Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Mereka bukan hanya anak kamu tetapi anakku juga.
Dimas masih tergeletak di lantai, mencoba berdiri, tapi lututnya gemetar. Dirga mendekat perlahan, bukan terburu-buru, tetapi dengan langkah pasti seperti predator yang sudah mengunci mangsanya.
Anna mundur sedikit, ketakutan melihat keduanya. Dirga berhenti tepat di depan Dimas, membiarkannya merasakan tekanan dan ancaman dalam tatapan hitam itu.
“Kau sudah cukup banyak bicara,” kata Dirga dingin. “Sekarang giliran aku.”
Dimas menelan ludah keras-keras.
“Kapten … saya … tolong beri saya kesempatan...”
Dirga mencengkeram kerah Dimas, mengangkatnya cukup tinggi hingga ujung kaki Dimas hampir kehilangan pijakan.
“Kesempatan?” Dirga mendesis. “Setelah apa yang kau lakukan pada Anna? Setelah kau buang dia? Setelah kau paksa dia menjalani kehamilan sendirian? Setelah kau lakukan...”
Dirga berhenti, rahangnya mengeras. Sementara Dimas mulai kehilangan keberanian dan suaranya pecah.
“Itu … itu bukan salah saya, Kapten! Dia hamil anak laki-laki lain! Saya tidak mau...”
Dugh!
Dirga menghantamkan tubuh Dimas ke dinding koridor, membuat semua orang terlompat kaget. Anna memekik pelan, menutup mulutnya.
“Diam.”
Satu kata, dingin dan tatapannya mengerikan. Dimas terengah-engah.
“Ka-Kapten, saya bisa jelaskan, saya...”
Dirga memasukkan tangannya ke saku celana. Mengeluarkan secarik kertas lipat rapi. Hasil tes DNA sementara, Dimas membelalak. Dirga menatapnya lurus-lurus. “Aku tahu siapa ayah bayi yang kau buang itu.”
Dimas menggeleng cepat, panik. “A-aku tidak tahu apa yang Kapten...”
“Kau tahu.”
Dirga mendekatkan wajahnya, begitu dekat hingga Dimas tak bisa menghindar.
“Dan sekarang aku juga tahu.”
Kertas itu diselipkan Dirga ke dada Dimas. Bukan dilepas tetapi ditekan keras.
“Anak itu bukan anakmu,” bisik Dirga. “Tapi aku yakin … kau juga tahu itu dari awal.”
Dimas terdiam, mulutnya gemetar, mata Anna melebar, napasnya tercekat. Dirga melepaskan genggamannya. Dimas jatuh berlutut, memegang dada tempat kertas itu kini terselip.
Dirga tak menendang lagi dan juga tidak memukul. Namun tatapan itu cukup untuk membuat Dimas kehilangan separuh nyawanya.
“Pergi dari sini,” ucap Dirga tanpa menoleh, berjalan ke arah Anna. “Sebelum aku benar-benar membuatmu menyesal lahir ke dunia.”
Dimas bangkit terpincang, wajahnya pucat pasi, lalu melarikan diri di tengah tatapan ngeri orang-orang koridor rumah sakit. Dirga akhirnya berdiri di depan Anna. Ia menatapnya, lembut namun penuh beban.
Anna tidak bisa menahan air mata yang mengalir diam-diam.
“Kapten…” Suara Anna pecah.
Dirga menahan napas sejenak. “Aku ingin tahu semuanya dari awal, Anna. Tanpa ada yang kau sembunyikan lagi.”
Anna duduk di kursi tunggu koridor rumah sakit, wajahnya pucat, tangan gemetar. Pertengkarannya dengan Dimas masih berputar di kepalanya seperti badai yang tak mau reda. Air mata yang tadi ia paksa berhenti kembali merembes, tanpa ia sadari.
Kapten Dirga berdiri beberapa langkah di depannya, bersandar pada dinding. Rahangnya mengeras, matanya tajam mengawasi tiap perubahan emosi Anna. Namun, ia tak menyela. Tak memaksa dan hanya menunggu.
“Anna,” Dirga memanggil pelan ketika Anna mulai terduduk lemas. “Kamu bilang … kamu tidak ingat apa yang terjadi malam itu. Tapi ada sesuatu yang jelas mengganggu kamu.”
Anna menghela napas berat, suara di tenggorokannya tercekat.
“Kapten … aku … aku nggak pernah cerita ini pada siapa pun.”
Dirga mengangguk sekali. “Ceritakan saja, aku akan dengar.”
Anna menggigit bibir, lalu mulai berbicara pelan, seperti sedang menggali luka yang sudah ia kubur dalam.
“Malam itu … Mas Dimas mengajakku makan malam di hotel. Katanya dia baru pulang dinas, ingin menghabiskan waktu berdua.”
Ia tersenyum getir. “Aku bahagia … aku pikir kami akan memperbaiki hubungan.”
Dirga menahan napas, fokus sepenuhnya pada satu-satunya wanita yang tak pernah ia bayangkan akan ia temui dalam hidupnya.
“Tapi … setelah makan, kepalaku langsung pusing sekali. Dunia berputar, aku hampir nggak bisa lihat apa-apa.”
Anna menutup mata, tangannya mengepal di paha.
“Mas Dimas membawaku … aku nggak tahu ke lantai berapa. Aku cuma ingat suara lift dan bau karpet hotel. Lalu … dia menyeretku ke sebuah kamar.”
“Dia bilang itu kamar temannya,” bisik Anna lirih. “Tapi aku … aku sudah hampir nggak sadar.”
Dirga mulai merasakan sesuatu mencekik dadanya, tapi ia tetap diam.
“Seharusnya dia memasukkan aku ke kamar 999 … tapi dia malah salah masuk.”
Anna menatap kosong ke dinding seakan melihat kembali kejadian itu.
“Dia membuka pintu kamar 666…”
Dirga membeku sesaat menahan napasnya.
“Dia cuma … meninggalkanku di sana,” suara Anna pecah. “Aku ingat pintu tertutup, setelah itu … semua gelap.”
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, suara bergetar.
“Aku bangun pagi-pagi … sendiri … tanpa tahu apa yang terjadi. Dan Mas Dimas langsung menuduhku … selingkuh.”
Air mata Anna turun deras.
“Padahal aku nggak ingat apa pun, Kapten … sumpah aku nggak tahu apa yang terjadi malam itu…”
Dirga merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh perlahan. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia menghirup napas panjang, lalu berjalan mendekat dan berjongkok di depan Anna.
“Anna,” suaranya rendah tapi tegas, “yang terjadi padamu malam itu … bukan salahmu.”
Anna menatapnya, mata membengkak.
“Aku … aku takut, Kapten. Kalau memang benar aku … aku...”
“Cukup.” Dirga menghentikan, menatap langsung ke matanya. Wajah dinginnya dipenuhi kilatan marah, tapi bukan untuk Anna.
“Kalau seseorang menjebak kamu … kalau ada yang memanfaatkan kamu … kamu bukan pelakunya dan kamu hanya korban.”
Anna menggigit bibir, bahunya bergetar menahan tangis.
“Dan mulai sekarang,” Dirga menambahkan pelan namun sangat serius, “aku akan pastikan kamu tahu seluruh kebenaran malam itu.”
Di balik kata-katanya yang tenang, pikiran Dirga sudah berubah menjadi badai.
'Anna, yang tidak kamu tahu adalah, bayi kamu masih hidup. Dia bayi kembar yang kamu susui panti,' bisik Dirga.
'Mereka tidak hanya anakmu, tetapi anakku juga,'
Dirga lalu mengajak Anna kembali ke panti setelah merasa semua urusan di rumah sakit itu telah selesai. Dirga, akan membuat perhitungannya dengan Dimas nantinya.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕