Malam itu, suasana rumah Kinan begitu mencekam. Ayah tirinya, Dody, menariknya keluar dari kamar. Kinan meronta memanggil ibunya, berharap wanita itu mau membelanya.
Namun, sang ibu hanya berdiri di sudut ruangan, menatap tanpa ekspresi, seolah tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Ibu... tolong, Bu!" Suara Kinan serak memohon, air matanya berderai tanpa henti.
la menatap ibunya dengan tatapan penuh harap, namun ibunya tetap diam, memalingkan wajah.
"Berhenti meronta, Kinan!" bentak ayah tirinya sambil mencengkeram tangan nya lebih keras, menyeretnya keluar menuju mobil tua yang menunggu di halaman...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Kinan menelan ludah, menyadari situasinya menjadi lebih buruk dari pada yang dia bayangkan. Aryo melangkah mendekat, matanya yang gelap berkilat penuh amarah. Kinan bisa merasakan hawa ancaman yang menguar dari tubuhnya, membuat perasaannya semakin waspada.
"Aku sudah berusaha berbuat baik padamu," Aryo berkata, nadanya dingin.
"Tapi kau malah mencoba kabur. Jadi jangan salahkan aku kalau sekarang aku harus berbuat kasar... dan memaksamu."
Kinan merasakan panas marah membakar dadanya. Dia menatap Aryo tajam, tidak terima di perlakukan seperti ini. Dengan gerakan cepat, dia mencoba memberontak, tangan nya terkepal saat dia mengayunkannya ke arah Aryo.
Namun, Aryo sudah siap. Dia menangkap pergelangan tangan Kinan dengan cekatan, senyum sinisnya semakin lebar.
"Jangan membuang tenaga mu sia-sia," bisiknya dengan nada mengejek.
Namun Kinan terus memberontak dan memaki Aryo, "Lepaskan aku! Aku mau pergi, aku tidak mau di sini dengan mu."
Dengan gerakan yang cepat, Aryo menarik dasi yang tergantung di lehernya dan mengikat tangan Kinan dengan kuat. Kinan berusaha melepaskan diri, namun ikatan itu terlalu kuat, membatasi gerakannya. Nafasnya memburu, matanya menatap Aryo dengan penuh emosi yang bercampur antara kemarahan dan ketidakberdayaan.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja, Aryo," desis Kinan dengan nada tajam, meskipun suaranya sedikit bergetar.
Aryo hanya tersenyum tipis, seolah-olah itu semua hanya lah permainan baginya. Dengan satu gerakan tegas, Aryo mendorong Kinan, membuat tubuh nya terdorong ke kasur. Kinan meringis, namun kemarahannya lebih kuat dari pada rasa sakit yang ia rasakan.
Sebelum dia sempat mengumpulkan tenaga untuk melawan, Aryo sudah mendekat lagi dan dengan cepat meraih baju Kinan, mencoba menariknya dengan kuat.
Kinan menjerit, dengan penuh kebencian, dia berteriak sambil mengeluarkan sumpah serapah pada Aryo, matanya menatapnya dengan kemarahan yang membara. "Kau akan menyesali ini, Aryo! Kau tidak akan pernah mematahkan kehormatan ku, tidak peduli apa pun yang kau lakukan!" teriaknya dengan tegas, meski pun suaranya bergetar.
Namun, Aryo hanya tertawa dingin, seolah menikmati penderitaan Kinan. Dia tidak terpengaruh oleh kata-kata Kinan. Aryo menatap Kinan dengan tatapan tajam yang penuh peringatan, lalu mendekatkan wajah nya.
"Lebih baik kau diam dan menurut kalau tidak ingin hidup mu makin sengsara," ancamnya, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
Namun, Kinan tidak gentar. Kemarahan yang selama ini ia pendam terhadap Aryo kini memuncak. Dia menatap Aryo, lalu dengan segenap keberanian, dia meludahi wajah nya. Tangan dan kakinya memang tidak bisa di gerakkan, tetapi semangatnya masih membara.
"Aku tidak sudi menjadi budak mu, Tuan Aryo yang terhormat!" ucapnya dengan nada sinis, matanya menyala penuh perlawanan.
Aryo terdiam sejenak, terkejut oleh tindakan berani Kinan. Dia mengusap wajah nya dengan kasar. Wajah nya mengeras, dan senyum nya yang dingin memudar.
"Baiklah, kalau itu yang kau pilih," gumam nya sambil menyeka ludah dari wajahnya, nada suaranya kini penuh kemarahan.
"Kau akan menyesal telah menantang ku, Kinan."
Aryo mendekati Kinan dengan gerak yang tegas. Sementara Kinan yang terikat hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh ketakutan. Air mata perlahan mengalir di pipinya, mencerminkan rasa takut dan ketidakberdayaan yang mendalam.
Dalam hening, suara lirihnya terdengar memohon, berharap Aryo akan menghentikan segala tindakan nya.
Namun, tiba-tiba Aryo berhenti. Matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tampak ragu, Kinan sedang datang bulan. Setelah menyadari situasi yang tidak memungkinkan, dia melepaskan pegangannya dengan wajah masam, menahan kekesalan yang tampak jelas.
Tanpa sepatah kata, Aryo berdiri dan berjalan ke arah pintu, membanting nya dengan keras saat dia meninggalkan kamar, meninggalkan Kinan dalam keadaan ketakutan dan terpuruk.
Kinan masih terisak di kamarnya, hatinya remuk dan tubuhnya terasa lelah. Dia meratapi nasib nya yang lagi-lagi harus terjebak dalam kendali Aryo, tak berdaya melawan permainan keji yang seolah tak ada habisnya.
Perasaan marah dan putus asa bercampur menjadi satu, membuat air matanya tak henti mengalir. Sementara itu, di luar kamar, Aryo berdiri dengan wajah dingin, lalu memanggil Mbok Sumi-pembantunya yang sudah lama bekerja di rumah itu. Begitu Mbok Sumi datang, Aryo menatapnya dengan tatapan penuh perintah.
"Aku akan pergi mbok," ucap Aryo datar.
"Tolong urus Kinan. Beri dia makan, tapi kalau dia menolak atau berontak, biarkan saja. Jangan di beri makan, biar dia belajar sedikit menghargai sesuatu."
Mbok Sumi tampak ragu, tatapannya menyiratkan simpati yang diam-diam ia rasakan untuk Kinan. Namun, ia hanya bisa mengangguk patuh pada perintah majikannya, meskipun batinnya bergolak.
Setelah Aryo pergi, Mbok Sumi menatap pintu kamar Kinan dengan perasaan tidak tega, bingung harus berbuat apa di tengah situasi yang rumit ini. Mbok Sumi membuka pintu kamar dengan hati-hati, dan pemandangan di depan nya membuat hatinya terasa hancur.
Di sana, Kinan terbaring dengan pakaian yang berantakan tubuh nya gemetar karena menangis. menunjukkan betapa buruknya perlakuan yang baru saja ia alami.
Dengan perasaan penuh iba, Mbok Sumi mendekati Kinan dan duduk di samping Kinan. Tanpa berkata apa-apa, ia mulai melepaskan ikatan di pergelangan tangan dan kaki Kinan dengan lembut, berusaha agar tidak menambah rasa sakit yang mungkin masih terasa.
Begitu ikatan itu terlepas, Kinan langsung merosot, terisak di pelukan Mbok Sumi.
."Mbok... tolong aku...," Kinan berbisik lemah, air mata masih mengalir deras di pipinya.
Mbok Sumi memeluk Kinan erat, tangannya mengusap-usap punggung nya dengan lembut.
Dia pun ikut menangis, tergerak oleh penderitaan yang di alami gadis muda itu.
"Sabar, Nak...Mbok ada di sini. Kamu tidak sendirian," ucapnya dengan suara bergetar, berusaha menenangkan Kinan.
Di dalam hatinya, Mbok Sumi hanya bisa berharap ada jalan keluar dari penderitaan ini, baik untuk Kinan maupun untuk dirinya yang juga terjebak dalam situasi yang sulit.
Mbok Sumi dengan penuh kesabaran membantu Kinan merapikan kembali pakaiannya, menutupi tubuh nya yang masih bergetar akibat rasa takut dan trauma yang baru saja di alami.
Setelah memastikan Kinan lebih tenang, Mbok Sumi beranjak keluar dan kembali dengan membawa sepiring makanan untuk kinan. Dia menaruhnya di meja samping tempat tidur, lalu duduk di sebelah Kinan.
"Ayo, Nak, makan lah sedikit. Kau butuh tenaga," bujuk Mbok Sumi dengan lembut, matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.
Namun Kinan menggeleng pelan, masih terbayang rasa sakit dan ketidakadilan yang ia rasakan.
"Aku tidak mau mbok, aku nggak mau makan. Biarin aku mati mbok, percuma aku hidup, kalau hanya di jadikan budak nafsu oleh tua bangka itu" ucapnya lemah.
Mbok Sumi menggenggam tangan Kinan dengan lembut.
tunggu klnjutannya,klw bisa up bnyak ya thor
lanjutkan kk..bgus crtanya ini