Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mutiara, Bukan Tiara!
Couzy adalah kedai burger dan pizza yang paling mahal dan paling terkenal di Arvenia. Tempat anak-anak muda berkumpul, bergaul, dan bersenang-senang. Irfan memilihnya sendiri, berharap Mutiara nyaman dan menerima dirinya.
"Pasti Mutiara suka makan di tempat seperti ini." Sebersit pun Irfan tidak pernah berpikir kalau Sania bisa membelikan anaknya makanan enak. Kalau pun bisa pasti tidak sesering dirinya. "Ini permulaan biar tidak syok ke depannya. Jika langsung ke resto mewah, aku khawatir dia tidak nyaman dan terkesan pamer."
Irfan tanpa sadar masih terpaku dengan pemikiran kalau Sania masih sama dengan Sania yang menjadi istrinya dulu. Hanya sedikit lebih terawat karena dia harus memanjat kasta sosial.
Robert Denver bukan pria yang berkuasa di satu negara saja, tapi dia punya harta tak terhitung jumlahnya di lebih dari 10 negara. 15 kalau Irfan tidak salah ingat. Dari kakek dan nenek buyut hingga orang tua Rob tidak ada yang tidak memiliki kekayaan fantastis. Bahkan sampai ke 10 generasi ke depan, mereka akan berkecukupan tanpa harus bekerja keras.
Entah bagaimana ceritanya mereka bisa sekaya itu, tapi pasti ada cerita kelam yang disembunyikan oleh mereka. Namun, Irfan tidak punya urusan dengan hal itu sekarang. Itu urusan nanti jika keadaan berkembang menjadi buruk.
Meski tadi dia melihat sendiri, Sania benar-benar berusaha mendekati Rob dan Rob pasti tidak akan menolak wanita secantik Sania. Namun, pria kuat seperti Rob, tidak akan menjadikan janda beranak seperti Sania sebagai istrinya. Sekeras apapun usaha Sania.
Tunggu—
Siapa bilang Sania cantik tadi? Irfan menoleh ke kiri. Dan baru sadar kalau dia mengakui kecantikan Sania sekarang. Benar, dia sering melamun dan tenggelam memikirkan Sania belakangan ini.
Irfan menghembuskan napasnya perlahan. "Pasti karena urusan Mutiara, aku jadi terus kepikiran gimana caranya biar Mutiara mau ikut aku tanpa kekerasan, tanpa banyak drama dengan Sania. Itu sebabnya Sania juga ikut masuk dalam pikiranku."
"Kekerasan apa?!"
Irfan tersentak, berdiri cepat dan gelagapan ketika melihat Sania mendadak muncul di depannya. "Oh, itu ... bukan apa-apa, hanya sedang memikirkan sesuatu—apa kau dengar semuanya?"
Ya ampun. Sania hanya bisa berkedip sebagai jawaban. Apa Irfan ingin dia mengatakan semuanya, lalu menjadi sebuah perdebatan? Yang benar saja, Irfan! Bahkan sebelum Irfan bisa bicara dengan Mutiara, ia sudah mencak-mencak duluan karena ucapan itu.
Melihat sikap Irfan yang lebih mirip orang depresi, Sania jadi khawatir akan keselamatan Mutiara. Beruntung, Mutiara masih ke toilet, jadi dia tidak sempat melihat wajah gugup ayahnya.
"Mutiara masih ke kamar kecil."
Sania duduk, Irfan juga buru-buru ikut duduk, tetapi Sania langsung mengambil ponsel, karena memang banyak yang harus ia urus mulai besok. Tak ada niat sama sekali untuk membuka obrolan lebih dulu.
Sementara itu, Irfan yang begitu gugup hanya bisa menggerakan bibir tanpa berhasil mengeluarkan suara sama sekali. Sania tidak melakukan apa-apa, tapi dia merasa sungkan dan bingung harus memulai dari mana.
Berhadapan sendiri, Irfan mendadak seperti terintimidasi.
"Mom—"
Mutiara duduk tanpa melihat ayahnya.
Sania tersenyum ketika menatap Mutiara. "Apa kau sudah memesan, Sayang?"
Irfan secara otomatis menarik napas dan menahannya lebih lama di perut. Ia tahu itu bukan untuknya, tapi suara Sania sungguh membuatnya salah tingkah sendiri.
"Kentang goreng saja." Mutiara melirik ayahnya, seolah mengisyaratkan bahwa pertemuan ini bukan dirancang agar dia bisa makan dengan nyaman. "Perutku lagi nggak nyaman."
"Kamu sakit?" Irfan mencoba peka. Tapi ini sedikit membuat keadaan canggung. Sok perhatian seolah sudah kenal sejak lama. "Em—ya ... kamu pasti kaget dan penasaran kenapa saya kerap menemui kamu."
Mutiara diam, menatap datar meja dengan tangan saling bertaut di bawah. Sania juga diam saja tanpa ada gejala di wajahnya yang menunjukkan niat membantu Irfan menjelaskan siapa dirinya. Biar saja lelaki itu mencari cara sendiri untuk memperkenalkan diri sebaik mungkin. Mutiara bukan anak yang mudah.
"Em, saya adalah ayah kandung kamu." Irfan lupa cara bernapas karena sebaris kalimat itu.
Mutiara tidak bereaksi mencolok. Ia berharap ayahnya menjelaskan detail kenapa ayah kandung baru muncul ketika umurnya 12 tahun, padahal 12 tahun itu tidak sebentar apalagi mereka masih berada di kota yang sama.
"Jadi apa kamu bersedia ikut dengan Daddy mulai sekarang?"
"Tidak," jawab Mutiara datar. Tanpa pikir panjang.
Irfan makin gugup. "Kenapa?"
Aku ayah kandungmu, Tiara!
Namun Irfan tidak mampu meneruskannya. Rasanya agak memaksa.
Mutiara menatap ayahnya. "Anda bagi saya adalah orang asing, jadi kenapa harus tinggal dengan orang asing sementara saya punya keluarga sendiri."
Irfan membuka mulut saja, tanpa berhasil mengeluarkan sepatah kata.
"Kentangnya bawa pulang saja, Mom ... kita sudah selesai."
Mutiara hendak beranjak, tapi Irfan menahannya.
"Tiara—"
"Namaku Mutiara!" sentak Mutiara kesal. "Bukan Tiara! Mungkin anda salah mengenali orang, Pak!"
Kendati dia duduk lagi, muka Mutiara tampak kesal.
"Oke, Mutiara ... Daddy salah tadi!" Irfan segera menenangkan Mutiara. Jujur saja, dia tidak tahu apa-apa tentang Mutiara, dan Sania masih juga tidak mau membantu.
"Tapi kenapa Mutiara tidak mau ikut Daddy? Daddy orang tua kamu juga, Mutiara. Kami bisa menyekolahkan kamu ke sekolah manapun di dunia—"
"Momy juga bisa, kok," potong Mutiara santai. Tapi jelas dia tidak suka dengan ucapan Irfan. Ya, memang semua yang ada di orang ini tidak disukai Mutiara. Semuanya.
"Maksud Daddy bukan seperti itu, Muti—"
"C'mon!" Mutiara benar-benar tidak nyaman dengan cara ayahnya bicara, seperti pecundang yang datang tanpa persiapan. "Anda pulang saja, temui saya jika anda punya alasan kuat untuk mengaku jadi ayah saya."
Sania kaget mendengar itu.
"Saya tahu anda hanya cemburu melihat Momy bersama pria lain." Mutiara menatap Irfan tajam. "Jadi anda membuyarkan kami dengan cara yang terburu-buru dan kasar."
Irfan melongo saking kagetnya. Mutiara terlalu frontal dan kasar.
"Mutiara!" bentak Irfan. "Bersikaplah sopan pada ayahmu!"
Mutiara tertawa sinis. "Bahkan Momy yang bersamaku dari lahir saja tidak pernah membentakku, meski aku bersikap sangat tidak masuk akal, lalu anda?"
Mutiara dengan begitu sinis menatap Irfan dari atas ke bawah. "Anda orang luar yang hanya mengintai dan berbicara beberapa menit dengan saya, semudah itu membentak saya? Anda yakin ingin tinggal dengan saya? Anda yakin saya tidak melakukan sesuatu untuk membuat kalian berdua menderita?"
Irfan syok. Sania juga. Seberapa banyak anak ini tahu tentang orang tuanya? Dari kelihatannya, Mutiara kesal pada ayahnya seperti tahu apa yang ayahnya lakukan padanya.
"Sayang ...." Sania mengusap lengan Mutiara perlahan. "Dia memang ayah kandung kamu."
"Lalu kenapa jika dia memang ayahku?" Mutiara bergeming di posisinya. "Kalau memang yang dia butuhkan hanya pengakuan, seharusnya tidak usah repot-repot datang, aku bisa melihatnya di akta lahir! Tapi kenapa dia tidak menjelaskan, kenapa ayah kandung seorang anak bisa tinggal di rumah orang lain? Kenapa tidak tinggal dengan keluarganya sendiri?"
Irfan benar-benar kewalahan. Apa sebenarnya yang Sania ajarkan pada anaknya ini? Untuk membencinya kah? Bagaimanapun, dia ayah kandung Mutiara, apa Sania tidak menjelaskan hak ayah apa pada anaknya?
"Kami berpisah, Mutiara." Irfan berkata sekenanya. "Ada alasan kenapa kami tidak bisa bersama."
"Lalu?" Mutiara emosional. "Karena anda berpisah dengan istri anda, anda juga berpisah dengan anak anda? Kenapa anda tidak sekalipun datang ke aku selama itu?"
Dalam benak Irfan mulai tersusun rangkaian kisah yang ia alami. Mulai dari ingatan yang paling baru, mundur selangkah demi selangkah hingga sampai di hari dimana dia melemparkan Sania ke jalan. Disana, terpampang jelas kenapa Irfan tidak datang sama sekali.
Benar, karena Mutiara sudah dibuang.
"Aku tidak tahu kenapa saya diajak bicara kalau hanya sekadar ingin diakui sebagai ayah kandung." Mutiara berdiri. "Jika anda tidak jelas melihat, akan saya bantu. Saya Mutiara, ada atau tidak ayah kandung dalam hidup saya itu sama saja. Tidak akan ada perubahan sama sekali meski anda datang dan mengaku sebagai ayah kandung saya."
Mutiara berjalan tergesa sampai membuat kursinya nyaris terjungkal. Namun, rasa meledak di dadanya seakan belum sampai pada titik tuntas, jadi ia menghentikan langkah tepat di sebelah Irfan. Menoleh sedikit lalu berkata dengan keras. "Sekali lagi saya katakan bahwa " TIDAK ADA YANG BERUBAH", Pak Irfan!"
Sania menaikkan alisnya secara otomatis. Sungguh ia tidak menyangka Mutiara akan mengatakan semua ini. Di mobil sepanjang jalan tadi, Mutiara tampak cemas, bahkan Sania tidak berkata apa-apa agar tidak membebani Mutiara secara berlebihan. Biarkan saja semua senormal pertemuan pertama ayah dan anak. Bahkan suasana canggung sekalipun tidak akan Sania ubah. Tekadnya benar-benar ingin menjadikan momen pertemuan yang memang tidak tepat waktu itu se natural mungkin.
Tapi ini diluar perkiraan Sania. Ia terlalu terkejut hingga diam-diam memberi Mutiara tepuk tangan dalam hati.
Sania menatap Irfan yang benar-benar tidak berkutik. Mutiara, anak kandungnya sendiri yang menampar Irfan diwajah.
"Jadilah gentleman, setidaknya jika anda benar ayah saya, jangan jadikan saya sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan anda sebagai pria." Mutiara menggeser kursi. "Anda terlalu kelihatan betapa anda cemburu dan kalah."
Eh, ya ampun! Mutiara mulutnya tolong dikondisikan, ya!
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.