Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Malam Pertama
Setelah acara usai, malam itu rumah keluarga Selena masih ramai oleh tawa dan obrolan. Lampu-lampu taman menyala hangat, menyorot wajah-wajah bahagia keluarga yang masih bercengkerama setelah seharian penuh kebersamaan. Namun di sisi lain, Selena, Daren, dan Arunika baru saja tiba di rumah Selena—rumah yang kini menjadi tempat sementara untuk bagi keluarga kecil itu, sambil menunggu rumah Daren selesai di renovasi.
Arunika tertidur pulas di pangkuan Daren sepanjang perjalanan. Wajah mungilnya tenang, bibirnya sedikit terbuka, sesekali menggumam kecil dalam tidur.
“Kamu masuk dulu aja, ya. Aku bawa Arunika ke kamarnya dulu,” ucap Daren lembut, menatap Selena dengan senyum samar.
“Oh… iya, Kak,” jawab Selena gugup.
Ia membuka pintu rumah perlahan, membiarkan aroma bunga melati dari taman depan masuk bersama udara malam yang lembap. Langkahnya terasa canggung—setiap sudut rumah kini terasa berbeda. Ada sesuatu yang hangat tapi juga menekan di dadanya.
Sesampainya di kamar, Selena menatap ruangan itu lama. Ia memutuskan untuk tidak menempati kamar lamanya, kamar yang dulu menjadi saksi kebersamaannya dengan Kavi. Kini, kamar itu kosong, hanya berisi kenangan yang ia belum sanggup hadapi.
Kamar barunya berdampingan dengan kamar Arunika, sederhana namun bersih. Tirai putih lembut tergerai di jendela, aroma kayu dari lemari baru menguar samar. Selena duduk di tepi ranjang, menatap bayangan dirinya di cermin.
Dalam pantulan itu, ia melihat mata yang kelelahan—dan rasa bersalah yang menolak pergi.
"Apa aku sudah terlalu cepat? Apa aku benar-benar siap untuk ini?" batinnya bergetar.
Ia menggenggam jemarinya sendiri, menunduk.
Kavi. Nama itu masih terukir di hatinya, dan setiap kali ia mengingatnya, perih itu kembali.
Padahal ia tahu, ia tidak berkhianat. Ia hanya berusaha bertahan.
Namun rasa bersalah itu seperti benang halus yang menjerat—tak terlihat, tapi menahan langkahnya.
Selena membuka paper bag berwarna pastel yang diberikan Elina dan Kania tadi sore dengan rasa penasaran. Begitu melihat isinya, ia langsung membeku di tempat.
“Ya ampun…” gumamnya nyaris tanpa suara.
Tangannya mengangkat sepotong kain tipis berwarna merah muda, nyaris transparan, dengan renda-renda halus di bagian pinggir. Ia menatapnya lama, antara tak percaya dan ingin tertawa sekaligus menjerit.
“Baju apaan, nih?” bisiknya dengan wajah memerah. “Elina… Kania… kalian beneran waras gak sih?”
Ia meletakkan ‘hadiah’ itu di atas ranjang, menatapnya seolah menatap musuh bebuyutan. Kalau tadi ia masih bisa berpikir jernih soal masa lalu dan rasa bersalahnya, kini pikirannya kacau karena satu hal—baju haram itu.
“Ini mah bukan baju. Ini… kain tipis yang disalahgunakan,” keluhnya lirih, memegangi kepala.
Ia menarik napas panjang. “Perasaan dulu gue gak pernah pakai ginian deh... masa iya gue harus pakai ini di depan Kak Daren? Hadeh… malu gue malu. Lagian ada-ada aja si Elina sama Kania."
Tapi kemudian ia mengingat senyum Elina dan Kania waktu memberikannya tadi, lengkap dengan kata-kata, ‘Harus dipakai malam ini ya, wajib!’
Karena tak ingin terlihat tidak sopan menolak pemberian sahabatnya, Selena akhirnya menuruti dengan berat hati. Ia menggigit bibirnya, menghela napas panjang sebelum membawa bungkusan itu ke kamar mandi.
Air hangat mengalir membasahi kulitnya, sedikit membantu menenangkan pikiran yang campur aduk. Namun begitu selesai dan mengenakan pakaian yang diberikan sahabatnya itu, Selena menatap bayangannya di cermin kamar mandi dan hampir menjerit.
“Ya Tuhan… ini tuh kayak gak pakai baju!” katanya dengan wajah memerah sampai ke telinga.
Ia menarik kain bagian atasnya, tapi malah makin terbuka. Dilepaskan—lebih parah.
“Duh, gimana sih cara pakainya…” gumamnya panik.
Belum sempat ia berpikir lebih jauh, terdengar suara langkah kaki di luar pintu. Pintu kamar terbuka pelan—dan Daren masuk.
Refleks, Selena terlonjak.
“Ka—Kak Daren!” serunya spontan, sambil berusaha menutupi dirinya dengan selimut tipis yang tergantung di sisi ranjang.
Daren yang baru saja membuka pintu terdiam di tempat. Matanya sempat membulat sesaat, lalu buru-buru menoleh ke arah lain dengan gerakan canggung.
“Maaf! Aku gak tahu kamu belum… siap,” katanya tergagap.
Wajahnya jelas memerah, dan Selena pun tak kalah panik.
“Aku… aku cuma... tadi dikasih Elina sama Kania, katanya harus dipakai malam ini, tapi aku gak tahu kalau—ya ampun ini parah banget!” katanya terbata, semakin menenggelamkan diri dalam selimut.
Daren terdiam sejenak, memandangi Selena yang kini duduk di tepi ranjang dengan wajah memerah, masih memeluk selimut erat-erat di dadanya. Kamar itu temaram, hanya diterangi cahaya lembut dari lampu meja di sudut ruangan. Suasananya hening—hangat—dan penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan oleh kata.
Selena menunduk pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Aku… cuma nggak mau terus merasa bersalah, Kak,” katanya lirih. “Aku tahu, mungkin aku masih belum benar-benar melupakan masa lalu. Tapi aku juga nggak mau menutup diri dari masa depan.”
Daren berjalan mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia berhenti di hadapan Selena, lalu berlutut di depannya, agar sejajar dengan tatapan wanita itu.
“Selena,” panggilnya lembut, “kamu nggak perlu memaksakan apa pun malam ini. Aku nggak ingin kamu melakukan sesuatu hanya karena merasa harus.”
Mata Selena basah, bukan karena sedih, tapi karena haru. Ia menatap Daren dalam-dalam, dan dalam pandangan itu, ia melihat ketulusan—seseorang yang tidak menuntut, tidak memaksa, hanya ingin memahami.
“Tapi aku juga nggak mau kamu terus merasa aku menjaga jarak,” bisiknya. “Aku pengin kita mulai semuanya pelan-pelan. Dengan perasaan yang sama-sama siap, bukan karena kewajiban.”
Daren tersenyum kecil. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Selena dengan lembut, menghapus sisa air mata di sudut matanya.
“Pelan-pelan aja nggak apa-apa,” ucapnya tenang. “Kita punya waktu seumur hidup untuk saling mengenal lagi.”
Selena menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya malam itu, senyum lembut terukir di bibirnya. Ia merasakan dada Daren yang hangat saat pria itu menariknya ke dalam pelukan. Tidak ada kata, tidak ada gerakan berlebihan—hanya keheningan yang dipenuhi dengan rasa aman dan kepercayaan.
“Aku masih belum terbiasa, Kak,” ucap Selena pelan.
“Kalau begitu,” jawab Daren, menatapnya dengan mata lembut, “biar aku yang biasakan kamu.”
Ia mengecup kening Selena, lama dan penuh makna. Kecupan itu bukan tentang gairah—melainkan janji. Janji untuk mencintai tanpa terburu-buru, untuk menemani tanpa menuntut.
Malam itu bukan tentang menjadi suami istri dalam arti fisik.
Malam itu adalah awal—dua hati yang sama-sama belajar melepaskan masa lalu, dan mulai membangun rumah baru di dalam diri satu sama lain.
Dan ketika lampu kamar perlahan diredupkan, yang tersisa hanyalah kehangatan dan suara napas yang berpadu tenang.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Selena tertidur dalam pelukan yang tidak membuatnya takut kehilangan, melainkan membuatnya yakin bahwa cinta yang baru sedang tumbuh—perlahan, tapi pasti.
Lanjutannya kalian bayangin sendiri aja🤭