Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28.Penyelidikan Keira Palsu
Di ruang kerjanya yang sunyi, Leo duduk terpaku di kursi kulitnya. Hanya suara detak jarum jam dinding yang terdengar, berdenting pelan namun terasa menusuk telinga. Tangannya meremas pena, matanya menatap kosong ke meja, sementara pikirannya terus berputar pada kejadian di taman tadi siang—saat Keira memakan kukis bertopping kacang begitu santai, seolah itu hanya camilan biasa.
Tidak ada reaksi. Tidak ada ruam di kulitnya. Tidak ada sesak napas. Tidak ada panik.
Padahal Leo ingat betul…
Ingatan itu datang seperti badai yang merobek ketenangan.
Dulu, saat usia pernikahan mereka belum genap setahun, Keira hampir kehilangan nyawanya karena hal sepele. Malam itu mereka sedang menghadiri makan malam keluarga besar di rumah pamannya. Ruang makan penuh tawa dan aroma masakan hangat. Keira, dengan gaun biru lembut dan senyum manisnya, tanpa sadar menggigit sepotong kue.
Hanya beberapa detik kemudian, wajahnya berubah. Senyum itu lenyap. Matanya membesar, napasnya mulai tersengal. Kulitnya memerah, tubuhnya gemetar hebat.
Leo ingat bagaimana darahnya seakan berhenti mengalir. Ia langsung meraih tubuh Keira yang nyaris limbung, lalu menggendongnya keluar ruangan di tengah teriakan panik para tamu.
Ia memacu mobilnya secepat mungkin menuju rumah sakit. Keira setengah sadar, matanya setengah terpejam, jemarinya dingin.
Dua malam Keira dirawat. Dokter mengatakan itu reaksi alergi parah terhadap kacang. Bahkan Mama Diah pernah menegaskan hal itu padanya.
“Keira itu sejak kecil nggak boleh makan yang ada unsur kacangnya, Leo. Dia bisa sesak sampai pingsan. Bahaya,” kata Mama Diah dengan wajah pucat dan suara bergetar khawatir.
Lalu… sekarang?
Leo menunduk, mengusap wajahnya. “Bagaimana bisa dia makan kukis kacang tanpa ada apa-apa?” gumamnya lirih, nyaris seperti orang yang baru saja kehilangan pegangan.
Jantungnya berdetak cepat, seperti genderang yang dipukul tanpa henti.
"Apa mungkin… hanya karena dia amnesia… alergi itu hilang begitu saja? " pikirnya, namun ia sendiri menggeleng pelan. “Nggak mungkin. Tubuh nggak lupa alergi.”
Pandangannya beralih ke foto Keira di meja kerjanya. Potret itu memperlihatkan senyum hangat seorang perempuan yang ia kenal luar-dalam—setidaknya dulu. Kini, setiap tatapan, setiap gerakan perempuan itu, terasa… berbeda.
“Rasanya… dia bukan Keira,” ucap Leo pelan namun dingin.
Ia berdiri, berjalan mondar-mandir, lalu berhenti menatap foto itu lagi. “Ada yang aneh. Dari cara bicara, tatapan matanya, sampai kebiasaannya yang berubah drastis.”
Leo duduk kembali. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, tatapannya kosong namun pikirannya berlari cepat. “Jangan-jangan… dia bukan Keira. Tapi—”
Ia menahan napas, seolah takut mendengar jawabannya sendiri.
“Apa mungkin… dia punya kembaran?” bisiknya, nyaris tak percaya namun tidak bisa menghapus dugaan itu dari kepalanya.
Semakin ia mencoba menepis, logika itu justru semakin mengikatnya.
Tanpa ragu lagi, ia meraih ponsel di meja, menekan nomor Arga.
Begitu tersambung, suaranya terdengar tegas. “Arga.”
“Ya, Pak?” sahut Arga di seberang.
“Kembali selidiki latar belakang keluarga Gunawan. Cari tahu, apa mereka punya anak lain.”
“Anak lain?” Arga terdengar bingung. “Maksud Bapak?”
“Aku meragukannya.” Nada suara Leo kini tajam seperti pisau. “Aku rasa, perempuan yang tinggal di rumah ini… bukan Keira yang asli.”
Ada jeda di seberang, lalu Arga menjawab mantap, “Baik, Pak. Akan segera saya cari tahu.”
Leo memutuskan panggilan. Tangannya mengepal di atas meja.
$$$$$
Sisi lain, Revan kembali menyusuri lorong sunyi tempat kejadian itu berlangsung. Lampu neon di langit-langit berkelip samar, memantulkan cahaya pucat di lantai yang dingin. Langkahnya pelan, namun setiap hentakan sepatu terdengar jelas di ruang yang terlalu sepi. Ada beban berat yang terus menggantung di dadanya, membuat napasnya tak pernah terasa lega.
Rasa sesak itu tak kunjung reda—karena satu-satunya cara untuk membersihkan namanya adalah menemukan bukti. Bukti bahwa ia tak bersalah. Bahwa ia tak pernah menyakiti Keira.
Ia berhenti sejenak di depan pintu ruang pendingin. Udara dari sela pintu terasa dingin menusuk kulit tangannya. Dengan tarikan napas panjang, ia mendorong pintu itu. Engselnya berderit, lalu hembusan udara beku langsung menyergap, membuat bulu kuduknya berdiri.
Di dalam, aroma logam bercampur bau bahan makanan menyengat. Revan memandangi setiap sudut ruangan itu, matanya tajam menyapu rak-rak besi, kotak-kotak plastik, dan lantai yang licin. Ada sesuatu yang ia cari—kejanggalan, petunjuk sekecil apa pun—yang bisa membalikkan keadaan.
Namun, takdir bergerak lebih cepat dari pikirannya.
Rak besi tinggi di dekat pintu, yang berdiri miring seperti hampir tumbang, akhirnya menyerah. Suara berderak tajam memecah kesunyian, disusul dentuman keras yang menggetarkan lantai.
“Brakk!”
Tumpukan logam dan kotak-kotak berat itu roboh, menimpanya tanpa ampun.
Revan hanya sempat menoleh. Tak ada waktu untuk menghindar.
Tubuhnya terhantam, terhempas ke lantai. Sakitnya menjalar dari bahu hingga pinggang, napasnya tercekat seperti dipukul dari dalam. Pandangannya berputar, perlahan mengabur, namun pikirannya masih mencengkeram satu hal—tekad.
"Gue nggak mau mati di sini."
Suara itu keluar lirih dari bibirnya, hampir tertelan oleh desahan napas yang berat. Kedua tangannya, meski gemetar, memaksa mendorong rak besi yang menindih tubuhnya. Ototnya menegang, wajahnya meringis, namun ia terus memaksa.
Udara di dalam ruang pendingin seperti menusuk paru-parunya, membuatnya semakin sulit bernapas. Tapi ia tetap bergerak—pelan, tersendat—hingga tubuhnya terlepas dari beban itu.
Dengan sisa tenaga, ia bangkit, langkahnya tertatih menuju pintu. Setiap gerakan seperti memikul batu di pundaknya. Tangannya, yang memerah oleh memar, meraih gagang logam pintu.
Tarikan itu membuka celah cahaya dari luar, hangat namun menyilaukan. Revan sempat memejamkan mata—dan di detik berikutnya, tubuhnya kalah.
“Bugh!”
Ia terhempas ke lantai di luar ruang pendingin,Revan tak bergerak. Napasnya tak terdengar, matanya terpejam.
Dan semuanya begitu gelap.
.
.
.
Bersambung.
Keira lebih baik jujur saja. tapi aku tau maksud dari diam mu.