Kisah perjalanan hidup Ratna, seorang istri yang dikhianati oleh adik kandung dan suaminya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRATA_YUDHA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Setelah mengatakan ancaman itu, mas Ilyas langsung bergegas menemui pak RT untuk membantu prosesi pemakaman anaknya. Dengan lemas aku menggelar tikar untuk menyambut kedatangan warga yang akan melayat, karena ku dengar sudah diumumkan di masjid. Aku melihat Puja masih menangis sambil terus meratapi kematian anaknya. Dengan paksa ku rebut anak itu dari pangkuannya.
"Bayi yang gak berdosa ini gak pantes sama sekali disentuh sama perempuan menjijikan seperti kamu! diam dikamar atau aku bongkar keseluruh warga soal kelakuan bejat kalian!" ucapku sinis.
Aku memandang bayi yang sudah pucat itu, ku gendong dan kutimang-timang anaknya Puja.
'Lebih baik bagi kamu mati nak, kamu enggak salah. Bahagia sama nenek kakek disurga ya sayang' ucapku lirih.
Pagi harinya setelah sang surya menampakkan sinarnya, para warga mulai berdatangan untuk melayat. Satu-persatu mereka memasuki rumahku dan mengucapkan bela sungkawa padaku. Aku memasang wajah datar, tak ada lagi tangisan. Bayi tak berdosa itu sudah pasti tenang disurga. Tak sedikit dari mereka yang kaget mendengar kabar kematian bayi itu, karena mereka tak pernah melihat aku hamil sebelumnya.
"Kapan kamu hamilnya, kok tau-tau lahiran terus anak kamu meninggal?" tanya bu Rt.
Kalau tidak karena ancaman mas Ilyas yang akan mencelakai Ikhsan, mungkin sudah ku beberkan pada semua orang yang ada disini tentang kelakuan dua manusia menjijikan itu.
"Saya kan gak pernah bergaul bu, jadi mana tahu. Lagian siapa yang mau bergaul sama saya, mertua saya saja tidak suka sama saya apalagi orang lain." ucapku.
"Ya itu kelakuan kamu sendiri dulu ngerebut Ilyas dari Yani" jawab bu Rt.
Bahkan disaat seperti inipun aku masih disalahkan. Percuma menjelaskan sampai berbusa, karena citraku didesa ini sudah jelek duluan.
Akhirnya prosesi pemakaman sudah selesai, aku tak ikut ke pemakaman karena harus menjaga Ikhsan, dan juga tubuhku terasa sangat lelah dan lemas. Baru aku akan memejamkan mataku, tiba-tiba pintu kamarku digedor kencang.
"Ratna! keluar kamu!'' ucap seseorang diluar sana.
Aku membuka pintu itu dengan lemas.
"Ada apa bu?" tanyaku.
"Anak siapa itu?!" tanya ibu mertuaku dengan tatapan nyalang.
"Ibu tanya aja sama anak kesayangan ibu! maaf bu Ratna capek, mau istirahat" ucapku sambil menutup pintu dengan cepat. Aku mendengar umpatan-umpatan dari wanita paruh baya itu, aku tak perduli. Aku merasa sudah sangat lelah.
*******
Seminggu setelah kejadian itu Puja masih mengurung diri dikamar, mas Ilyas sepertinya mulai jenuh karena Puja terus larut dalam kesedihannya. Sementara aku sendiri juga sudah seperti 'hidup segan mati tak mau' semua terasa hambar dan datar, saat itu sepertinya aku berada didalam fase stress dan juga mati rasa. Hidupku bertambah hancur karena mas Ilyas tak mau menceraikanku, berkali-kali aku meminta diceraikan tapi justru mas Ilyas malah mengancam akan mencelakai Ikhsan.
Beruntungnya Wulan sering menghiburku dengan menelfon kadang sms. Dia sangat perhatian padaku dan Ikhsan, aku merasa sangat beruntung dipertemukan dengan Wulan.
Dua bulan semenjak kepergian anak Puja, mas Ilyas semakin menunjukkan kebrengsekannya. Dia jarang pulang, mungkin saja dia jajan diluar, entahlah aku tidak tahu. Tapi yang jelas saat itu aku sudah tak tahan ingin pergi dari rumah yang seperti neraka ini.
"Dek, soal saran kamu yang soal kabur itu aku mau dek, tolongin kak Ratna ya... bisa enggak dek jemput kakak tengah malem, terus nanti anter sampai ke terminal. sekalian beliin dulu tiketnya, nanti kakak ganti uangnya" aku mengirim pesan singkat pada Wulan.
"Iya kak insya Allah bisa" balas Wulan.
"Siap-siap aja kak besok malam aku jemput ya" lanjutnya.
Aku senang Wulan mau membantuku. Aku mulai memasukkan beberapa baju yang penting-penting saja, dan juga beberapa barang berharga seperti perhiasan yang pernah dikasih mas Ilyas. Tak sengaja netraku menangkap amplop berisi uang yang pernah diberikan oleh Puja, awalnya aku ragu, tapi demi masa depan Ikhsan aku ambil saja uang itu untuk ongkos pulang kampung.
Malam harinya aku sudah siap dengan rencana kepergianku, namun ternyata mas Ilyas malah pulang kerumah. Dia mengacuhkanku saat tak sengaja berpapasan denganku diruang tamu. Mungkin dia memang sudah tak berselera padaku jadi langsung masuk begitu saja ke kamar Puja. Benar-benar lelaki gil*!
Aku membiarkan pintu depan terbuka begitu saja sengaja tak menutupnya untuk mempermudah rencana kepergianku. Aku melihat mas Ilyas tak keluar-keluar dari kamar Puja, entah apa yang mereka lakukan. Aku jadi bingung, takut rencanaku gagal malam ini. Tapi ternyata tak lama aku mendengar suara-suara menjijikan dua orang manusia yang tengah bercinta dari kamar Puja. Sakit sekali rasanya, dengan terang-terangan mas Ilyas menggauli Puja dirumah ini. Tanpa membuang kesempatan, aku segera keluar dengan membawa tas dan menggendong Ikhsan untuk keluar dari rumah ini. Mereka sepertinya terlalu asyik bercinta sampai tak menyadari kepergianku.
sok berhati malaikat.