NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:49
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Kalung dan Karnaval Jiwa

Sebelum semua ini—sebelum bau garam dan ikan, sebelum rumah batu Livia, sebelum Rafael—ada sebuah kehidupan yang dibungkus oleh beludru dan kemewahan. Kilas balik itu menyergap Serafina seperti hantu yang manis sekaligus menyiksa.

FLASHBACK : ROMA, ITALIA

“Papà! Papà!”

Serafina kecil, berusia sepuluh tahun, berlari menyambut Leonardo Romano yang baru saja pulang. Kaki mungilnya melayang di atas karpet Persia yang tebal dan senyap, terlalu sering tersandung dan terluka tapi dia tetap tersenyum saat menyadari Papà pulang kerja.

Leonardo, dengan wajah yang biasanya dikeraskan oleh urusan-urusan gelapnya, selalu meleleh saat melihat putri semata wayangnya. Dari balik jasnya yang mahal, dia selalu menyembunyikan hadiah. Sebuah boneka berambut sutra dari Florence, atau gaun pesta yang diimpor khusus dari Paris.

“La mia principessa,” gumannya, mengangkatnya ke udara. “Apa kabar putri Papà hari ini?”

*Putriku

Dan yang terakhir, beberapa bulan sebelum dunia Serafina runtuh.

“Papà, lihat! Nilai ujian akhirku!” Serafina yang berusia sembilan belas tahun melambaikan selembar kertas dengan nilai nyaris sempurna. “Aku bisa masuk Universitas mana saja yang aku mau! Mungkin Bisnis, atau mungkin Seni?”

Leonardo memeluknya erat, bangga. “Apapun yang kau pilih, Bella. Papa akan pastikan kau mendapatkan yang terbaik.” 

Saat itu, pelukan itu terasa seperti benteng yang tak tergoyahkan. Dia adalah Serafina Romano, putri yang disayangi, pewaris yang diakui. Dia tidak tahu bahwa benteng itu dibangun di atas fondasi kebohongan yang rapuh.

KEMBALI KE MARELUNA—SAAT INI

Kilas balik itu hancur berkeping-keping oleh rasa sakit yang tajam dan nyata di kakinya. “RAFAAAAEL!”

Teriakannya memecah kesunyian tebing. Kaki Serafina, yang telanjang dan sudah lecet-lecet, menjejak tanah keras dan batu padang rumput. Dia tidak lagi berlari di atas karpet yang empuk, tetapi melintasi rumput liar dan bebatuan yang melukai telapak kakinya yang halus. Darah mulai membasahi tanah, tapi dia tidak peduli. Dia melupakan segalanya—Elio yang memanggilnya dari belakang, Mila yang kebingungan, dunia sekitarnya.

Dia berlari menuruni tebing, menyusuri jalan aspal yang panas meski sudah petang, menerobos kerumunan orang di pelabuhan yang masih terpana. Matanya hanya tertuju pada satu titik. 

Sosok yang berdiri goyah di antara para nelayan.

Dan kemudian, dia sampai.

Dengan kaki yang berdarah dan napas yang tersengal, tubuhnya yang ringan itu menabrak, merengkuh, dan akhirnya melekat pada tubuh Rafael yang kotor, kurus, dan nyaris tak dikenali. Pelukannya begitu erat, seolah takut jika dia melepaskannya, Rafael akan hilang lagi menjadi asap.

“Kau kembali ... kau benar-benar kembali…” 

Isakannya histeris, pecah, melepaskan semua kesedihan, ketakutan, dan kerinduan selama empat hari yang terasa seperti abadi. Air matanya membasahi bahu Rafael yang hanya berdiam, tubuhnya terlalu lemas untuk membalas pelukan, tapi kepalanya yang terkulai menempel pada kepala Serafina.

Para warga yang menyaksikan tercekat, lalu satu per satu mereka berbisik, berdoa, ada yang menitikkan air mata syukur. Suasana haru melanda pelabuhan. 

Rosa, dengan wajah basah oleh air mata, mendekat dan dengan lembut membimbing tubuh anak lelakinya yang nyaris rubuh itu. “Ayo pulang, anakku,” bisiknya, suaranya bergetar.

Rafael dibimbing untuk duduk di sofa. Setiap gerakan terlihat menyakitkan. Dia mengerang pelan saat tubuhnya menyentuh kain sofa, dan dengan susah payah menyandarkan kepalanya.

Rosa, setelah memastikan anaknya duduk, matanya tertuju pada kalung sederhana dengan liontin jangkar yang kembali tergantung di leher Rafael yang kotor. Amarah dan kelegaan bertempur di wajahnya.

“Kenapa?” desisnya. “Untuk liontin itu ... kau hampir kehilangan nyawamu!”

Rafael mengangkat pandangannya yang lelah. Mata hijau keabu-abuannya, meski redup, masih memancarkan keteguhan. “Itu hadiah pertamamu untukku sebagai dewasa, Mamma,” jawabnya lemah. “Aku tidak bisa membiarkannya hilang.”

Rosa menangis, tidak lagi marah. Dia memeluk leher Rafael, berhati-hati untuk tidak menyentuh lukanya. “Stupido ragazzo ... il mio stupido, coraggioso ragazzo…”

*Bocah bodoh ... bocahku yang bodoh dan pemberani...

Rafael menggenggam jari-jari Rosa yang bergetar. “Aku baik-baik saja, Mamma. Lihat? Aku sudah pulang.”

“Kau tidak baik-baik saja!” bantah Rosa, melihat tubuhnya yang lusuh dan luka di tangannya yang dibalut gips darurat. “Empat hari ... apa yang kau makan? Apa yang kau lakukan di luar sana?”

Pertanyaan itu membawa Rafael kembali ke dalam ingatannya. Matanya memandang kosong ke depan, seolah menatap sesuatu yang hanya bisa dilihatnya.

...🌊🌊🌊...

Dia terbangun di atas pasir, tubuhnya sakit sekali. Garam membakar setiap luka terbuka. Kabut laut menyelimuti pantai kecil yang tersembunyi di balik tebing itu, membuat segalanya tampak seperti dunia mimpi yang samar. Yang dia ingat hanyalah sensasi kalungnya terlepas, dan dorongan nekad untuk menyelam menyusulnya.

Dengan luka di tangannya yang dalam dan berdarah, dia berjalan tertatih menyusuri garis pantai. Pasir basah membekas di jejak kakinya yang tidak stabil. Di sela-sela kabut, dia seolah mendengar bisikan laut.

“Mareluna,” bisiknya pada ombak yang menyapu kakinya, suaranya serak. Dia memandang laut bukan sebagai musuh, tapi sebagai entitas yang hidup. “Kau mengambil begitu banyak hal. Tapi kembalikanlah yang satu ini padaku.”

Hari-hari berlalu dalam kabut yang tak jelas. Dia mencari, menggali dengan tangan yang terluka, bertahan dengan apa pun yang bisa dia temukan—kerang, air hujan yang dia tampung. Tidurnya dihantui oleh dinginnya malam dan teriknya matahari. 

Mimpi dan kenyataan bercampur. Dia seperti seorang pelaut yang terdampar, berbicara pada angin dan ombak, memohon pada jiwa laut yang dia percayai untuk mengembalikan harta satu-satunya.

Dan kemudian, pada suatu pagi, di bawah sinar matahari yang menembus kabut, dia melihatnya. Sebuah kilau samar tersembunyi di antara rumput laut dan batu karang. Kalung itu. Liontin jangkarnya masih utuh.

Tapi, euforia itu segera digantikan oleh keputusasaan. Dia terjebak. Tebing di sekelilingnya terlalu curam untuk didaki dalam keadaannya. Satu-satunya jalan adalah laut, dan laut itu masih terlalu berbahaya untuk ditaklukkan dengan berenang. Jadi dia menunggu. Merawat lukanya sebisanya, bertahan hidup, dan berharap.

Hingga hari ini, sebuah kapal nelayan yang jarang melintas di area itu kebetulan melihat asap dari api kecil yang dia buat sebagai sinyal.

...🌊🌊🌊...

“Lalu ... mereka menemukanku.” Rafael mengakhiri ceritanya dengan suara lirih, kelelahan.

Rosa memeluknya lagi, tak henti-hentinya mengusap rambutnya. Serafina, yang duduk di samping Rafael, hanya bisa memandangnya dengan perasaan campur aduk—sedih, lega, dan cinta yang dalam. 

Tanpa sadar, tangan Rafael yang tidak terluka bergerak, jari-jarinya yang dingin dan lemah menemukan tangan Serafina dan menggenggamnya dengan pelan. Sebuah sentuhan yang mengatakan lebih dari ribuan kata.

Lalu, mata Rafael beralih ke sudut ruangan. Melihat Mila yang bersembunyi di balik kaki Matteo, wajah kecilnya penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran.

“Mila,” panggilnya, suaranya berusaha lembut. “Kemarilah.”

Mila tidak perlu disuruh dua kali. Dia berlari kecil dan menghampiri Rafael, menghindari lengan yang di-gips. “Apakah sakit?” tanyanya, mata besarnya berlinang.

Rafael menggeleng, mencoba tersenyum. “Tidak. Gipsnya keras. Seperti batu.”

Senyum kecil itu, meski lemah, adalah karnaval bagi hati mereka semua. Setelah kegelapan, seberkas cahaya akhirnya menembus. Rafael telah kembali, dan meski luka-luka, nyawanya tetap utuh. Laut mungkin telah mengambilnya untuk sementara, tetapi akhirnya, ia mengembalikannya.

...🌊🌊🌊...

“Tidur yang serius, Serafina,” katanya, mencoba terdengar tegas. “Kecuali kau ingin membuat bayi sekarang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!