Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepanikan Besar
Aline tiba di depan rumahnya. Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Aline pulang naik motornya. Hujan masih mengguyur wilayah tersebut. Karena lupa membawa mantel hujan, baju Aline jadi basah kuyup.
Aline bergumam, sambil mencari kunci di tas.
"Rasanya malam ini panjang sekali. Aku sekarang hanya ingin mandi air hangat dan tidur."
Aline menyadari sesuatu. Pintu utama rumah, yang seharusnya terkunci, ternyata sedikit terbuka dan tidak tertutup rapat.
Dahi Aline berkerut, menahan pintu.
"Aneh. Aku ingat betul menguncinya tadi sebelum pergi ke luar. Apa Alice lupa?"
Aline mendorong pintu hingga terbuka. Cahaya lampu menyinari bagian dalam rumah.
Aline memanggil dengan nada mulai khawatir.
"Alice?"
Aline melangkah masuk. Ia terkejut. Ruang tamu berantakan beberapa bantal sofa terjatuh, majalah berserakan di lantai, dan vas bunga di meja samping terbalik.
"Apa yang terjadi di sini? Kaya... ada badai kecil. Alice!"
Aline bergerak cepat menuju kamar yang ia bagi bersama Alice. Semakin dekat, perasaannya semakin tidak enak.
Aline membuka pintu kamar. Kondisinya lebih parah dari ruang tamu. Sprei kasur sebagian terlepas, laci meja belajar sedikit tertarik keluar, dan sebuah buku jatuh terbuka di lantai.
Aline menarik napas tajam.
"Alice, ini bukan lelucon! Kamu ngerjain aku ya!"
Pandangan Aline tertuju pada jendela kamar yang menghadap taman belakang. Jendela itu terbuka lebar, menampilkan suasana hujan di taman belakang. Tirainya berkibar tertiup angin.
Aline berjalan ke jendela, menutupnya dengan panik.
"Pintu terbuka, jendela terbuka. Ada apa sih ini?" bingung Aline.
Aline berbalik. Matanya menyapu kamar, mencari petunjuk. Ia melihat sesuatu di atas meja rias.
"Tunggu."
Aline mendekat dan mengambil sebuah smartphone berwarna biru. Itu adalah ponsel Alice. Aline memegang HP Alice, menggenggamnya erat.
"Kalau dia pergi, dia pasti membawa ini. Dia tidak pernah meninggalkan ponselnya."
Aline berbalik, kembali ke ruang tamu sambil memegang ponsel Alice. Ia membuka tasnya, mengeluarkan ponselnya sendiri, dan mencoba menghubungi kepolisian 110.
Aline berbicara cepat, sambil menekan nomor 110 namun Alice menunda panggilan terlebih dulu.
"Aku harus mencari dia dulu. Jangan panik, Aline, jangan panik."
Rasa panik dan takut menghantamnya. Ia kembali menatap sekeliling rumah yang berantakan, dari pintu yang terbuka hingga jendela kamar yang tadi mengundang angin.
Aline setengah berbisik, lalu berteriak
"Alice! Di mana kamu?!"
Aline berlari ke dapur, lalu ke kamar mandi, mencari ke setiap sudut rumah yang terbuka. Rumah itu sunyi, hanya suara napas Aline yang terengah-engah yang terdengar. Alice tidak ada di mana pun.
Aline kembali ke kamar tidur, memegang ponselnya dan ponsel Alice.
"Oke. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah." ucap Aline.
Aline menatap ponsel Alice di tangannya, mencari tahu panggilan atau pesan terakhir. Ia harus tahu ke mana saudara kembarnya pergi.
Aline duduk di tepi ranjang yang berantakan. Ia memegang ponsel Alice di satu tangan dan ponselnya sendiri di tangan yang lain. Ia berusaha mencari petunjuk dari daftar kontak Alice.
Aline bergumam, memindai layar ponsel Alice.
"Dimas, Mia... Risa... mereka pasti tahu."
Orang pertama yang dihubungi oleh Aline adalah Dimas. Panggilan tersambung.
"Halo? Lin? Tumben telepon jam segini. Ada apa?"
"Dimas... Syukurlah kamu angkat. Maaf banget ganggu, tapi... ini gawat."
Dimas mulai merasa tidak enak.
"Gawat? Kenapa? Alice kenapa? Dia sama kamu, kan?"
"Itu dia masalahnya, Dim. Dia nggak ada."
Dimas bingung.
"Nggak ada gimana? Maksudnya dia lagi keluar? Kan dia sering ke kafe atau ke mall?"
"Bukan! Ini beda. Aku baru pulang dari bioskop dan dia nggak ada di kamar. Tas, dompet, kunci, semua masih di meja. Gak ada barang hilang. Jendela kamar kebuka banyak perabotan rumah berantakan."
Dimas kaget, suaranya naik satu oktaf.
"Ya ampun... Tapi dia... dia nggak kasih tahu kamu mau ketemu siapa atau pergi ke mana?"
"Nggak sama sekali. Dia cuma bilang mau santai di kamar setelah video call sama kamu sore tadi. Terakhir aku lihat dia sekitar jam tujuh sebelum aku pergi nonton film. Aku ajak dia tapi dia nggak mau."
"Tunggu, Lin. Jangan panik. Dia nggak sama aku. Aku lagi di luar kota buat urusan pernikahan aku dengan Alice. Aku sedang membahas ini sama keluargaku."
"Apa?! Kamu nggak sama dia?! Aku pikir dia tiba-tiba nyusulin kamu atau gimana. Dim, sebentar lagi kalian mau nikahan, dia nggak mungkin pergi tanpa kabar kayak gini!"
"Oke, oke. Tarik napas, Aline. Jangan panik. Kita harus tenang. Pertama, kamu coba cari lagi. Mungkin dia cuma di belakang rumah, atau di taman, atau lagi..."
"Udah, Dimas! Aku udah cari! Aku udah teriak-teriak di rumah!"
"Ok, gini. Aku akan segera balik ke sana. Besok aku pastikan aku udah sampai."
Aline mulai menangis lagi,
"Terus aku harus gimana sekarang, Dim?"
"Kamu jangan pergi dari rumah. Tetap di rumah kalau-kalau dia balik. Coba kamu telepon teman-teman dekatnya lagi, siapa tahu dia mampir ke sana tanpa bilang. Aku juga akan telepon beberapa teman dekatku yang mungkin Alice hubungi. Ingat, kuncinya tenang. Kalau sampai satu jam ke depan nggak ada kabar, kamu harus... kamu harus lapor ke polisi, Lin."
"Ok Dim, aku tunggu besok."
Aline kemudian mendial nomor Mia, salah satu teman dekat Alice, menggunakan ponselnya sendiri. Jantungnya berdebar kencang.
Aline menunggu,
"Buruan angkat dong Mia!"
Akhirnya telepon tersambung.
"Halo, Lin? Ada apa? Tumben telepon malam-malam? Buset udah jam berapa nih."
"Mia, Alice. Apa dia lagi bareng kamu?"
"Alice? Kaga. Dia bilang dia akan menghabiskan akhir pekan di rumah untuk persiapan pernikahan."
Aline menghela napas frustrasi.
"Rumah berantakan, dan dia menghilang. Pintu depan terbuka. Jendela kamar terbuka. Ponselnya ada di sini." tutur Aline.
"Aku enggak tahu. Aku benar-benar belum bertemu lagi sejak kelulusan. Coba hubungi Risa."
Aline memutuskan panggilan. Ia segera mendial nomor Risa. Tak berapa lama telepon ke Risa tersambung.
Aline bertanya ke Risa, suaranya lebih tegang.
"Risa, ini gawat. Alice hilang. Apa dia ke rumah kamu?"
"Alice? Tadi dia mengirimiku pesan sekitar jam makan siang. Dia bilang dia ada janji dengan Dimas lusa, padahal dia gak ke sini. Tunggu, sebentar. hilang gimana?"
"Aku baru pulang. Rumah terbuka. Kamar seperti habis digeledah. Ponselnya ada di sini. Aku panik, Ris!"
Aline memutusnya. Ia memegang kedua ponsel, matanya mulai berkaca-kaca.
Aline mengepalkan tangan.
"Gak ada. Gak ada yang tahu ke mana dia pergi, atau kenapa dia meninggalkan semuanya seperti ini."
Aline berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang berantakan, menatap pintu yang tadi terbuka. Ia menyadari situasinya sudah melampaui batas lelucon atau keteledoran.
Aline mengambil keputusan, dengan tekad.
"Ini bukan lagi mencari. Ini sudah kasus."
Aline mengambil ponselnya, membuka tombol darurat, dan mendial nomor kepolisian. Tangannya sedikit gemetar saat ponsel mulai berdering.
Panggilan tersambung
"Layanan Kepolisian, ada yang bisa kami bantu?
Aline mencoba menenangkan diri, tapi suaranya bergetar.
"Ya. Nama saya Aline. Saya melapor. Saya rasa... saudara kembar saya hilang."
"Baik, Nona Aline. Tenang. Bisakah Anda jelaskan situasinya?
"Saya baru pulang dari bioskop. Pintu utama rumah terbuka. Kamar tidur berantakan. Jendela kamar juga terbuka. Saudara saya, Alice, tidak ada di mana pun."
"Apakah ada tanda-tanda pencurian? Barang berharga hilang?"
"Saya belum periksa semua, tapi... dia meninggalkan ponselnya di kamar. Dia tidak akan pernah pergi tanpa ponselnya! Saya sudah menghubungi teman-temannya, enggak ada yang tahu dia pergi ke mana."
"Paham. Kami akan segera mengirim unit patroli ke alamat Anda. Mohon tetap di lokasi, Nona Aline. Bisakah Anda berikan alamat lengkap Anda?"
Aline memberikan alamatnya, matanya terus menyapu sekeliling rumah, berharap saudara kembarnya tiba-tiba muncul dari balik pintu dan mengatakan bahwa ini semua hanya lelucon. Namun, keheninganlah yang menjawab.
Aline berbisik, setelah menyebutkan alamat.
"Cepetan. Please cepetan ke sini."
Bersambung