Kalau kamu ada di dalam mobil bareng suamimu dan "cinta sejatinya" pas kecelakaan, siapa coba yang bakal dia selamatkan?
Rizki nggak butuh sedetik pun buat gendong Meli pergi. Darah mengalir deras. Bukan cuma janin tiga bulan di perut Aulia yang mati, tapi juga seluruh hati Aulia. Hancur jadi debu.
Semua orang juga tahu, pernikahan mereka itu cuma kontrak bisnis belaka. Aulia memang merebut Rizki dari Meli, tapi dia yakin suatu hari Rizki bakal capek berpura-pura dan benar-benar lihat dia.
Tapi, pas liang lahat bayinya ditutup, Aulia baru melek. Cukup. Kita cerai.
Tiga bulan kemudian, di panggung gemerlap, Aulia berdiri. Cantik. Hebat. Menerima penghargaan. Rizki terpaku, lalu dengan suara datar bilang ke semua orang, "Ya, itu istri saya." Aulia cuma senyum miring, lalu menyodorkan kertas perceraian ke tangan Rizki. "Maaf ya, Pak Rizki. Yang benar itu mantan istri."
Pria sedingin es itu akhirnya pecah. Matanya memerah, suaranya parau. "Mantan? Aku nggak pernah mau cerai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara Tulus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bawa Perjanjian Barunya
"Buatkan semangkuk sup pereda pengar. Bawa ke atas."
Dua menit kemudian, Rizki membuka pintu, berdiri di lantai atas, dan menatap ke bawah sambil memberi perintah.
Rasa sakit akibat benturan tadi sudah mulai kebas, malah nggak terlalu terasa lagi. Aulia nggak ngomong apa-apa. Dia langsung masuk ke dapur buat bikin sup. Selesai, dia bawa ke depan kamar Rizki.
Baru saja mau dorong pintu, terdengar suara wanita dari dalam kamar. Meli sepertinya sudah bangun.
Aulia terdiam dua detik. Lalu dia taruh sup di depan pintu dan mengetuk pelan. "Supnya aku taruh di pintu," ucapnya.
"Mm." Suara Rizki datar, susah ditebak emosinya.
Di dalam kamar, Meli sudah agak sadar. Dia angkat kepala, natap sekeliling.
"Kamu minum terlalu banyak. Kunci rumah juga kamu buang ke sungai, jadi aku terpaksa bawa kamu pulang dulu," jelas Rizki. Dia kira Meli masih bingung.
Mereka sempat muter muter Kota Tepi Samudra, entah gimana akhirnya ngomongin hal hal masa lalu. Meli bilang di mobil ada minuman dan mau ke tepi sungai buat minum sedikit.
Awalnya Rizki mau nolak. Tapi lihat Meli kelihatan sedih, kayak tersentuh sama kenangan lama, dia nggak tega. Lagipula, meskipun dulu yang misahin mereka Keluarga Laksmana, Rizki tahu sebagian salahnya juga ada di dia. Jadi, dia temani Meli minum sedikit.
Dia tahu Meli nggak kuat minum. Tapi dia nggak nyangka toleransi alkohol Meli seburuk itu. Cuma dua gelas, dia sudah mabuk dan pingsan.
Rizki rencana mau antar dia pulang. Tapi Meli malah buang kunci rumahnya ke sungai. Dalam keadaan mabuk parah dan Rizki nggak tahu kode pintu rumah Meli, dia jelas nggak mungkin ninggalin Meli gitu aja di hotel. Jadi, satu satunya pilihan adalah bawa dia pulang.
"Maaf ngerepotin kamu." Meli ngusap pelipisnya sambil senyum.
"Nggak apa apa," balas Rizki tanpa merasa keberatan sedikit pun. "Tapi, kamu beneran nggak kuat minum. Lain kali harus hati hati, jangan sampai..."
Rizki nggak ngelanjutin. Tapi Meli paham maksudnya. Dia pun senyum manis. Matanya melengkung. "Kamu ini lagi khawatir sama aku ya?"
Rizki cuma menekuk bibirnya, nggak jawab.
"Tenang saja, aku nggak pernah minum di depan pria lain. Aku cuma ngerasa, karena kamu pernah jadi orang yang kucintai, aku bisa ngerasa aman. Bagaimanapun, aku tetap berterima kasih karena kamu masih peduli sama aku."
Meli sengaja nekenin kata "pernah jadi orang yang kucintai". Dia melirik ekspresi Rizki. Pas lihat Rizki nggak nunjukin kejengkelan, dia pun senyum. Dia mau sentuh wajah Rizki.
Tapi, sebelum sempat nyentuh, Rizki berdiri. Tangan Meli cuma sempat nyentuh pakaian Rizki, lalu terhenti di udara.
"Baguslah kalau begitu. Sup pereda pengarnya sudah jadi, aku ambil dulu."
Meli natap punggung Rizki yang tegap. Senyumnya pelan pelan hilang. Dia menunduk. Dia merasa nggak tenang.
Rizki selalu begini. Setiap kali dia ngerasa ada peluang buat lebih dekat, pria itu bakal nolak dengan sopan sekaligus tegas.
Meli tahu, perhatian dan toleransi Rizki selama ini bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah. Dulu dia yakin banget, seiring berjalannya waktu, dia bisa manfaatin rasa bersalah itu buat ngubah perasaan Rizki ke dia.
Apalagi, dia selalu meremehkan Aulia. Dalam hatinya, walaupun Rizki nikahin Aulia, cepat atau lambat mereka pasti cerai.
Tapi, baru baru ini Meli mulai ngerasa ada sesuatu yang keluar dari kendalinya.
Dua jam kemudian, Aulia dengar suara langkah kaki Rizki keluar dari kamar di sampingnya. Suara langkah mantap itu menjauh ke arah tangga. Lalu berhenti di lantai bawah, di ruang kerja.
Apa yang terjadi selama dua jam itu, Aulia nggak mau tahu. Dia juga malas nyiksa diri dengan mikirinnya.
Dia cuma bawa surat perjanjian cerai baru, yang memastikan dirinya keluar dari rumah ini tanpa membawa apa pun. Lalu dia melangkah ke bawah, mengetuk pintu ruang kerja.
"Masuk," suara Rizki terdengar berat.
Aulia mendorong pintu, melihat Rizki duduk di balik meja mahoni besarnya, matanya yang gelap sedang menatap tumpukan dokumen. Dia berjalan ke depan meja, menaruh lembaran perjanjian di atas tumpukan dokumen Rizki.
"Aku bawa perjanjian barunya," ucap Aulia. Suaranya datar, tanpa emosi, tanpa tuntutan.
Rizki mengangkat pandangannya. Alisnya terangkat sedikit saat melihat dokumen itu. Ia meraihnya dengan perlahan, lalu membacanya.
Tidak ada tuntutan kompensasi. Tidak ada permintaan nafkah. Aulia Laksmana telah menandatanganinya, menyetujui syaratnya sendiri: "Keluar tanpa membawa apa-apa."
Wajah Rizki yang semula keras kini berubah. Matanya menyipit, bukan karena amarah, melainkan karena kebingungan dan kekosongan yang ia lihat pada Aulia.
"Aulia, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Kamu menyerah?"