Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.
Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Rencana busuk
Hari berikutnya, Felix mendatangi Edward dengan wajah penuh antusiasme. "Dia setuju! Sarah setuju bergabung!"
Edward mengangkat alis. "Syaratnya?"
"Dia mau ngobrol langsung sama kamu," kata Felix. "Dia bilang dia mau tahu apakah otakmu sehebat yang dibilang orang-orang."
Mereka menemui Sarah di taman sekolah saat jam istirahat. Sarah berbeda dari yang Edward bayangkan. Dia tidak memakai kacamata, dan pakaiannya rapi namun fungsional. Yang paling menonjol adalah matanya—tajam, terlihat cerdas, dan selalu waspada, seolah-olah terus menganalisis lingkungan sekitarnya.
Dan sepertinya dia sedang membaca buku filsafat berbahasa Jerman.
"Jadi ini Edward," kata Sarah tanpa menatap Edward, matanya masih tertuju pada bukunya. "Felix bilang kamu bahkan bisa membuat orang semenyebalkan Bara diam. Tapi banyak orang bisa melakukan itu. Pertanyaannya adalah bisakah kamu memenangkan perang ?"
Edward tidak terganggu dengan sikapnya yang dingin. Dia menyadari ini adalah tes.
"Perang tidak dimenangkan dengan satu orang," jawab Edward singkat. "Felix adalah teknisi kita. Dia akan memastikan kita punya akses informasi tercepat dan infrastruktur digital yang solid. Kamu adalah ahli strategi dan debat kita. Otakmu adalah ensiklopedia kita. Aku adalah analis. Aku akan memproses semua data, menemukan pola, dan merumuskan strategi inti."
Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. "Kombinasi kita efisien. Fokus kita adalah kemenangan, bukan popularitas. Itu saja."
Sarah akhirnya menutup bukunya dan menatap Edward langsung. Selama beberapa detik, tidak ada yang berbicara. Dia menganalisis Edward, sama seperti Edward menganalisisnya.
"Bagus," kata Sarah akhirnya, sebuah senyum kecil dan langka muncul di wajahnya. "Aku benci membuang waktu. Kita mulai latihan hari ini juga."
Tim mereka resmi terbentuk. Tiga orang dengan tiga spesifikasi berbeda, disatukan oleh satu tujuan: kemenangan.
Malam itu, setelah sesi latihan pertama yang intens, Edward merasa butuh lebih dari sekadar latihan. Dia butuh fondasi pengetahuan yang lebih dalam. Academic Decathlon bisa menanyakan apa saja, dari sejarah kuno hingga teori kuantum terbaru.
Layar sistem muncul seolah-olah membaca pikirannya.
**Misi Investasi: Fondasi Pengetahuan**
**Deskripsi:** Seorang jenderal tidak bisa berperang tanpa peta. Sebuah tim akademis tidak bisa menang tanpa akses ke gudang informasi. Pengetahuan adalah aset paling berharga.
**Tugas:** Beli akses berlangganan satu tahun ke "Global Academic Archive", sebuah database online jurnal ilmiah, makalah penelitian, dan buku referensi dari seluruh dunia.
**Biaya Langganan: Rp 15.000.000
**Waktu:** 24 Jam
**Hadiah:**
- Skill: [Memori Asosiatif (Level 1)] - Kemampuan untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada, menciptakan jaringan pemahaman yang instan dan tak terlupakan.
- Penggandaan Uang (acak, minimal 2x)
**Gagal:** Tim Anda akan memiliki kekurangan informasi krusial saat kompetisi.
Edward tidak ragu. Rp 15 juta adalah harga yang mahal, tapi ini adalah investasi langsung untuk misinya. Dia membuka laptop barunya, menemukan situs "Global Academic Archive", dan melakukan pembayaran dengan kartu debitnya.
Saat konfirmasi pembayaran muncul, ponselnya bergetar.
[Transaksi terdeteksi: Rp 15.000.000]
[Penggandaan acak: x2.5]
[Total pengembalian: Rp 37.500.000]
[Transfer ke rekening sistem Host... Selesai.]
`Saldo saat ini: Rp 84.130.000`
Edward tersenyum. Uangnya terus bertahap, dan setiap pengeluaran terasa seperti menanam benih yang akan tumbuh menjadi pohon yang lebih besar. Dia membuka situs arsip tersebut, memasukkan detail loginnya, dan terpana. Dia sekarang memiliki akses ke hampir seluruh pengetahuan manusia yang terdokumentasikan.
Skill `Memori Asosiatif` langsung aktif. Saat dia membaca sebuah judul makalah tentang ekonomi behavioral, otaknya secara otomatis menghubungkannya dengan konsep psikologi yang pernah dia baca, teori probabilitas, dan bahkan sebuah peristiwa sejarah tentang keruntuhan pasar saham. Informasi itu tidak lagi menjadi data terpisah, tapi menjadi bagian dari jaringan pengetahuan yang utuh di dalam otaknya.
***
Di sisi lain kota, Bara sedang berada di sebuah kafe eksklusif dengan seorang pria bertato yang terlihat lebih tua. Pria itu adalah seorang programmer bayaran.
"Jadi, ini programnya," kata pria itu, mendorong sebuah laptop ke arah Bara. "Sudah aku adaptasi untuk sistem jaringan sekolah kalian. Ini bukan virus, jadi tidak akan ketahuan oleh antivirus standar. Ini hanya... sebuah 'gangguan'."
Bara tersenyum puas. "Gangguan seperti apa?"
"Kamu bisa pilih tim mana yang mau diganggu. Misalnya, tim Edward. Saat babak kuis cepat, program ini akan mengirimkan sinyal gangguan ke laptop atau tablet mereka. Bisa bikin layarnya freeze tiga detik, atau tombol jawabannya jadi tidak responsif. Tiga detik di kuis cepat itu selamanya, Bos."
Bara tertawa. "Sempurna! Aku mau mereka frustrasi. Aku mau mata semua orang tertuju pada mereka saat mereka gagal menjawab pertanyaan paling gampang sekalipun."
"Aman, kan?"
"Aman sekali. Tidak ada jejak. Kalau-kalau ada yang curiga, yang salah ya sinyal Wi-Fi sekolah yang jelek," kata pria itu sambil menyeringai.
Bara menutup laptop, lalu menyerahkan sebuah amplop tebal kepada pria itu. "Kerja bagus. Tunggu kabar aku setelah kompetisi selesai."
Dia mengeluarkan ponselnya, membuka grup chat dengan timnya. `Rencana sudah oke. Persiapkan diri kalian untuk pertunjukan terhebat. Kita akan membuat Edward dan tim kutu bukunya menjadi lelucon sekolah.`
Di perpustakaan sekolah, Aurora duduk di meja biasanya, membaca sebuah novel klasik. Pandangannya sesekali bergerak ke meja di sudut ruangan, di mana Edward, Felix, dan Sarah sedang duduk berdekatan. Mereka tidak banyak bicara. Edward menunjuk sesuatu di laptopnya, Felix mengangguk dan mengetik cepat, sementara Sarah menggeleng dan menunjuk ke sebuah buku tebal di sampingnya.
Mereka bekerja seperti mesin yang sudah disetel dengan sempurna. Efisien.
Kemudian, pandangannya beralih ke lantai bawah, di mana Bara dan gengnya tertawa terbahak-bahak sambil menonton video di ponsel. Aurora bisa merasakan energi negatif yang memancar dari mereka, sebuah energi yang penuh dengan niat jahat dan kepuasan yang dangkal.
Dia menutup bukunya perlahan. Dia tidak tahu apa rencana Bara, tapi dia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan dia tahu Edward adalah targetnya.
Aurora tidak ikut campur. Bukan karena tidak peduli, tapi karena ini adalah ujian. Dia ingin melihat bagaimana si "jenius" itu akan menghadapi serangan yang tidak bisa diatasi dengan logika atau kecerdasan biasa.
Dia ingin melihat apakah Edward hanya seorang ahli strategi di atas kertas, atau seorang jenderal sejati yang bisa bertahan dalam perang kotor.
Dengan tenang, Aurora membuka kembali bukunya, tapi telinganya tetap waspada. Pertunjukan akan segera dimulai, dan dia tidak akan melewatkan satu detik pun.
'Tapi entah kenapa aku malah merasa kasihan pada Bara. Semoga dia tidak menangis saat di kalahkan nanti '