Seorang pemuda berusia 25 tahun, harus turun gunung setelah kepergian sang guru. Dia adalah adi saputra.. sosok oemuda yang memiliki masa lalu yang kelam, di tinggalkan oleh kedua orang tuanya ketika dirinya masih berusia lima tahun.
20 tahun yang lalu terjadi pembantaian oleh sekelompok orang tak di kenal yang menewaskan kedua orang tuanya berikut seluruh keluarga dari mendiang sang ibu menjadi korban.
Untung saja, adi yang saat itu masih berusia lima tahun di selamatkan okeh sosok misterius merawatnya dengan baik dari kecil hingga ia berusia 25 tahun. sosok misterius itu adalah guru sekaligus kakek bagi Adi saputra mengajarkan banyak hal termasuk keahliah medis dan menjadi kultivator dari jaman kuno.
lalu apa tujuan adi saputra turun gunung?
Jelasnya sebelum gurunya meninggal dunia, dia berpesan padanya untuk mencari jalan hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 membeli rumah
"Namaku rayan. Kamu bisa memanggilku Kak ray, karena usiaku jauh lebih tua darimu."
Jawaban rayan membuat Maudy agak terkesiap. Ia merasa nama pemuda ini sedikit berbeda dari kebanyakan pemuda yang ia kenali.
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, tak lama kemudian sebuah motor matik datang dan berhenti di halaman rumah yang akan dijual itu. Sepasang suami istri paruh baya turun dari motor tersebut.
"Apakah kalian yang ingin membeli rumah ini?" Melihat sepasang muda-mudi menunggu di sana, seorang wanita paruh baya langsung bertanya pada mereka.
"Apakah Nyonya pemilik rumah ini?" ucap rayan.
"Ya, saya Bu Yuyun dan ini suami saya, Pak Rahmat," ucap wanita paruh baya itu.
"Kalau begitu perkenalkan, nama saya rayan. Tuan dan Nyonya bisa memanggil saya rayan saja. Dan ini adik saya, namanya Maudy. Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu bapak dan dan ibu hingga harus datang kemari di tengah malam seperti ini." rayan langsung memperkenalkan dirinya dan mengakui gadis itu sebagai adiknya. Ia melakukannya agar kedua pasangan paruh baya ini tidak salah paham.
Wanita paruh baya itu menyipitkan matanya, menoleh ke arah Maudy. Sebelumnya, gadis itu berbicara saat menghubunginya, mengaku kalau seorang temannya lah yang berminat membeli rumah yang baru beberapa hari ini memang ingin mereka jual.
Sedangkan Maudy sendiri cukup terkejut mendengar pemuda itu memperkenalkannya sebagai adiknya. Ia menjadi salah tingkah saat mendapati wanita paruh baya itu tengah melihat ke arahnya.
"Eh, itu, se-sebenarnya waktu di telepon, saya hanya asal bicara saja. Saya memang kebetulan suka mengakui kakak saya sebagai teman dekat kepada orang lain," ujar Maudy. Ia bisa menebak apa yang wanita paruh baya itu pikirkan.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum samar, kemudian beralih kembali menatap ke arah pemuda itu.
"Panggil saja saya Bu Yuyun. Juga, Nak ray tidak perlu meminta maaf karena telah menyuruh kami datang kemari tengah malam seperti ini. Apalagi, kami memang selalu menunggu seseorang yang berniat membeli rumah kami ini," ujar Bu Yuyun.
rayan menganggukkan kepalanya dan berkata, "Kalau begitu, kita langsung pada intinya saja. Berapa harga yang ingin Bu Yuyun ajukan untuk rumah ini?"
Kedua pasangan paruh baya itu seketika saling memandang. Melihat penampilan pemuda itu, mereka menebak bahwa pemuda itu pastilah seseorang dari desa yang ingin mengadu nasib di kota. Apalagi, biasanya seseorang jika ingin membeli rumah akan memeriksanya terlebih dahulu, tetapi pemuda ini langsung meminta harga tanpa melihat ke dalam rumah.
Satu hal yang kedua pasangan paruh baya itu pikirkan, bahwa pemuda ini tampaknya begitu polos dan mudah ditipu oleh orang lain.
"Hahaha, anak muda, sepertinya kamu adalah orang yang tidak suka berbasa-basi, tetapi aku cukup menyukai sikapmu ini," ujar Pak Rahmat, pria paruh baya itu, angkat bicara. "Lupakan tentang harga yang akan kami ajukan, sebaiknya kalian lihat dulu isi setiap ruangan di dalam rumah itu."
Pak Rahmat tidak mungkin langsung menjual rumahnya itu begitu saja. Lagipula, ia tidak ingin pembelinya merasa kecewa setelah membelinya.
"Baik, kalau begitu, silakan Bu Yuyun dan Pak Rahmat menunjukkannya." rayan agak menyukai sikap kedua pasangan paruh baya itu. Tampaknya mereka memiliki kelakuan yang baik, pikirnya.
Kemudian, kedua pasangan paruh baya itu membawa rayan dan Maudy untuk melihat isi di dalam rumah. Setelah pintu rumah itu terbuka, Sedawa dan Maudy dipersilakan untuk masuk. Sedawa langsung melihat ke setiap sudut ruangan itu. Ukurannya cukup luas, terdapat ruang tamu beserta dua kamar tidur tersedia di sana. Tampak juga beberapa perabotan tersusun begitu rapi, jelas terlihat kalau pemilik rumah itu sangat merawatnya.
"Bagaimana menurut Nak ray ? Apakah sudah yakin ingin membeli rumah ini?" tanya Pak Rahmat setelah pemuda itu memeriksa setiap ruangan di sana.
"Rumah ini cukup bagus. Sepertinya rumah ini baru saja selesai dibangun?" kata rayan. Ia mendapati semua bahan bangunan rumah itu tampak masih baru.
"Nak rayan benar. Sebenarnya rumah ini kami bangun dua tahun yang lalu. Awalnya kami berniat akan memberikan rumah ini untuk putra kami setelah lulus kuliah nanti. Sayangnya, setahun lalu putra kami tertabrak oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab hingga putra kami harus kehilangan nyawanya saat sedang dilarikan ke rumah sakit," ucap Bu Yuyun dengan mata berkaca-kaca.
"Rumah ini bahkan belum pernah kami tempati sejak selesai dibangun, tetapi kami berdua selalu merawat rumah ini dengan baik," timpal Pak Rahmat, sambil menggenggam tangan istrinya, memberinya ketenangan karena teringat pada putra pertama mereka. Sebenarnya, mereka berdua tidak ingin menjual rumah itu, tetapi mereka membutuhkan uang untuk membiayai pengobatan putri bungsu mereka yang kini baru berusia 7 tahun.
"Saya turut berduka atas apa yang menimpa putra Ibu dan Bapak," ucap rayan, mendapat anggukan dari Maudy.
"Terima kasih. Maaf kami jadi menceritakan masalah pribadi," ucap Pak Rahmat.
"Tidak apa-apa, saya juga mengerti bagaimana rasa kehilangan seseorang yang kita cintai. Mengenai rumah ini, silakan Pak Rahmat sebutkan saja harganya." rayan langsung menanyakan harga pada mereka.
"Ini...?" Pak Rahmat melirik sekilas pada istrinya. Setelah mendapati istrinya mengangguk kecil, ia pun melanjutkan ucapannya, "Awalnya kami ingin menjual rumah ini seharga 150 juta RP, itupun tidak berikut tanah.. Karena tanah ini milik seseorang yang sudah kami sepakati di atas surat perjanjian dalam jangka 20 tahun, ketika waktu itu telah habis... Maka nak rayan harus memperpanjang kontrak tanah atau rumah ini akan menjadi pemiliki tanah "
Rayan terdiam cukup lama, ia tidak berharap rupanya harga rumah kecil saja di kota ini akan semahal itu, dan itu itupun tidak berikut tanahnya.
"Tetapi jika Nak rayan merasa keberatan, Nak rayan boleh menawarnya lagi." Lanjut pak mamat menawarkan, karena melihat secara terdiam pak mamat berpikir mungkin harga yang mereka tawarkan terlalu mahal.
Meski Pak Rahmat membutuhkan uang, tetapi ia juga tidak ingin memberatkan pembeli. Apalagi, rumah itu hanya berukuran 6 x 7 meter, belum lagi di kawasan itu, rumah tersebut termasuk yang paling sederhana dan kecil di antara yang lainnya.
"Tidak perlu. Karena Pak Rahmat ingin menjual rumah ini dengan harga Rp150 juta, saya juga tidak akan menawar lagi. Hanya saja, sebagai uang muka saya akan memberikan Rp20 juta terlebih dahulu, dan sisanya besok Pak Rahmat datang lagi kemari," ujar rayan. Saat ini ia memang hanya memiliki uang rupiah sebesar Rp20 juta. Itupun pemberian dari pemilik restoran siang tadi sebagai uang lebih, karena ia membayar makanan menggunakan koin emas. Dan karena melihat saat itu sang manajer restoran begitu antusias terhadap koin emas yang ia berikan, Sedawa pun berencana untuk menukarkan koin emasnya kembali besok.
"Tidak masalah. Karena Nak rayan sudah mengatakan seperti itu, saya akan kembali lagi besok sekalian membawa surat kepemilikan rumah ini atas namamu," kata Pak Rahmat.
"Saya mengikuti apa kata bapak saja" Ucap rayan tak ingin terlalu banyak berasa basi lagi,
"Baiklah.. Kalau begitu boleh kah bapak meminta KTP nak rayan " Kata pak mamat membuat rayan terdiam seketika, ia belum memiliki kartu penduduk karena selama ini ia tinggal di pedalaman hutan tanpa pernah keluar dari hutan itu sekalipun,
"Ini.. Bapak membutuhkan KTP nak rayan untuk mengganti nama kepemikikan dan pembaruan surat pejanjian dengan pemilik tanah ini " Lanjut pak mamat menjelaskan,
"Apa kamu memiliki KTP "? Tanya rayan pada maudy,
Maudy terdiam tak mengerti, ia menatap pemuda itu dengan wajah bingung, jelas pemikik rumah ini meminta KTP rayan.. Tetapi kenapa justru sedawa malah menanyakan KTP dirinya, " Aku belum memiliki KTP "
"Ti-tidak punya KTP?" Ulang maudy.. Bagai mana mungkin pemuda ini tidak memiliki KTP sedangkan usianya bahkan jauh lebih tua darinya,
"Itu.. Mmh, KTP ku hilang beberpa hari lalu dan aku belum memiliki waktu untuk membuatnya ukang " rayan tak punya pilihan lain selain beralasan,
"Oh.. "! Maudy pun tidak bertanya lagi, tahun kalau ia juga pernah khilangan KTP,
"Berikan KTP mu" ucap rayan,
"Untuk apa?" Tanya maudy bodoh,
"Kamu tidak mendengar apa yang pak mamat katakan tadi "?
"Tap-tapi kan.. Ba-bagai mana bisa kamu...?" Maudy langsung tergagap seketika, jika membuat surat pergantian nama kepemikikan rumah menggunkan KTP nya, bukankah itu berrti secara tidak langsung rumah ini menjadi miliknya?
"Sudahlah.. Aku tidak punya waktu lagi, hari sudah malam dan kita harus segera berisitiharat.. Kecuali jika kmu ingin tidur di jalanan" Potong rayan,
Dengan sedikit langsung maudy pun akhirnya memberikan KTP miliknya pada rayan, dan rayan pun langsung mmberikan KTP itu pada pak mamat, Setelah berbincang beberapa patah kata, Pak Rahmat beserta istrinya pun langsung pamit untuk pulang. Kini tersisa rayan dan Maudy saja di dalam rumah itu.
"Ke-kenapa kamu menatapku seperti itu...?"
Setelah kepergian Pak Rahmat dan istrinya, rayan beralih menatap gadis itu. Hal itu membuat Maudy langsung tidak nyaman dan mulai meragukan keputusannya untuk menginap dengan pemuda ini..
"Aku hanya sedikit mencium bau keringat dan mengikuti arah bau itu," ucap rayan, membuat Maudy langsung membulatkan matanya.
"Ka-kau..."
Wajah Maudy langsung memerah bak kepiting rebus. Sebenarnya ia memang sudah tidak nyaman sejak berjalan kaki mengikuti pemuda itu hampir kurang lebih empat jam, dan sekarang sudah pukul 12 malam. Dengan rasa malu, Maudy pun berlari ke arah kamar mandi yang sebelumnya ia dan pemuda itu sudah periksa.
"Jangan lupa untuk memasuki kamar tidur sebelah sana setelah kamu mandi!" rayan sedikit tersenyum karena telah sedikit menggoda gadis itu. Kemudian, ia pun berjalan ke arah kamar lainnya, yang mana sudah ada satu buah lemari pakaian di sana, dengan sebuah jendela yang menghadap ke sebuah bangunan tinggi yang diperkirakan itu adalah sebuah pabrik pengelola daging.