Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13 : Permainan Keji Nathaneil
Hujan belum juga reda ketika mereka tiba di apartemen. Langit malam seolah menyimpan kemuraman yang tak kalah dalam dari hati mereka. Samantha membuka pintu dengan tangan bergetar, membiarkan Leonard melangkah masuk lebih dulu. Tak ada kata-kata di antara mereka sepanjang perjalanan pulang, hanya suara wiper mobil dan degup jantung masing-masing yang terasa semakin berat.
Leonard duduk di sofa, menyandarkan tubuh dengan mata terpejam. Sementara Samantha berdiri di ambang dapur, mencoba menenangkan diri.
"Maafkan aku," suara Leonard terdengar pelan, hampir seperti gumaman. "Aku tahu aku bukan laki-laki yang kuat seperti yang kau harapkan. Tapi aku mencoba, Sam… aku benar-benar mencoba."
Samantha mendekat, berdiri di depannya. Ia menunduk, menatap wajah letih suaminya. "Bukan itu yang membuatku menjauh, Leonard. Ini... semua ini... bukan salahmu."
Lelaki itu membuka mata, menatapnya dalam. "Lalu siapa yang harus disalahkan, Sam? Ada sesuatu yang berubah. Aku bisa merasakannya. Setiap hari aku kehilangan sedikit bagian darimu."
Samantha menggigit bibir, menahan air mata yang kembali hendak jatuh. Ia duduk di samping Leonard, meraih tangannya.
"Aku juga kehilangan bagian dari diriku, Len," bisiknya. "Dan aku... tidak tahu bagaimana menemukannya kembali."
Mereka terdiam dalam jarak yang sangat dekat, tapi terasa seperti dipisahkan oleh dinding tak kasat mata.
Leonard akhirnya berkata, "Aku tak butuh kau sempurna, Sam. Aku hanya butuh kau jujur. Aku ingin tahu kau masih di sisiku karena cinta, bukan karena kewajiban."
Samantha memejamkan mata. Kata-kata itu menamparnya dengan lembut, namun menyakitkan. Ia ingin mengatakan yang sejujurnya. Bahwa ada luka yang belum selesai. Bahwa ia terlalu dalam terseret dalam permainan yang bahkan tak pernah ia pilih sejak awal. Tapi lidahnya kelu. Ia hanya mampu menyandarkan kepala di bahu Leonard dan bergumam lirih, "Bolehkah aku tidur di sini malam ini?"
Leonard tak menjawab, hanya meraih selimut tipis dan menyelimutinya. Tak ada pelukan, tak ada ciuman. Hanya keheningan yang sarat makna, dua hati yang masih saling mencari, meski arah mereka mulai kabur oleh badai.
Dan di luar jendela, hujan terus jatuh tanpa suara. Seperti rahasia yang terus menetes, menunggu waktu untuk akhirnya tumpah sepenuhnya.
...****************...
Samantha masih duduk di kursinya, meneliti satu per satu dokumen yang tersisa setelah rapat selesai. Ruangan telah sepi. Para peserta rapat telah meninggalkan tempat setengah jam lalu, namun Samantha tenggelam dalam pikirannya sendiri, tentang Leonard, tentang surat tagihan yang menumpuk, dan tentang dirinya yang terperangkap dalam lingkaran yang semakin mencekik.
Ia baru menyadari kehadiran Nathaniel ketika udara di belakangnya berubah dingin. Pria itu berdiri tepat di belakangnya, begitu dekat hingga nafasnya menyentuh tengkuk leher Samantha. Refleks, tubuhnya menegang.
"Aku tidak suka diabaikan, Samantha," bisik Nathaniel rendah.
Samantha bangkit dengan cepat, mencoba menjaga jarak. Wajahnya berubah kaku, matanya menyala penuh amarah.
"Jangan mendekatiku seperti itu lagi," katanya tajam. "Ini kantor. Kita sedang bekerja."
Namun Nathaniel tidak bergeming. Ia memiringkan kepalanya, seolah-olah sedang mempelajari ekspresi wanita di depannya. Matanya gelap, tak bisa ditebak. Di balik jas rapi dan senyum tenangnya, Samantha bisa merasakan ledakan tak terkendali yang mendidih di bawah permukaan.
"Aku sudah memberimu segalanya," katanya dingin. "Aku menjaga rahasiamu. Aku mengangkat kariermu. Dan sekarang kau menjauhiku?"
Samantha mendongak, menahan gemetar suaranya. "Itu bukan alasan untuk memperlakukanku seperti milikmu."
Nathaniel mendekat selangkah. Samantha tidak mundur, meskipun hatinya berdegup kencang.
"Kalau bukan milikku, lalu milik siapa? Leonard?" Ia mendengus. "Pria yang bahkan tidak bisa menjaga pekerjaannya sendiri?"
Tamparan emosional itu membuat Samantha tersentak. Seketika matanya berkaca. Nathaniel tahu. Ia tahu kelemahan Leonard, dan ia menggunakannya.
"Kau pikir kau bisa menyelamatkannya dengan menjauhiku?" Nathaniel melanjutkan, suaranya pelan tapi tajam. "Sudah terlambat, Samantha. Terlalu terlambat untuk kembali bersih."
Samantha mengepalkan jemarinya. Nafasnya mulai sesak. Ia tahu betapa dalam dirinya telah terperangkap. Tapi ini bukan hanya soal pilihan moral atau perasaan bersalah. Ini tentang pertahanan terakhir yang nyaris habis.
"Aku tidak akan membiarkanmu mengendalikanku selamanya," bisiknya akhirnya, hampir tak terdengar.
Nathaniel memandangnya sejenak, lalu berbalik pelan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia berucap tanpa menoleh:
"Kau akan kembali padaku, Samantha. Bukan karena ancaman. Tapi karena tidak ada tempat lain bagimu… selain di sisiku."
Lalu pintu tertutup.
Samantha berdiri kaku, matanya menatap kosong ke arah pintu yang kini tertutup rapat. Untuk pertama kalinya, ia merasa sepenuhnya sendirian di tengah dunia yang tak lagi membedakan antara cinta, kekuasaan, dan pengkhianatan
...****************...
Samantha duduk sendirian di balkon, mengenakan kemeja rumah longgar dan menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala satu per satu. Cangkir teh di tangannya sudah dingin sejak beberapa menit lalu, tapi pikirannya masih berkecamuk. Kata-kata Nathaniel siang tadi terus terngiang-ngiang, menggedor kesadarannya seperti palu godam.
"Pria yang bahkan tidak bisa menjaga pekerjaannya sendiri?"
Itu bukan sekadar hinaan spontan. Itu terlalu spesifik. Terlalu... terinformasi.
Nathaniel tidak pernah bertemu Leonard secara pribadi. Mereka hidup di dua dunia yang berbeda, Nathaniel dengan kantor pencakar langitnya, dan Leonard yang bekerja di perusahaan rintisan yang baru berdiri. Bahkan Samantha tidak pernah membicarakan masalah Leonard pada siapa pun. Lalu... dari mana Nathaniel tahu?
Ia meneguk teh dingin itu perlahan. Mulutnya terasa getir.
Selama ini, semua terjadi terlalu kebetulan. Leonard yang tiba-tiba kehilangan proyek besar, satu demi satu investor menarik diri, dan masalah keuangan yang datang bertubi-tubi. Samantha sempat mengira itu sekadar nasib buruk... sampai Nathaniel mengucapkan kalimat itu siang tadi.
Tidak. Ini bukan nasib buruk.
Ini dirancang.
Semakin ia mengingat-ingat, semakin jelas pola itu. Sikap Nathaniel yang semakin posesif. Perhatiannya yang tak pernah lepas dari dirinya. Pesannya yang kadang terdengar seperti perintah. Bahkan cara dia selalu tahu ke mana Samantha pergi dan dengan siapa.
Tangannya mulai gemetar. Ia letakkan cangkir perlahan.
Selama ini... Nathaniel memainkannya. Ia menjebaknya dalam lingkaran yang tak terlihat, pelan-pelan melemahkan satu-satunya tempat Samantha merasa aman, rumahnya sendiri.
Nathaniel tidak hanya menginginkannya. Dia ingin menghapus semua pilihan lain dalam hidup Samantha, hingga satu-satunya arah yang bisa dituju… adalah dirinya.
Dan Leonard, lelaki baik yang selalu sabar, yang pernah menjadi tempat Samantha berlindung, sedang dihancurkan perlahan, dari balik bayang-bayang.
Air mata Samantha mengalir perlahan. Bukan karena sedih… tapi karena takut. Takut akan dunia yang diam-diam telah berubah menjadi perangkap. Takut akan diri sendiri, yang terlalu lama membohongi hati.
Dan untuk pertama kalinya, Samantha tahu: ia harus memilih. Sebelum semua yang tersisa dalam dirinya hancur tak bersisa.