Istri Pengganti

Semua orang yang ada di sana terkejut melihat kehadiran Leon. Wartawan tadi nyalinya menciut mendengar ucapan Leon. Ia gagal mendapatkan berita panas hari ini.

"Apa yang kau lakukan disini?" bisik Anna pada Leon.

"Menyelamatkanmu." ucap Leon pelan.

"Apa masih ada yang ingin kau tanyakan? Sebenarnya kau di sini sebagai apa? Investor atau wartawan yang ingin mencari berita murahan?" ucap Leon dengan wajah sangarnya.

"Kenapa Pak Leon bicara seperti itu, saya tidak memiliki niat seburuk itu. Saya hanya bertanya karena melihat Nona Anna sendirian, tidak didampingi suaminya." seorang wartawan memanglah sangat pandai bicara.

"Sekarang kau sudah melihatku bukan? Enyahlah." Leon muak melihat orang-orang yang mencari uang demgan membuat berita palsu.

Tidak ada yang berani menyela sikap ketus Leon karena hanya dialah yang paling berkuasa di sana. Wartawan itu menyingkir dari sana dengan hati yang kesal.

Tangan Leon merangkul pinggang Anna membuat gadis itu risih. "Tanganmu, tolong lepaskan."

"Kau tidak lihat reporter dan awak media di sana? Mereka adalah komplotan wartawan tadi. Bersikaplah biasa dan ikuti kata-kataku." bisik Leon.

Anna melihatnya dan memilih menurut. Tiba-tiba saja Leon mencium pipinya, Anna terkesiap merasakan kenyalnya bibir pria itu menyentuh pipinya. Mata Anna melotot, sedangkan Leon santai dan tersenyum manis.

"Untuk meyakinkan mereka bahwa hubungan kita baik-baik saja." ucap Leon. Namun ekor mata pria itu melirik David yang duduk di sana.

"Wah, sepertinya Pak Leon sangat mencintai istrinya." bisik salah satu investor.

"Apakah Nona Laura sudah terlupakan?" bisik lainnya.

"Sepertinya. Tidak heran, Nona Anna sangat cantik dan memiliki hati yang luas. Laki-laki mana yang tidak terpikat dengannya."

Sepandai apapun Anna dan Leon bersandiwara, berita panas selalu muncul. Kedekatan keduanya menjadi berita panas di media sosial. Tangkapan foto ketika Leon mencium Anna beredar di internet. Laura terlupakan.

"Ahh...." suara Laura menggelegar di kamar yang megah dan mewah itu. "Sialan." ia melempar ponselnya ke lantai hingga benda itu pecah. Laura baru saja melihat berita yang baru beredar, foto mesra Leon dan Anna.

"Leon, kau tega melakukan itu padaku?" wanita itu menangis. "Ini semua karena bayi sialan ini." ia memukul perutnya yang sudah membesar.

"Laura! Apa yang kau lakukan!" seorang pria berkaca mata. Pria itu menahan Laura melukai bayinya.

Laura berhasil tenang, tapi ia meraung memanggil nama Leon. "Aku ingin kembali pada Leon. Tolong aku Liam."

"Aku tahu, lima bulan lagi sampai anak ini lahir kau akan kembali." Liam menenangkannya.

Lima bulan lagi tapi seperti lima tahun bagi Laura. Dia sudah sangat merindukan Leon. Melihat foto itu membuat dunianya hancur. Anna, apa yang dia suka dari anak haram itu. Leon tidak akan tergoda jika Anna tidak menggodanya.

"Lihat saja Anna, begitu kembali aku akan memberi perhitungan denganmu." hati wanita itu begitu panas.

Hari demi hari berlalu, Anna kian merasa nyaman tinggal di keluarga ini. Pun hubungannya dengan Leon cukup baik sejauh ini meski kadang sering terjadi perdebatan di antara mereka.

"Kalau Kak Laura kembali, apakah kau akan bersikap seperti ini padaku atau kembali seperti dulu lagi?" Anna melontarkan pertanyaan setelah mereka selesai belajar bermain piano.

Leon mengangkat bahunya, "Entahlah. Kita lihat saja nanti. Lagi pula kita tidak tahu apakah Laura akan kembali. Dia seperti semut yang bersembunyi di sebuah lubang yang tidak bisa kutemukan." jawab Leon.

"Anggap saja Kak Laura akan kembali, apakah kau akan ikut menindasku?"

"Sepertinya kita tidak akan bertemu lagi jika hal itu terjadi."

"Kenapa?" entah kenapa perasaannya tidak senang membayangkan hal itu.

"Ayahku akan mendaftarkanmu di universitas terbaik di London." Leon berbohong, sebenarnya dia yang akan melakukannya.

"Benarkah?" Anna senang, kuliah S2 di kampus terkemuka adalah hal yang dia impikan sejak dulu. Tetapi keluarga Adiguna tidak rela menghabiskan uang untuknya. Maka Anna harus bekerja untuk menghasilkan uang karena kuliah di sana membutuhkan banyak biaya sekali pun menjadi mahasiswa beasiswa.

"Hem...Belajarlah dengan baik di sana. Buktikan pada ayahmu bahwa kau bisa berdiri tanpa keluarganya."

Anna mengangguk cepat, senyumnya begitu tulus, "Tentu. Dan terima kasih sudah memperlakukanku dengan baik. Aku akan selalu mengingat kebaikan keluarga ini."

Melihat senyum cerah itu membuat hati Leon juga ikut lega. Anna sudah cukup menderita seumur hidupnya. Leon tidak ingin kembali ke rumah itu dan menderita lagi. Anna adalah gadis yang baik dan tulus, tidak pantas diperlakukan seperti sampah.

"Kau berhak bahagia." gumam pria itu.

"Kau bilang apa? Aku tidak dengar."

"Tidak ada. Sebaiknya kau tidur, malam sudah larut." pria itu menyudahi sesi belajar mereka.

"Baiklah." Anna melihat wajah Leon tampak pucat, tidak seperti biasanya. Saat tangan mereka bersentuhan pun tangan Leon terasa panas.

"Tunggu, kau sedang sakit?" dengan ragu Anna meletakkan punggung tangannya untuk memeriksa Leon. "Kau demam. Sebaiknya minum obat."

"Hanya demam biasa, besok pagi juga sembuh." jawab Leon. Tapi ucapannya tidak sesuai dengan apa yang dia rasakan. Tubuhnya meriang dan lemas, namun berusaha terlihat kuat di depan Anna.

"Ya sudah, cepatlah kembali ke kamarmu." Anna bergegas berdiri diikuti oleh Leon.

"Kamarmu sangat jauh dari rumah utama, kau tidak keberatan jika aku mengantarmu?" Anna cemas pria itu pingsan.

"Tidak perlu. Aku masih kuat." Leon menolaknya.

Keduanya berjalan beriringan dan mereka akan berpisah di sebuah lorong, dimana kamar Leon berada di paling belakang rumah itu. "Selamat malam Anna." ucapnya sebelum mereka berpisah.

Anna tidak kembali ke kamarnya, dia pergi ke dapur untuk mengambil air hangat dan obat penurun panas dari kotak p3k. Anna tahu demam pria itu cukup serius dan akan semakin tinggi panasnya jika tidak segera diberi obat.

Tidak lupa Anna membawa air dan handuk kompres, ditata di sebuah nampan lalu membawanya ke kamar Leon.

Anna kesulitan mencari kamar Leon, karena ini kali pertamanya datang ke sana. Dia hanya menebak sebuah pintu kamar yang tampak mewah. Ketika ia masuk ke dalam, benar saja ada Leon yang sudah terbaring di ranjang besarnya.

Pria itu memejamkan matanya, namun masih terjaga. "Kenapa malah ke sini?" gumamnya, ia tahun Anna yang datang.

"Aku membawakan obat, minum dulu sebelum tidur." balas Anna sambil meletakkan nampan di aras meja nakas di samping ranjang.

"Hemm.." Leon hanya bergumam lirih. Pria itu tidak punya tenaga untuk bangun.

Anna yang peka mengambil obat, lalu duduk di sebelah Leon yang terpejam. "Minum ini" menyodorkan obat ke arah mulut Leon.

Setelah itu, ia memberikan air hangat. Tidak lupa Anna membalut kening pria itu dengan handuk basah.