Gadis SMA Milik Casanova
Tangan dan kaki itu bergerak lincah di atas panggung. Bergerak berirama seiring alunan musik. Kedua pasang tangan itu saling terpaut, berdansa dengan lincah dan penuh energi.
"Silviii... Dion..." Beberapa temannya berteriak heboh saat melihat Silvi sedang berlatih Tango Dance bersama Dion di ruang teater sekolahnya.
Gadis yang berambut panjang dan bertubuh bagus bak seorang model itu bernama Silvi. Dia seorang penari yang hebat dan sudah memenangkan berbagai kompetisi baik yang diadakan dari pihak sekolah maupun umum. Kali ini dia akan mencoba mengikuti sebuah kompetisi Tango Dance bersama Dion. Dion adalah salah satu sahabatnya yang memiliki keahlian yang sama sejak kelas X SMA hingga kini dia kelas XII SMA.
Tepuk tangan meriah mengiringi mereka yang sudah menghentikan gerakannya.
"Baru juga latihan, mereka sudah sangat antusias mendukung lo." Dion melempar handuk kecil pada Silvi agar mengusap keringatnya yang bercucuran.
"Mereka fans lo kali." kata Silvi sambil mengusap keringatnya.
Dion tertawa lalu dia duduk di pinggir panggung saat teman-temannya sudah bubar menontonnya.
"Nih, minum." Silvi memberikan sebotol minuman untuk Dion
"Thanks." Dion segera meminum air mineral itu.
Silvi kini hanya terdiam sambil menatap ruang teater yang mulai sepi dari teman-temannya. "Tinggal empat bulan lagi kita akan ujian akhir. Setelah kompetisi ini, gue akan fokus belajar. Ya, semoga saja kita bisa menang agar hadiah lomba itu bisa buat gue daftar kuliah."
Kemudian Dion merengkuh bahu Silvi. "Kita pasti menang," ucapnya dengan yakin.
Dengan cepat Silvi menyingkirkan tangan Dion yang berada di pundaknya. "Jangan gini."
Dion semakin tertawa sambil mengacak rambut Silvi. "Sampai kapan kita friendzone seperti ini?" tanya Dion yang diselingi dengan tawa candanya. Sejak kelas X sampai kelas XII SMA, status mereka masih saja sebatas sahabat.
Silvi tersenyum, kemudian dia melompat turun dari panggung. "Kan lo my bestfriend," katanya sambil berlalu. "Udah ya, gue mau ganti baju dulu terus pulang." Setelah melambaikan tangannya pada Dion, Silvi melangkahkan kakinya keluar dari ruang teater. Dia kini berjalan menuju toilet.
Di hari Sabtu sore itu memang banyak murid yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dia kini masuk ke dalam toilet bersamaan dengan Rika, teman sekelasnya yang baru saja selesai mengikuti ekstrakurikuler basket.
"Sudah selesai nge-dance-nya?" tanya Rika dengan sinis.
"Udah." Silvi menghela napas panjang sambil masuk ke dalam salah satu bilik di toilet. Dia dan Rika dulunya bersahabat, tapi karena cinta, mereka jadi bertengkar. Itulah sebabnya Silvi dan Dion sampai sekarang hanya sebatas friendzone. Meski sebenarnya mereka saling menyukai.
Selain itu, dia juga selalu mengingat pesan ibunya yang telah tiada.
Silvi, kamu fokus sekolah dulu, jangan berpacaran. Nanti kalau kamu sudah meraih semua mimpi kamu, baru kamu boleh berpacaran.
Silvi tersenyum getir. Mulai sekarang sudah tidak ada lagi nasihat dari ibunya. Satu bulan yang lalu ibunya telah pergi untuk selamanya.
Ibu, Silvi pasti akan selalu mengingat semua nasihat ibu.
Setelah Silvi megganti pakaiannya dia keluar dari toilet dan berjalan menuju tempat parkir.
"Sudah jam 4, udah saatnya Ayah pulang." Hari itu Silvi memang sengaja memakai sepeda motor Ayahnya jadi sekarang dia harus segera menjemput Ayahnya yang bekerja di sebuah perusahaan besar sebagai cleaning service.
"Sil, mau jemput Ayah lo dulu?" tanya Dion saat mereka berpapasan di tempat parkir
"Iya," jawab Silvi sambil menaiki motornya. "Gue duluan ya." kata Silvi. Dia mulai menjalankan motornya pelan meninggalkan tempat parkir
"Iya, hati-hati."
...***...
Di ruang direktur perusahaan Sanjaya, adaeorang lelaki yang berparas tampan dan memakai jas itu sedang duduk di kursi kebesarannya sambil membolak-balik laporan keuangan perusahaan.
"Panggil mereka semua yang memiliki hutang di perusahaan. Sekarang!" perintahnya pada staff acounting nya.
"Baik, Pak."
Andika menutup laporan keuangan itu dengan kasar. "Sudah beberapa tahun Papa mengeluh tentang keuangan perusahaan. Kini saatnya aku bertindak. Dari hutang karyawan saja sudah mencapai ratusan juta, dan dibiarkan hingga jatuh tempo. Memimpin sebuah perusahaan tidak boleh menggunakan perasaan tapi menggunakan otak."
Andika adalah putra pertama dari Reka Sanjaya. Setelah lulus S2 di luar negeri, dia mulai memimpin perusahaan Sanjaya. Sudah hampir sebulan dia menjabat sebagai CEO. Cara memimpinnya sangat berbeda dengan Papanya dulu. Dia sangat disiplin dan kejam.
Seperti sekarang ini, dia menatap tajam beberapa karyawannya yang kini berdiri di hadapannya.
"Mulai sekarang, gaji kalian akan saya potong 50 persen untuk melunasi hutang-hutang kalian. Kecuali Pak Adi, Bapak harus segera melunasi hutang-hutang Bapak karena hutang Bapak sudah bertahun-tahun dan setiap bulan semakin bertambah."
Pak Adi menelan salivanya mendengar dia harus melunasi hutang-hutangnya. "Tapi Pak, saya belum ada uang untuk melunasi hutang-hutang itu."
"Hutang Bapak sebanyak 50 juta lebih, dan di setiap bulannya masih terus bertambah. Saya bukan Pak Reka yang bisa mengasihani Bapak," ucap Andika dengan tegas.
Pak Adi hanya bisa menundukkan pandangannya. "Iya Pak, saya mengerti. Beri saya waktu untuk melunasi hutang-hutang itu."
"Berapa lama? Sehari? Satu minggu?"
Pak Adi hanya terdiam. Meskipun dia sudah 15 tahun bekerja sebagai cleaning service di perusahaan itu, gajinya tidak mungkin bisa menutup semua hutang-hutangnya.
"Begini saja, besok saya tunggu keputusan Pak Adi. Silakan Anda buat surat perjanjian kapan Bapak sanggup melunasi hutang-hutang itu."
Pak Adi hanya mengangguk pelan. Dia sudah tidak tahu mencari uang kemana lagi? Seluruh harta bendanya sudah dia jual untuk pengobatan istrinya meski akhirnya istrinya sudah tidak sanggup lagi berjuang melawan kanker itu. Hanya tinggal rumah yang sekarang dia tempati bersama putrinya.
"Kalian boleh keluar sekarang!" perintah Andika.
Kemudian Pak Adi dan lainnya keluar dari ruangan direktur itu.
"Sabar Pak, kalau Pak Adi merasa tidak sanggup Bapak minta bantuan saja pada Pak Reka," kata salah satu teman kerja Pak Adi.
Pak Adi hanya mengangguk pelan. Dia sadar diri, ini semua adalah tanggung jawabnya. Meski tidak tahu darimana mendapatkan uang sebanyak itu tapi dia akan berusaha mencari jalan keluar.
Pak Adi kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan ruangan yang sudah ditinggal para staff pulang. Setelah selesai, dia segera mengambil tas dan jaketnya lalu bergegas keluar dari perusahaan.
Dia tersenyum saat melihat putrinya sudah menunggunya di dekat gerbang.
"Ayah," Silvi melambaikan tangannya pada Ayahnya. Dia sudah berdiri di samping motornya.
"Minggir!" Suara teriakan dan klakson itu mengejutkan Silvi. Seketika Silvi menatap seseorang yang berada di dalam mobil itu.
"Iya, sebentar." Silvi masih saja menatapnya tajam. Galak sekali!
"Maaf, Pak." Kemudian Pak Adi membantu Silvi menepikan motornya.
Andika mengernyitkan dahinya menatap Silvi. Apa dia putrinya?
💕💕💕
.
Karya baru sudah hadir.. Jangan lupa jadikan favorit ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Mamah Kekey
mampir kk bagus ceritanya
2024-06-26
0
Elisanoor
Duh ini anak Mama Nayla, kejem bener 😆
2023-10-24
0
Maya Ratnasari
ekstrakurikuler thor, bukan ekstrakulikuler.
dari kata ekstra dan kurikulum.
2023-08-13
0