Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 12
Wulan merasa aneh, tapi tetap menjawab. “Ya umumnya orang sini Sri. Ikut pemborong kerja bangunan diluar daerah, seminggu sekali baru pulang. Gajinya sekitar dua jutaan sebulan. Katanya Minggu ini udah selesai proyek pembangunannya, paling ya nganggur sebentar nunggu ada panggilan lagi.”
“Kalian punya motor?”
“Dulu ada, tapi tak jual untuk tambahan terapi Gilang. Sri maaf ya, aku ndak bisa membantu banyak. Anak-anakmu kalau tak suruh makan pun mereka banyak nolaknya, entah karena menuku cuma nasi putih dan sayur mayur, entah karena takut ketahuan para tirani itu. Tian, Ambar, blas ndak mau ngaku. Wes tak dedes pun panggah meneng ae, nganti geregetan dewe aku Sri,” ia merasa bersalah.
“Aku yang harusnya berterima kasih Lan. Setidaknya anak-anakku ndak seperti sebatang kara berkat uluran tanganmu secara sembunyi-sembunyi.” Ia menangkupkan kedua tangan, ponselnya dia sandarkan pada dinding, dirinya duduk di lantai.
“Lan, kamu dan mas Dimas … mau ndak, kalau tak mintai tolong jaga anakku sebisa kalian. Tolong kasih makan mereka yang bergizi, terus cari bukti sebanyak-banyaknya. Nanti tiap bulannya tak kirimi empat juta, sampai aku pulang kampung. Mau ya Lan?” ekspresinya memelas, dia benar-benar memohon.
Mulut Wulan terbuka lebar, mata melotot. “Iku uang loh Sri, bukan daun. Empat juta itu banyak banget, apa ya dirimu masih ada pegangan sementara masih harus kirim ke Agung jiancok?”
Sriana tersenyum miring, matanya berbinar culas. “Ndak sudi aku kirim duit lagi Lan. Sudah waktunya giliran aku yang ngakali mereka. Wes numpang, makan gratis, semua kebutuhan aku yang menuhi, malah anakku disia-siakan. Tian, Ambar itu ya darah daging meraka, kok ya tega!”
Dia telah mendapatkan ide jitu, perlahan-lahan mau menjatuhkan para benalu. Dia tidak bisa diajak bernegosiasi jika perihal anak, hilang sudah simpati, empatinya. Niatnya ke luar negeri ya demi Septian serta Ambar – biar mereka merasakan kehidupan layak, makan enak, pakaian bagus, tapi sekarang dirinya sudah mengetahui fakta sesungguhnya yang selama ini sengaja dirahasiakan.
“Kalau motor seken kira-kira harga berapa ya Lan?” Sriana menghitung cepat uang dolar yang dia sembunyikan dari mata culas Triani, sisa gaji dan lemburannya.
“Aku kurang tahu Sri, nanti kalau mas Dimas pulang, kita ngobrol bareng saja. Sekarang kamu pikir-pikir dulu, soalnya uang yang tadi dirimu sebut itu banyak loh nominalnya, aku takut khilaf dan kita jadi salah paham,” ia tidak mau memanfaatkan wanita tengah dirundung nestapa.
“Hari Minggu nanti aku libur, bisa minta tolong ndak Lan … bawa anak-anakku kemana gitu, biar kami bisa ngobrol bebas,” pintanya dengan suara serak.
Wulan tampak berpikir keras, membawa kedua anak Sriana bukan hal mudah, terlebih banyak mata-mata disekitar mereka.
“Minggu ya … sepertinya bisa Sri, kebetulan calon kakak iparnya Dwita nikahan, pasti Agung dan lainnya pada di sana seharian.”
Sriana tidak tahu menahu soal itu, tapi dia kenal keluarga calon suaminya Dwi.
“Sri, sertifikat rumah mu sama siapa?” tiba-tiba Wulan bertanya, ekspresinya terlihat cemas.
“Ada di bank, delapan bulan lagi cicilannya lunas. Sedangkan masa kontrak ku tinggal tujuh bulan lagi.”
Surat kepemilikan rumah atas nama Sriana ada di bank, sebagai jaminan pinjaman uang sebanyak lima puluh juta dengan tempo pembayaran 48 bulan. Uang tersebut dia pinjam seminggu sebelum dirinya berangkat ke Hongkong atas desakan Agung, untuk modal usaha bibit ikan, katanya.
“Alhamdulillah. Berarti aman, soalnya santer kabar daerah kita ini bakalan kena gusur untuk pembangunan jalan tol. Ndak kebayang berapa ganti ruginya, apalagi tanah rumahmu itu luas banget.”
Sriana pun tidak tahu perihal ini, lantas dia tersenyum. “Pantes saja, aku sering dengar Triani bahas jalan tol pas teleponan entah sama siapa. Apa rumahnya dia ndak kena gusur juga Lan?”
“Punya bibi dan pamanmu, ndak. Oh iya nganti lali aku mau nanya. Apa betul kamu sudah setuju kalau harta warisan dari ibumu dijual?”
Jemari Sriana berhenti mengurut kening yang terasa berdenyut. “Kata siapa? Aku ndak pernah setuju. Wong pembagiannya nggak adil, masa aku cuma dibagi 20 persen, padahal sudah belasan tahun kebun luas satu hektar itu ditanami pohon kayu putih oleh bi Ita, diapun sudah menikmati hasile.”
Wulan menghela napas panjang. “Telat Sri, kamu diakali. Kebun itu sudah dijual lima bulan lalu, yang beli mas Zahid Bagas, anaknya bu bidan Ningra. Itu loh yang mantan TKI Korea, sekarang kaya raya dia, paling kaya satu desa kita.”
Sriana tidak peduli pada nama yang disebutkan oleh Wulan, cuma menanggapi dengan raut marah, nada geram perihal harta warisan hak ibunya yang jatuh kepada dirinya. “Kurang ajar mereka. Apa itu bisa diperkarakan Lan?”
“Aku ndak tahu soal itu, tapi sepertinya sulit Sri. Kan sertifikatnya masih atas nama almarhum mbah mu, nah … dua anak kandungnya yaitu paman mu dan ibunya Triani, memutuskan menjualnya. Dengar-dengar ada campur tangan Agung mewakili namamu. Jadi, sepertinya sah. Kan ndak mungkin mas Zahid mau membeli kalau bermasalah.”
“Aku ki dadi uwong kok bodohnya kebangetan sih!” Sriana mengantukkan keningnya pada tembok.
“Ya wajar Sri, dari dulu dirimu kan memang pekok. Harusnya kalau kamu tegas, memperjuangkan hakmu, sudah jadi orang kaya. Sawah, tegalan (kebun), pada dijualin paman dan bibimu, awakmu mung meneng. Eh, milih laki ya bodoh, ada yang _”
“Husttt. Tolong jangan bahas masa lalu lagi, untuk saat ini kepalaku mau meledak rasane Lan.”
Wulan tertawa, lalu dia menatap jam pada ponselnya. “Ya sudah, sekarang basuh wajahmu sana! Biar nanti ndak dicurigai si tempek bosok.”
“Sri ….” panggilnya lembut. “Yang sabar nggeh, tetep semangat, selalu ingat kalau kamu ndak sendirian – ada Gusti Allah. Gusti Allah mboten sare, pasti menolong hamba-Nya.”
Sriana menghapus jejak air mata menggunakan punggung tangan, ia mengangguk. Kemudian mengucapkan salam perpisahan lalu mematikan sambungan telepon genggamnya.
Butuh penopang untuknya dapat berdiri, ia tertatih berjalan ke dapur, membuka lemari kecil tempat penyimpanan obat-obatan. Diambilnya satu butir pil pereda sakit kepala, lalu ditelan dengan didorong air putih.
“Ya Rabbi. Septian, Ambar ….” Ia pukul dadanya yang masih saja terasa sesak. Tak sanggup membayangkan apa yang dialami kedua anaknya.
“Aku ndak boleh lemah, jangan sampai terlihat menyedihkan di depan lonte itu.” Sriana memutar keran kitchen sink, lalu membasuh wajahnya untuk menyamarkan sembab.
Sesudahnya, Sriana termenung, dia melihat jam pada ponsel masih menunjukkan pukul sepuluh, sedangkan si Triani biasanya pulang dari pasar jam sebelas.
“Masih ada waktu!” Sriana berlari menaiki tangga, dia ingin mengumpulkan harta miliknya yang tersisa.
Ibu dari dua orang anak itu tengah membongkar tumpukan perabotan rumah yang dipakai cuma pada hari raya Imlek saja, dia menyimpan puluhan amplop merah di dalam kaleng tempat meletakkan makanan manis.
Dibukanya tutup toples warnah merah motif bunga sakura, didalamnya berisi angpao yang tidak pernah dia buka pemberian dari bobo, keluarga majikannya, dan anggota keluarga anak nenek yang tinggal di luar negeri.
“Masya Allah!”
.
.
Bersambung.