Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Malu banget
Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom mulai dinyalakan. Karpet merah sudah terbentang rapi, dan aroma bunga lili segar mulai memenuhi ruangan. Sejumlah pekerja tampak sibuk berlarian ke sana kemari.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang wanita berdiri dengan anggun. Matanya yang tajam menyisir setiap sudut ruangan, memastikan tidak ada satu pun detail yang luput dari pengawasannya. Baginya, malam ini tidak boleh ada cela sedikit pun. Ia ingin pesta ini menjadi buah bibir yang manis di kalangan kolega dan sahabatnya.
“Tolong, bunganya digeser sedikit ke kiri, ya.”
“Rania sayang, jangan lari-laki... nanti jatuh, Nak,” tegurnya sambil sesekali mengawasi anak kecil yang sibuk berlarian di dalam gedung.
Wanita itu adalah Jesika. Di usianya yang menginjak 45 tahun, ia tampak sangat sibuk mempersiapkan dekorasi pesta ulang tahunnya sendiri. Meski kepala empat sudah lewat, wajah Jesika tetap terlihat segar dan awet muda. Selain faktor genetik yang memang cantik, ia sangat telaten merawat diri.
“Mama undang berapa orang sih? Ramai banget kelihatannya,” komentar Felix, suaminya, yang baru saja tiba dan mengamati sekeliling.
“FYI ya, Pa... Mama undang semuanya, dari yang baru kenal sampai yang sudah bestie. Karena Mama ingin semua orang merasakan kebahagiaan Mama malam ini, bukan cuma Mama sendiri,” jawab Jesika santai dengan senyum puas.
“Katering juga sudah Mama pesan melimpah. Pokoknya semua harus happy malam ini,” lanjutnya penuh semangat.
Felix terkekeh pelan. “Kamu ini, semangatnya kayak anak remaja aja.”
“Biarin! Orang-orang juga bilang Mama masih kelihatan muda, nggak kayak umur 45,” balas Jesika bangga.
“Terserah deh...” ucap Felix sambil menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya.
Tak lama kemudian, seorang pemuda tampan dengan kemeja semi-formal masuk ke dalam gedung. Senyumnya langsung mengembang saat seorang anak kecil berteriak memanggilnya.
“Abang!!!”
Revan tersenyum hangat, lalu berjongkok menyambut adik kecilnya yang langsung menghambur ke dalam pelukannya.
“Kayaknya sudah lama banget kita nggak ketemu ya,” goda Revan sambil mengusap lembut kepala adiknya.
Anak itu adalah Rania, adik angkat Revan. Lima tahun lalu, orang tua Revan menemukan seorang bayi perempuan berusia sekitar dua bulan di bak sampah, menangis kencang. Tanpa pikir panjang, Felix dan Jesika membawa bayi itu pulang dan merawatnya seperti anak kandung. Apalagi, ada secarik kertas terselip di bedongnya yang bertuliskan "Tolong, siapapun... rawat anakku."
Kebetulan mereka memang mendambakan anak perempuan. Hari itu, seolah semesta menjawab doa mereka. Tuhan mengirimkan bayi mungil yang cantik.
"Kangen sama Abang...," rengek Rania manja.
Revan gemas melihat bibir mungil dan pipi gembul adiknya yang masih bicara cadel itu. "Nanti kalau weekend, Abang ajak jalan-jalan, ya."
"Nih, buat kamu." Revan mengeluarkan sebatang cokelat.
"Makasih, Abang!"
"Gih, sana makan," ujar Revan sambil menepuk pelan kepala Rania.
Setelah Rania pergi, Revan menghampiri Jesika yang masih sibuk melihat-lihat.
"Malam ini, aku ajak Devi," lapor Revan.
"Terserah kamu," jawab Jesika singkat tanpa menoleh sedikit pun.
"Ma... kapan Mama bisa terima Devi?"
"Nggak tahu."
Revan menghela napas frustrasi. "Devi itu baik, cantik, dan sopan, Ma. Apa sih yang kurang dari dia sampai Mama nggak suka?"
Jesika berbalik, menatap putranya dengan wajah datar. "Jangan paksa Mama buat suka sama dia."
Setelah itu, Jesika pergi begitu saja meninggalkan Revan yang terdiam kaku.
•
•
"Hah?"
"Ke pesta ulang tahun?" tanya Alina di ujung telepon.
"Iya, kami sudah di jalan. Paling dua jam lagi sampai," jawab Kamelia.
"Ke pesta siapa sih, Ma?"
"Mama juga nggak tahu pasti. Orang yang beli kue Mama sekalian undang Mama ke pestanya," jelas Kamelia. "Kamu mau ikut nggak?"
"Nggak ah... masa aku datang ke tempat orang yang nggak undang aku," balas Alina cepat.
"Ya sudah, nanti Mama menginap di sana sama dua bocil."
Alina tertawa. "Oke deh. Hati-hati di jalan ya, Ma. See you."
Setelah menutup telepon, Alina melirik jam dinding. Sudah pukul enam sore.
"Ma..." suara kecil memanggil dari arah kamar.
"Kenapa, sayang?"
"Temani mewarnai gambaran Aeris, dong,"
"Sini, bawa ke sini."
Aeris masuk ke kamar, mengambil kertasnya, lalu kembali ke ruang tamu.
"Ini..." katanya sambil menunjukkan hasil karyanya.
"Gambar apa ini?"
"Keluarga. Ada Mama, Nenek, Om Leon, Om Afkar, sama Tante Cika," jawab Aeris. Namun kemudian, Aeris menunduk. "Suami Mama Aeris tinggal... karena wujudnya Aeris nggak tahu."
Alina tertegun. Ia menatap wajah putranya yang kini mulai mengambil pensil warna satu per satu dengan raut serius.
"Aeris nggak tahu kenapa suami Mama ninggalin kita... Tapi kayaknya ada hal buruk yang terjadi," ucap Aeris pelan. "Teman Aeris, Tya, pernah cerita. Katanya papanya juga nggak ada sejak dia bayi, jadi Tya cuma tinggal sama mamanya. Sama kayak Aeris."
Alina menelan ludah, dadanya terasa sesak luar biasa. Alina pun hanya bisa menghela napas, lalu tersenyum lembut mencoba mengalihkan suasana.
"Mmm... nanti Nenek mau ke sini, lho."
"Beneran?!" mata Aeris langsung berbinar.
"Iya, katanya mau pergi ke pesta ulang tahun."
"Wah, ulang tahun?" seru Aeris senang. Ia meletakkan pensil warnanya dan menatap Alina antusias. "Siapa yang ulang tahun, Ma? Sudah lama Aeris nggak ke pesta!"
"Mama juga nggak tahu. Yang pasti, yang diundang itu cuma Nenek, Tante Chika, sama Om Afkar."
Aeris mengerucutkan bibir, kecewa. "Yah... Padahal Aeris pengen lihat orang-orang nyanyi Happy Birthday..."
"Nanti, kalau kamu ulang tahun, kita rayain seperti itu ya. Makan kue, nyanyi bareng, undang teman-teman juga."
"Tapi kan masih lama, Ma. Masih tujuh bulan lagi..."
"Nggak akan terasa kok," balas Alina sambil membelai rambut anaknya. Aeris cemberut, tapi akhirnya kembali fokus pada pensil warnanya.
•
•
Devi menatap bayangannya di cermin salon. Revan benar-benar niat membawanya kemari agar penampilannya sempurna malam ini.
"Ketebalan nggak sih, Mbak?" tanya Devi ragu sambil menyentuh pipinya yang dirias flawless.
"Nggak, Kak. Sumpah, Kakak itu aslinya sudah cantik banget. Kalau didandani begini, saya yang cewek saja bisa naksir, apalagi pacar Kakak," puji si MUA.
Devi tersipu malu. Ia berdiri dan memperhatikan gaun biru dongker selutut yang membungkus tubuhnya. Sangat elegan dan pas.
Devi keluar ke ruang tunggu. Di sana, Revan sudah menunggu di sofa, tampak gagah dengan kemeja dan jas yang senada dengan gaunnya, lengkap dengan dasi kupu-kupu hitam.
Revan berdiri, matanya tak lepas menatap Devi. "Kamu cantik banget," bisiknya penuh kagum.
Devi menunduk, pipinya merona. "Mmm... nggak apa-apa ya aku datang?"
Revan tersenyum, mengangkat dagu Devi dengan lembut. "Acara ini umum, siapa saja bisa datang. Jadi jangan gugup. Ada aku di samping kamu."
Baru saja Devi hendak menjawab, Revan memajukan wajahnya.
"Eh? Mau ngapain?"
"Cium kamu," jawab Revan santai.
"Ini tempat umum, Revan!"
"Sepi juga, siapa yang lihat?" balas Revan sambil melirik sekitar.
"Nanti make up-ku luntur!"
"Aku memang sengaja mau melunturkan lipstik kamu," goda Revan sambil tertawa.
Devi terkejut saat Revan menarik tengkuknya. Ia refleks memejamkan mata dan memegang bahu Revan yang kekar. Kurang dari satu menit suara nyaring memecah keintiman mereka.
"EHEM!!"
Suara deheman keras membuat Devi sontak mendorong Revan menjauh.
"WOI LAH!! Nggak di kantor, nggak di mana-mana, kalian berdua selalu keciduk sama gue! Nikah saja sekalian!" seru Javier yang tiba-tiba muncul. "Pacar lo mesum banget, Dev. Gue nggak kebayang kalau lo nikah sama dia... bisa-bisa lo pincang tiap hari!"
Devi langsung menunduk, wajahnya merah padam karena malu. Revan hanya melirik tajam ke arah sahabatnya itu.
"Lo iri ya? Karena nggak ada yang bisa lo bikin pincang?"
"Gue sih mending jomblo daripada mengganggu salon orang," balas Javier santai.
Devi menutup wajahnya dengan tangan. "Astaga... malu banget..."