Silvi tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga hari itu.
Beberapa teman menatap aneh Dion. Mereka juga mulai bergosip lagi.
"Yon!" Selesai bermain basket, Arya menghampiri Dion yang sedang duduk di pinggir lapangan basket. "Emang bener lo sama Silvi udah gituan."
Seketika Dion menatap tajam Arya. "Maksud lo apa? Gosip kayak gitu aja lo dengerin."
"Kalau gitu lo tolong Silvi, dia sedang di bully anak-anak di kelas."
"Shits!!" Dion segera berdiri dan berlari menuju kelas.
...***...
Setelah rasa pusingnya mereda, Silvi kembali ke kelasnya. Dia akan mengganti seragamnya tapi beberapa temannya justru memandangnya sinis.
"Makanya kalau main itu tahu waktu, biar gak pusing."
"Apa jangan-jangan dia hamil lagi. Wah, gak nyangka Dion ternyata berani juga."
Silvi melebarkan matanya. Dia kini menatap beberapa temannya, termasuk Rika. "Jangan bawa-bawa nama Dion!"
"Aih, bucin banget lo. Lo pikir kita buta dengan kedekatan lo dan Dion. Ngaku gak pacaran, tapi main belakang. Bullshit lo!" kata Rika. Perkataannya memang pedas dan sangat menyakitkan.
"Gue emang gak ada hubungan apa-apa sama Dion!"
"Halah, pakai gak ngaku segala. Lo pasti udah ketagihan dengan sengatan Dion, atau mungkin lo yang merayu biar Dion gak pernah pergi dari lo! Cewek gak punya harga diri."
Silvi kini melangkah maju dan menampar pipi Rika. "Selama ini gue diam aja karena gue hargain lo sebagai sahabat gue. Gue gak nyangka pikiran lo sepicik ini."
"Halah, gak usah ngaku sok jadi sahabat. Gue yang lebih dulu suka sama Dion, lo sendiri yang bilang akan bantu gue dekat dengan Dion tapi ternyata lo sendiri yang deketin Dion."
"Terus, apa itu salah gue kalau Dion ternyata gak suka sama lo!!"
"Lo!" Rika mengangkat tangannya dan akan menampar Silvi tapi tangannya ditahan oleh Dion.
"Lo jangan keterlaluan!" Dion menepis tangan Rika.
Rika dan temannya membalikkan badannya dan pergi dari tempat itu.
Silvi tak bisa lagi menahan tangisnya, dia kini duduk di bangkunya dan menutup wajahnya.
"Silvi, jangan nangis."
"Lebih baik sekarang lo pergi daripada lo dituduh yang macam-macam sama gue!"
"Sil, gue gak peduli dengan omongan mereka."
Silvi justru menelungkup wajahnya di atas meja dengan tangannya.
"Sil, kalau ada masalah ayo cerita sama gue. Jangan dipendam sendiri seperti ini."
Silvi tak menyahuti omongan Dion. Dia hanya menangis terisak.
Dion menghela napas panjang. Dia tidak bisa memaksa Silvi untuk bercerita. "Ya sudah, gue gak bisa maksa lo bercerita. Semoga masalah lo cepat selesai."
Kemudian Dion keluar dari kelas.
Silvi kini menegakkan dirinya dan menghapus sisa air matanya.
Maafin gue Dion...
Dia membuka tasnya dan melihat kotak bekal dari Andika karena perutnya terasa lapar. Dia buka kotak bekal itu.
Jangan lupa dimakan.
Begitulah kata Andika saat dia memberikan kotak bekal yang berisi nasi dan lauk itu pada Silvi. Akhirnya Silvi memakannya hingga habis. Perasaannya sekarang sedikit tenang.
Gue harus bisa bertahan. Tinggal empat bulan lagi gue lulus dari sekolah ini, dan setelah itu, gue gak akan lagi bertemu dengan mereka semua.
...***...
Setelah pulang sekolah, seperti biasa Silvi menunggu sampai sekolah sepi baru dia masuk ke dalam mobil Andika.
Kali ini Andika tidak berulah di dalam mobil. Dia langsung melajukan mobilnya ke apartemen.
"Kamu masih terlihat pucat. Nanti aku panggilkan Dokter pribadi aku agar memeriksa keadaan kamu."
Silvi tak menyahutinya, dia hanya melihat jalanan sore hari itu.
Setelah sampai di apartemen, mereka berdua turun dari mobil. Tak disangka, ada Dion yang menghadang langkah mereka.
"Dion!" Silvi sangat terkejut saat melihat Dion ada di hadapannya. Sepertinya Dion sengaja mengikutinya dari sekolah.
"Silvi, siapa dia? Kenapa lo pulang ke apartemen?" tanya Dion.
Silvi tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu bocah ingusan jangan ikut campur." Andika merengkuh pinggang Silvi, dia akan mengajak Silvi masuk tapi langkahnya dihadang lagi oleh Dion.
"Jadi ini yang membuat lo selalu muram beberapa minggu ini. Apa orang ini sudah maksa lo! Bilang sama gue! Gue bisa bantu lo urus masalah ini!"
Seketika Andika melepas tangannya dari pinggang Silvi. Dia menyergap krah jaket Dion. "Aku udah bilang, jangan ikut campur dengan urusan aku!"
Dion menepis tangan Andika. "Urusan Silvi, juga menjadi urusan aku!"
"Jangan sok jadi pahlawan. Kamu bisa apa melawan aku!"
Bugh!!
Satu tonjokan keras mendarat di perut Andika. "Jangan remehkan aku!"
Andika memegang perutnya sesaat, lumayan sakit juga pukulan Dion. Dia kembali menyergap Dion lalu memukul wajahnya berulang kali dan terakhir perutnya.
"Pak Dika, stop! Udah! Jangan pukul Dion lagi!" Silvi berusaha menarik tangan Andika.
"Dia pacar kamu! Kamu cinta sama dia?!"
Silvi tak menjawabnya.
Andika melepas Dion dan mengancamnya. "Kamu ingat! Sekali lagi kamu mencampuri urusan aku, kamu akan merasakan lebih dari ini." Setelah itu Dion menarik paksa tangan Silvi menuju apartemennya.
Setelah sampai di dalam kamar apartemennya. Andika mendorong Silvi ke tembok. "Siapa Dion? Dia pacar kamu!"
"Bukan!" jawab Silvi, dia sangat takut melihat wajah Andika kali ini.
"Apa kamu cinta sama dia!"
Silvi tak menjawabnya, dia mengalihkan pandangannya dari mata tajam Andika.
"Jawab!!"
"Iya, aku cinta sama Dion!"
Seketika Andika mendorong tubuh Silvi dengan keras hingga Silvi jatuh ke lantai.
"Aww," Dia menahan tubuhnya dengan tangan tapi kini perutnya terasa sangat sakit.
"Berani sekali kamu mencintai lelaki lain. Kamu harus ingat! Kamu sudah menjadi milik aku!!"
Silvi sudah tak mendengar bentakan Andika. Dia hanya memegangi perutnya yang semakin terasa sakit.
"Silvi!" Menyadari ada yang tidak beres, Andika berjongkok dan meraih tubuh Silvi. "Silvi!!!" Dia menggoyang tubuh Silvi yang kini tak sadarkan diri. "Astaga!"
💕💕💕
.
Like dan komen ya...
ditgg karya selanjutnyaaaa