NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 12

Kesuksesan merchandise membuka mata Kael tentang potensi bisnis yang lebih luas. Animasi bukan hanya soal tayangan di TV, ada ekosistem yang lebih besar yang bisa mereka bangun, merchandise, komik, bahkan pertunjukan live jika suatu saat mereka punya dana untuk itu.

Tapi sebelum melangkah lebih jauh, ada satu hal yang harus ia benahi, sistem produksi mereka masih terlalu bergantung pada dirinya. Kalau ia sakit atau tidak bisa kerja, semuanya akan kacau. Ia harus mulai mendelegasikan lebih banyak tanggung jawab.

"Mas Dimas, mulai bulan depan gue mau lu handle semua supervisi karakter. Lu yang approve final design, lu yang cek konsistensi di setiap frame. Gue percaya sama lu." Kael mengumumkan saat meeting pagi di lantai dua, suaranya tegas tapi penuh kepercayaan.

Dimas menatap Kael dengan tatapan terkejut. "Gue? Tapi... Kael, lu yang paling ngerti soal timing sama konsistensi."

"Makanya gue mau lu belajar. Lu udah cukup lama di sini. Lu tau apa yang gue mau. Sekarang saatnya lu ambil tanggung jawab lebih besar. Gue akan tetep review hasil akhir, tapi proses harian lu yang handle." Kael menjelaskan sambil menatap Dimas dengan tatapan yang mendorong, tidak memberi ruang untuk ragu.

Dimas terdiam sejenak. Lalu ia mengangguk pelan. "Oke. Gue coba. Tapi kalau gue salah, lu harus kasih tau langsung ya."

"Pasti. Kita belajar bareng." Kael tersenyum, lalu beralih ke Rani. "Ran, lu juga. Mulai sekarang lu handle semua background dan art direction. Lu yang tentuin color palette setiap episode, lu yang pastiin mood visual konsisten. Sari jadi asisten lu."

Rani mengangguk dengan senyum yang bercampur gugup. "Gue siap. Makasih udah percaya sama gue, Kael."

"Gue gak cuma percaya. Gue tau lu bisa." Kael menjawab dengan tulus, membuat Rani tersenyum lebih lebar.

Dengan delegasi yang lebih jelas, Kael punya lebih banyak waktu untuk fokus pada hal-hal yang lebih strategis, mencari peluang bisnis baru, membangun networking dengan orang-orang penting di industri, dan yang paling penting, mulai memikirkan proyek yang lebih besar.

Suatu siang, Kael duduk sendirian di warung kopi langganan mereka, membaca koran sambil minum kopi pahit. Matanya tertuju pada iklan kecil di pojok halaman, festival animasi regional yang akan diadakan di Singapura enam bulan lagi. Kategorinya terbuka untuk animasi TV dan film pendek.

Pikirannya langsung berputar. Ini adalah kesempatan untuk membawa Studio Garasi ke panggung internasional atau setidaknya regional. Tapi untuk ikut festival, mereka butuh karya yang lebih kuat, lebih ambisius dari episode TV biasa.

Film pendek. Durasi lima belas sampai dua puluh menit. Cerita yang lebih dalam, animasi yang lebih detail, dan produksi value yang lebih tinggi.

Ia langsung kembali ke studio dengan semangat yang membara. "Guys! Meeting sekarang! Semua kumpul!"

Mereka semua berkumpul di lantai satu dengan wajah bingung. Kael berdiri di depan dengan koran yang masih terbuka di halaman iklan festival.

"Kita akan bikin film pendek. Dua puluh menit. Target selesai lima bulan dari sekarang. Kita submit ke festival animasi di Singapura." Kael mengumumkan dengan nada yang tidak memberi ruang untuk debat, matanya berbinar dengan visi yang sudah jelas di kepalanya.

Hening. Mereka saling pandang dengan ekspresi shock.

Agus yang pertama bereaksi. "Mas Kael, serius? Film pendek dua puluh menit itu butuh ribuan frame. Belum lagi kualitasnya harus lebih tinggi dari episode TV. Apa kita sanggup?"

"Kita sanggup. Kita punya lima bulan. Kita bagi timeline dengan ketat. Episode TV kita delegasikan lebih banyak ke Agus dan Sari. Kita founding members, fokus ke film pendek. Ini kesempatan kita untuk naik level." Kael menjelaskan dengan detail, tangannya menggambar timeline kasar di papan tulis yang sudah penuh dengan notes produksi.

"Ceritanya tentang apa?" tanya Rani dengan nada penasaran yang mulai tertarik.

Kael tersenyum. "Cerita rakyat. Tapi bukan yang mainstream kayak Malin Kundang atau Tangkuriang. Kita ambil cerita yang hampir terlupakan. Cerita tentang... penjaga hutan dan anak yang memberikan dia kembali arti kehidupan."

"Itu... itu bagus. Temanya kuat. Universal tapi tetep Indonesia." Dimas berkomentar sambil mengangguk, pikirannya sudah mulai membayangkan visual yang bisa mereka ciptakan.

"Tapi kita butuh research yang lebih dalam. Kita harus ke desa, wawancara orang tua, rekam suara hutan asli. Gak bisa asal bikin." Kael menambahkan sambil mencatat poin-poin penting di papan tulis, semangatnya menular ke seluruh ruangan.

"Berapa budget yang kita butuh?" tanya Budi dengan nada praktis, selalu yang paling realistis di antara mereka.

Kael berpikir sejenak. "Kalau kita hemat, sekitar lima juta. Untuk research trip, material produksi yang lebih bagus, dan biaya submit festival."

"Kita punya segitu?" tanya Dimas dengan nada ragu.

"Belum. Tapi kita bisa kumpulin dari income lima bulan ke depan. Kalau kita disiplin manage keuangan, kita bisa." Kael menjawab dengan nada yakin yang membuat keraguan di ruangan itu mulai mencair.

Rani berdiri, menatap Kael dengan tatapan yang penuh tekad. "Gue ikut. Ini kesempatan besar. Kita gak boleh sia-siain."

Satu per satu, mereka semua mengangguk. Bahkan Agus dan Sari yang baru beberapa bulan bergabung, merasa terpanggil untuk ikut terlibat dalam proyek ambisius ini.

"Oke. Mulai besok, kita start pre-production. Gue akan bikin outline cerita, Dimas bikin character design awal, Rani research visual reference. Kita kumpul lagi akhir minggu untuk finalisasi konsep." Kael membagi tugas dengan jelas, tidak ada yang terlewat.

"Judul filmnya apa?" tanya Sari dengan suara pelan tapi penasaran.

Kael tersenyum. Sang Penjaga. Tentang penjaga hutan yang terlupakan, dan anak yang mengingatkannya mengapa ia harus terus menjaga."

Judulnya sederhana tapi punya makna dalam. Mereka semua merasakannya, ini bukan hanya film tentang karakter fiksi. Ini film tentang mereka semua, tentang menjaga mimpi, menjaga visi, dan menjaga satu sama lain di tengah tantangan yang semakin berat.

Akhir pekan, Kael, Dimas, Rani, dan Budi pergi ke desa di pinggiran Bogor, tempat yang masih punya hutan kecil dan tradisi lokal yang masih hidup. Mereka menginap di rumah penduduk yang sederhana, tidur di kasur tipis di lantai, dan makan nasi dengan lauk seadanya.

Tapi pengalaman itu memberikan mereka sesuatu yang tidak ternilai, inspirasi yang autentik. Mereka berjalan di hutan kecil dengan dipandu seorang kakek tua yang dulu bekerja sebagai penjaga hutan. Kakek itu bercerita tentang bagaimana dulu hutan ini lebih luas, lebih hijau, dan bagaimana sekarang banyak yang sudah ditebang untuk pembangunan.

"Hutan itu hidup, Nak. Dia punya jiwa. Kalau kita rawat dengan baik, dia akan kasih kita kehidupan. Tapi kalau kita rusak, dia akan pergi... dan kita akan kehilangan lebih dari sekadar pohon." Kakek itu berbicara dengan suara pelan tapi penuh kebijaksanaan, matanya menatap jauh ke dalam hutan yang mulai menipis.

Kael merekam setiap kata kakek itu dengan tape recorder. Kata-kata itu akan menjadi fondasi filosofis dari film mereka, bukan hanya tentang lingkungan, tapi tentang tanggung jawab, tentang mengingat apa yang penting, dan tentang tidak melupakan akar kita.

Malam itu, mereka duduk di teras rumah penduduk, menatap langit penuh bintang yang tidak pernah terlihat di Jakarta. Rani menggambar sketsa suasana hutan yang ia lihat siang tadi, Dimas mencatat karakteristik kakek penjaga hutan yang bisa ia adaptasi untuk karakter utama, dan Budi merekam suara malam, jangkrik, angin, dan sesekali suara burung hantu.

"Ini yang gue mau. Film kita harus punya jiwa kayak gini. Autentik. Real. Bukan cuma gambar cantik, tapi ada pesan yang nyentuh hati." Kael berbicara sambil menatap bintang-bintang, suaranya pelan tapi penuh keyakinan yang membuat semuanya merasa bahwa mereka sedang mengerjakan sesuatu yang benar-benar penting.

"Gue udah kebayang visualnya. Warna-warna natural, gerakan yang slow tapi penuh emosi, musik yang minimal tapi powerful." Rani menambahkan sambil terus menggambar, tangannya bergerak dengan cepat menangkap inspirasi sebelum hilang.

"Gue akan bikin soundtrack dengan campuran angklung dan suara alam. Biar kerasa... kehidupan." Budi ikut memberikan ide sambil mendengarkan kembali rekaman suara malam yang baru saja ia buat.

Kael tersenyum lebar. Ini adalah tim yang ia impikan, orang-orang yang tidak hanya bekerja untuk uang, tapi bekerja karena mereka percaya pada sesuatu yang lebih besar. Mereka tidak hanya membuat film, mereka sedang menyampaikan pesan, menyentuh hati, dan semoga bisa membuat perubahan kecil di dunia.

Kembali ke Jakarta, mereka mulai produksi dengan semangat yang baru. Episode TV reguler tetap berjalan dengan Agus dan Sari yang semakin mandiri, sementara Kael, Dimas, Rani, dan Budi fokus pada Sang Penjaga.

Lima bulan ke depan akan menjadi ujian terberat mereka. Tapi mereka siap, siap untuk menunjukkan kepada dunia bahwa animasi Indonesia bisa bersaing di panggung internasional, siap untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya studio kecil dengan mimpi besar, tapi studio yang punya karya nyata yang bisa dibanggakan.

Dan di studio kecil di Rawamangun itu, di bawah lampu neon yang sedikit berkedip dan di atas lantai keramik yang retak, mimpi itu mulai berbentuk, frame demi frame, hari demi hari, dengan keringat, air mata, dan cinta yang tak terbatas.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!