Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku udah kaya
Aku luruh di balik pintu, memeluk lututku yang gemetar…
Air mataku jatuh tanpa suara, hanya dada yang sesak, seakan seluruh beban dunia bersandar di punggungku.
Dari balik pintu kamar, aku terduduk lemas.
Suara-suara itu terdengar jelas, mama mertua dan keluarga Pak Su mencoba menenangkan beliau...
Tapi bukan dengan kebenaran,
bukan dengan upaya menjernihkan suasana,
melainkan dengan membenarkan kemarahannya.
Mereka bilang, "Udah, udah, nggak usah dipikirin, dia udah nggak ada..."
Seolah aku ini hanya bayangan.
Tak satu pun dari mereka mencoba menengahi, atau mengingatkan beliau untuk istighfar,
atau sekadar menjelaskan bahwa aku tidak bersalah.
Padahal aku tidak memakai parfum apapun.
Tidak ada maksud menggoda siapapun,
tidak ada niat menyakiti.
Yang kulakukan hanya merawat,
mengabdi,
dan bertahan.
Tapi justru aku yang dihilangkan.
Dianggap penyebab dari keganjilan,
bukan korban dari keadaan yang sedang tak biasa.
Dan di balik pintu itu, hatiku perlahan luruh.
Bukan karena tak sanggup menghadapi,
tapi karena ternyata... aku sendirian.
Aku sendirian…
Di tengah keramaian yang katanya keluarga,
nyatanya hanya deru suara,
tanpa pelukan,
tanpa pembelaan.
Memang benar,
hubungan darah selalu punya tempat istimewa.
Meski salah, tetap dibela.
Meski menyakiti, tetap dimaklumi.
Tidakkah mereka tahu?
Tidakkah mereka faham?
Aku memang bukan siapa-siapa di sini mungkin di mata mereka,
Hanya menantu yang menumpang,
tapi di keluargaku…
aku adalah putri,
dilahirkan dengan cinta,
dibesarkan dalam pelukan kasih,
dijaga, dihargai, dan dimuliakan.
Bukan untuk dihina.
Bukan untuk direndahkan.
Apalagi untuk di babukan oleh luka yang bahkan tidak ku undang.
Aku bukan perempuan lemah,
tapi siapa yang kuat jika setiap hari dipatahkan,
dengan kata-kata yang mengikis harga diri,
dan perlakuan yang menodai kemanusiaan?
Ya Tuhan…
Dosa kah aku, jika aku lelah?
Jika hatiku mulai bertanya, sampai kapan aku harus bertahan…
Untuk seseorang yang bahkan tak lagi melihatku sebagai arti?
Aku berjuang sendirian dalam diam,
Menahan pedih yang tak bisa ku ceritakan pada siapa pun.
Mereka tak tahu, setiap malam aku nyaris runtuh.
Apa aku egois jika sesekali ingin di hargai?
Ingin didengar…
Ingin sekadar diyakini bahwa aku juga manusia, bukan sekadar penjaga yang tak boleh lelah?
Tapi...
Iman dalam dadaku berbisik lirih,
“Ayu… sabarlah, kuatlah… Suamimu sedang tak sadar, ini bukan dirinya…”
Dan kalimat itu cukup untuk menahan langkahku agar tak pergi.
Dan kini, aku memilih untuk bertahan bukan karena tak punya pilihan,
Tapi karena aku masih percaya…
Ada pahala yang Allah titipkan di balik luka yang ku pikul sendirian.
Aku diam…
Tapi bukan karena rela.
Aku bertahan…
Tapi bukan karena tak bisa pergi.
Hanya saja, aku masih menggenggam sisa iman,
yang berbisik lirih,
"Sabar, Ayu… semua ada balasannya, surga itu terjal jalannya."
Dan jika esok masih gelap…
Aku akan tetap menyalakan cahaya, meski dari hatiku yang hampir padam.
Aku biarkan diriku menangis…
Tak lagi ku tahan, tak lagi ku tepis.
Biarlah air mata ini tumpah,
bersama seluruh sesak yang tertahan di dada.
Bukan karena lemah,
tapi karena lelah tak kunjung reda.
Aku ingin jujur pada diriku sendiri,
bahwa aku pun manusia, yang punya batas rasa,
yang bisa luka,
dan bisa runtuh sewaktu-waktu.
Kubiarkan tangis ini jadi bahasa
saat semua kata sudah tak mampu menjelaskan,
ku biarkan ia mengalir,
semoga kepedihan yang mengendap ikut larut,
bersama bulir-bulir bening yang jatuh diam-diam.
Aku tak butuh dikasihani,
aku hanya ingin sesekali didengar,
dilihat…
dan dianggap layak untuk dihargai.
Hingga akhirnya, perlahan air mataku terhenti,
bersama luka yang mulai mengering meski masih menyisakan perih.
Aku sadar… aku kuat.
Aku tabah.
Aku putri dari seorang ibu hebat,
yang melahirkan ku bukan untuk menyerah,
tapi untuk berdiri tegar saat dunia berusaha menjatuhkan.
Aku di lahirkan untuk menjadi wanita tangguh,
yang tak akan tunduk pada hinaan,
yang tak akan roboh oleh luka,
yang tahu caranya bertahan, bahkan saat disalahkan tanpa alasan.
Aku tak akan menangis di depan mereka,
tak akan menunjukkan rapuhku,
karena air mataku terlalu berharga untuk disaksikan oleh mata yang tak peduli.
Biarlah mereka melihatku berdiri, diam-diam menguat,
meski di dalam aku sedang bertarung hebat.
Semua sudah ada perhitungannya,
tak ada satu pun yang luput dari pandangan-Nya.
Setiap luka, setiap air mata, setiap sabar yang kujalani,
akan kembali padaku dalam bentuk kebaikan yang tak pernah ku duga.
Aku percaya,
setiap orang akan menerima balasan sesuai dengan amal perbuatannya.
Dan aku,
tidak dibesarkan untuk tenggelam dalam penilaian atau hinaan orang lain.
Aku dididik dengan cinta dan harga diri,
bukan untuk remuk hanya karena mereka tak bisa menghargai,
bukan untuk rendah karena mereka mencoba merendahkan.
Aku tahu siapa diriku.
Dan itu cukup membuatku berdiri tegak,
tanpa harus membuktikan apapun kepada mereka.
Tak lama, mama mertua datang ke kamar.
“Yu, Ayu… udah tidur belum?”
“Belum, Ma…” jawabku pelan.
Beliau berdiri di ambang pintu, raut wajahnya datar, suaranya lembut tapi berat.
“Temenin Erik di depan ya… ganti baju dulu katanya.”
Aku diam sejenak, menelan bulat-bulat rasa perih yang belum sepenuhnya luruh.
Lalu mengangguk pelan.
“Ya, Ma…”
Udah gitu doang... Mama nggak bilang apa-apa lagi, coba bayangin, Besty.
Nggak ada kata maaf atas nama anaknya yang lagi senewen setelah kepalanya terbentur pohon kelapa.
Nggak ada terima kasih juga karena aku sudah mau merawatnya.
Atau setidaknya, ada kata penguat: “Sabar ya Yu… Kamu hebat, tetap tabah.”
Kadang yang paling kita butuhkan cuma itu, nggak muluk-muluk.. Cuma butuh penguatan mental yang kadang down, tapi malah nggak didapat.
Rasanya pingin banget aku tepuk tangan keras-keras buat satu keluarga ini, prok prok prok!
Hebat banget ya...
Aku nggak butuh lagi, serius. Aku udah kaya, Insyaa Allah.
Aku udah maafin meski nggak diminta.
Aku udah kasih segalanya, jiwa, raga, tenaga, pikiran.
Walau nggak dihargai nggak di bayar, walau nggak ada satu pun yang bilang "terima kasih" dari pihak keluarga Pak Su.
Bahkan di tengah malam penuh tragedi kayak sekarang, semua diem-diem aja.
Nggak ada yang tanggap, nggak ada yang peduli sama perasaanku.
Padahal di keluarga ini banyak perempuan,
tapi entah kenapa... solidaritasnya tuh nol besar.
Nggak ada empati, nggak ada pelukan penguat.
Seolah jadi perempuan di sini cuma dinilai dari seberapa kuat ngurus, bukan seberapa luka yang ditahan.
Lucunya, yang harusnya paling ngerti... malah paling diam.
Oke. Fine.
Keluarga toxic mah emang begitu.
Dan aku? Aku masih bertahan bukan karena mereka, tapi karena Allah.
Kadang, hidup memang cuma tentang melangkah lagi… meski lutut masih gemetar.