Tumbal (Di Angkat Dari Kejadian Nyata)
Erik tiba-tiba menatapku tajam, matanya menyala dengan emosi yang sulit ku artikan.
Aku yang sedang membalurkan tumbukan rempah ke tangannya, sontak terdiam.
"Bau apa ini? Kamu pakai minyak wangi apa?!" ucapnya, nada suaranya meninggi.
Lalu, tanpa jeda, ia melemparkan kalimat yang menusuk hati:
"Perempuan murahan..."
Sekujur tubuhku membeku. Bukan karena ucapannya semata,
tapi karena ketidak sangkaan ku, dari orang yang selalu ku bela, kini justru menyerang
Aku syok dengan kejadian ini. Tubuhku membeku di tempat, tak mampu bergerak sedikit pun.
Teriakannya yang kalap, amarahnya yang meledak-ledak, justru tidak membuatku lekas pergi.
Sebaliknya, aku malah terpaku seperti orang linglung.
Perlahan, dengan gemetar, aku mencoba mengendus bajuku sendiri.
Kucium bagian lenganku, dadaku, bahuku,
tapi aku tak mencium apa-apa.
Tak ada bau mencolok, tak ada wangi yang menusuk.
Hanya aroma rempah yang tadi ku genggam, sederhana, alami.
Lalu kenapa aku diperlakukan seperti ini?
Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.
Teriakan Erik masih menggema di seluruh ruangan, membuat udara terasa berat.
"Bu, dia bau minyak wangi laknat! Bau perempuan jalanan!"
"Usir dia, Bu! Jangan biarkan dia mendekat ke sini lagi!"
Setiap katanya menamparku lebih keras dari tamparan fisik.
Di hadapan ibunya, aku dihina tanpa belas kasihan, seolah-olah aku tak punya harga diri.
Aku hanya berdiri di sana, tubuhku kaku, mataku basah tapi belum menangis.
Bukan karena takut, tapi karena kecewa, dihancurkan oleh seseorang yang sangat aku percaya.
Tepukan lembut di bawah pundakku menyadarkan ku dari keterpakuan.
Sentuhan itu datang dari ibu mertuaku, tatapannya tak setajam Erik, tapi tetap sulit aku baca.
"Kamu mundur dulu, Nak. Ke ruangan lain ya... ganti baju dulu," ucapnya pelan, tapi tegas.
Tidak ada amarah, tapi juga tak ada pembelaan.
Aku hanya mengangguk pelan, tak sanggup berkata apa-apa.
Langkahku berat, tapi ku paksa bergerak, meninggalkan ruangan yang masih penuh dengan sisa teriakan dan luka yang belum sempat dijahit.
Di belakangku, Erik masih meluap-luap.
Emosinya tak terbendung, suaranya terus menggema.
Kata-katanya mengalir tanpa jeda, penuh sumpah serapah, tanpa saring, tanpa kendali.
Setiap langkahku menjauh, justru membuat suaranya terdengar makin tajam,
seolah ingin memastikan bahwa setiap kata kasarnya menancap dalam di telingaku, di hatiku.
Tapi aku tetap berjalan, meski lututku lemas,
karena aku tahu, bertahan di situ hanya akan membuatku hancur lebih cepat.
Aku menyeret langkahku pelan, tertatih hingga ke kamar anak-anakku.
Begitu pintu ku tutup, seluruh kekuatan yang ku paksakan sejak tadi runtuh seketika.
Aku terduduk lemas di lantai, punggung bersandar ke dinding.
Air mata yang sedari tadi mati-matian ku tahan, kini tumpah tanpa bisa dibendung.
Tak ada lagi yang bisa ku tahan, tak ada lagi yang harus ku kuatkan.
Di ruang ini, aku akhirnya jujur pada luka yang kubawa, sendiri, diam-diam.
*****
Aku terbangun dari tidur karena gigitan nyamuk yang sedang mengganas di kamar.
Ku lirik jam di dinding, pukul sebelas malam.
Kedua putraku masih tertidur pulas, meski beberapa bagian tubuh mereka sudah dipenuhi bentol-bentol merah.
Korban dari makhluk kecil yang satu ini, nyamuk.
Kecil, tapi ganas. Ras mungil paling menyebalkan di muka bumi,
yang bisa membuat tidur terganggu dan tangan sibuk garuk-garuk semalaman.
Aku segera mengecek obat nyamuk yang biasanya setia menjaga tidur kami.
Dan ternyata… dia pun sudah menyerah pada keadaan. Mati total.
Pantas saja, tubuh kami jadi santapan lezat bagi si makhluk mini itu.
Tak ada lagi penjaga malam, hanya kami yang tergeletak pasrah, jadi target empuk nyamuk lapar yang berjamaah.
Aku mencoba mencari korek untuk menyalakan obat nyamuk, berharap bisa sedikit mengurangi penderitaan malam ini.
Namun usahaku sia-sia.
Korek satu-satunya dibawa oleh suamiku.
Dia pergi selepas Maghrib, setelah mengaji, menuju villa milik saudaranya yang terletak di tengah sawah.
Katanya, hanya sebentar. Tapi hingga sekarang belum juga pulang.
Aku menghela napas pelan, menatap ruangan yang remang dengan aroma lembab dan suara nyamuk yang makin menjadi-jadi.
Dengan sisa tenaga dan mata yang masih berat, aku pun bangkit.
Mengendap-endap, memegang piring alumunium yang sudah aku olesi kedua sisinya dengan minyak jelantah bak memegang senjata suci.
Mata awas, telinga waspada, mengikuti suara khas "ngiiiiiiiing" yang menjengkelkan itu.
Satu... dua... zap!
Sedikit puas, walau tahu pasukan mereka tak pernah benar-benar habis.
Sesekali ku lirik anak-anakku yang masih tertidur, penuh bentol tapi tetap damai. Mereka masih terlelap, tak sadar bahwa ibunya sedang berjaga dalam hening,
melawan makhluk kecil paling gigih sejagat raya.
Kini aku sendirian di medan perang, tanpa perlengkapan tempur.
Dikelilingi nyamuk, dua anak kecil yang pulas tapi penuh bentol, dan pembasmi nyamuk ala kadarnya yang hanya bisa kupakai satu-satu, padahal musuhnya datang bergerombol.
Di ujung sisa tenagaku yang hampir terkuras habis melawan pasukan yang lebih ganas dari serigala, muncullah satu ide yang terasa seperti wahyu tengah malam.
Tanpa pikir panjang, aku segera menyambar kain kerudung, kupakai seadanya, asal kepala tertutup.
Dengan tangan kanan menggenggam obat nyamuk yang sudah terlalu lama vakum, aku melangkah keluar rumah.
Langkahku cepat, setengah lari, menuju arah suara obrolan para lelaki yang sedang bergadang di pondok belakang.
Dengan napas terengah dan wajah tanpa basa-basi, aku berdiri di hadapan mereka, lalu berkata:
"Aa… punten, ada korek? Mau pinjem korek, Aa."
Mereka menoleh serempak, sebagian kaget, sebagian menahan tawa,
sementara aku berdiri di sana, dengan gaya acak-acakan dan obat nyamuk di tangan, sebagai bukti bahwa ini bukan aksi iseng tengah malam, tapi perjuangan hidup.
Salah seorang dari mereka langsung tanggap. Ia meraih korek yang tergeletak di dekat termos kopi, lalu menyodorkannya padaku.
"Ada, ini teh... ini," katanya sambil tersenyum kecil, nada suaranya ramah, sedikit heran tapi tidak menghakimi.
Aku menerimanya cepat-cepat, sambil membungkuk pelan,
"Hatur nuhun, Aa..." ucapku lirih, antara malu dan lega.
Misi darurat malam itu, meminjam korek demi membasmi nyamuk, akhirnya berhasil.
Tak peduli tampilan acak-acakan dan tangan yang masih menggenggam obat nyamuk seperti bawa senjata tempur.
Yang penting… api sudah di tangan.
Akhirnya di sisa malam itu aku bisa tertidur walau tinggal di ujung waktu penghabisan sebelum adzan subuh berkumandang
Pagi itu seperti biasa, aku sibuk menyiapkan anakku untuk berangkat sekolah.
Alhamdulillah, semalam kami mendapat nasi kotak dari masjid yang belum sempat dimakan karena kedua anakku sudah tertidur lebih awal.
Aku mengukus kembali nasi kotak itu untuk menghangatkannya. Ikan dan kentang balado aku sisihkan rapi di samping nasi maklum, untuk menggorengnya ulang aku tak punya stok minyak di rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments