NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RENCANA BUSUK ALARIC

Elizabeth duduk di depan meja riasnya, lampu-lampu kecil di sekeliling cermin memantulkan cahaya hangat yang menerangi wajahnya. Tangannya luwes memoleskan foundation tipis, kemudian memulaskan lipstik merah muda di bibir mungilnya. Di ruangan itu tercium samar aroma parfum bunga yang menenangkan, membuat suasana kamarnya tampak jauh dari hiruk pikuk konflik yang sedang dialami Nayara.

Sesekali Elizabeth menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja, layar menyala menampilkan pesan-pesan grup keluarga besar Elvendeen yang masih belum ia buka. Matanya memicing, tidak terlalu tertarik. Ia lebih sibuk memastikan eyeliner yang ia goreskan membentuk garis sempurna di pelupuk matanya.

“Mm… cukup manis,” gumamnya sambil tersenyum pada bayangannya sendiri. Ada sedikit keanggunan, tapi juga ketegasan dalam caranya menata diri.

Namun, di balik riasannya yang menawan, ada bayangan kekhawatiran yang sesekali melintas di matanya. Seperti ada sesuatu yang ia pikirkan, tapi dengan mudah ia tutupi di balik senyum tipisnya.

Elizabeth melangkah anggun menuruni tangga spiral berukiran, gaun rumah berwarna lembut membalut tubuh rampingnya. Suara hak tipisnya beradu dengan lantai marmer, mengumumkan kedatangannya.

Di ruang makan yang luas dengan meja panjang berlapis kain putih elegan, dua sosok sudah menunggu. Gideon Elvendeen, sang kepala keluarga, duduk di kursi utama dengan sikap berwibawa, kemeja rapi meski santai, namun sorot matanya tetap tajam penuh otoritas. Di sampingnya, Margaret Elvendeen sosok wanita anggun dengan senyum menenangkan sedang menuang teh ke dalam cangkir porselen.

“Pagi, Papa, Mama,” sapa Elizabeth lembut, menyibakkan rambut panjangnya ke samping.

“Pagi, Eliz,” jawab Margaret dengan nada hangat, tersenyum lembut sambil menyodorkan cangkir teh ke arah putrinya. “Kau terlihat segar sekali hari ini.”

Gideon menatap putrinya sejenak, sorot matanya penuh perhitungan. “Segar? Hm, tentu. Aku harap bukan hanya penampilanmu yang kau poles, Eliz. Banyak hal yang perlu kita bicarakan, soal keluarga.”

Elizabeth menarik kursi dan duduk dengan tenang, bibirnya melengkung tipis. Ia tahu, jika ayahnya sudah membuka percakapan dengan nada seperti itu, maka bukan sekadar sarapan ringan yang menunggu mereka di meja ini.

Margaret baru saja meletakkan cangkir tehnya ketika suara Gideon Elvendeen memecah keheningan di ruang makan.

“Jadi, kau benar-benar ingin menetap di Cádiz, Eliz?” tanyanya, menatap putrinya penuh selidik.

Eliz menegakkan duduknya, lalu mengangguk mantap. “Ya, Papa. Aku sudah merencanakan untuk membuka galeri seni di Cádiz dan Sevilla. Aku ingin serius menekuni bidang ini, bukan hanya sekadar hobi. Karena itu, aku memilih untuk tinggal di Cádiz.”

Alih-alih nada keras seperti yang Eliz bayangkan, Gideon justru menghela napas panjang, kemudian tersenyum samar. “Aku selalu tahu, bakatmu ada di sana. Sejak kecil kau bisa berjam-jam menghabiskan waktu dengan kanvas dan cat. Jika ini memang jalanmu, Papa tidak akan menghalangi.”

Margaret ikut tersenyum lembut, tangannya terulur menyentuh lengan putrinya. “Mama mendukungmu sepenuhnya, sayang. Kami hanya ingin kau bahagia, dan kalau seni adalah duniamu, maka buatlah karyamu bersinar. Cádiz akan menjadi awal yang baik.”

Mata Eliz sedikit berkaca-kaca mendengar kalimat itu. “Terima kasih, Papa, Mama. Aku janji akan membuat galeri ini menjadi sesuatu yang membanggakan untuk nama Elvendeen.”

Gideon mengangguk mantap. “Kalau begitu, lakukanlah dengan sepenuh hati. Dan jangan ragu meminta dukungan kami kapan pun kau butuh.”

Eliz tersenyum, seolah lega mendapat restu. Namun jauh di dalam hatinya, alasan itu hanya sebagian dari kebenaran. Membuka galeri hanyalah kedok yang bisa ia utarakan pada keluarganya.

Sesungguhnya, alasan terbesarnya kembali ke Cádiz bukanlah sekadar untuk seni. Ia ingin kembali ke kota itu demi seseorang. Demi cinta yang dulu pernah datang padanya dalam bentuk seorang pria yaitu, Kaelith.

Pria itu pernah menyatakan cinta padanya, dan Eliz dengan bodohnya menolak karena ambisinya di Bordeaux. Bertahun-tahun kemudian, perasaan itu justru terus menghantui, menyesakkan setiap kali ia mengingat tatapan kecewa Kaelith saat itu.

Kini, ia kembali. Bukan hanya untuk galeri, tetapi untuk sesuatu yang jauh lebih rapuh dan berbahaya yaitu memperjuangkan cinta yang dulu ia sia-siakan.

Siang hari, Elizabeth bersama supirnya pergi ke Sevilla. Ia berniat menonton pertandingan Kaelith bersama timnya tanpa sepengetahuan pria itu.

Begitu memasuki tribun VIP, matanya langsung mencari sosok tersebut. Dan benar saja di bawah sorotan lampu stadion, pria yang sejak dulu melekat dalam ingatannya, Kaelith Arvendor Vemund, berlari gagah di tengah sorakan ribuan penonton.

Elizabeth terdiam, tenggorokannya tercekat. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski matanya menyimpan rasa sesak.

Kau tidak tahu aku ada di sini, Kaelith. Tapi aku akan memastikan, kali ini aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.

Sorak-sorai penonton semakin menggelegar saat pertandingan dimulai. Bola bergulir cepat, riuh teriakan pendukung masing-masing tim memenuhi udara malam Sevilla.

Elizabeth duduk tegak, jantungnya berdebar setiap kali pandangannya menangkap sosok Kaelith Arvendor Vemund. Ia melihat pria itu begitu fokus, setiap gerakan penuh ketegasan dan kepercayaan diri. Kaki Kaelith menari di atas lapangan hijau, memotong lawan dengan lihai.

Hingga pada menit ke-38, momen yang ditunggu datang. Kaelith menerima umpan terobosan, menahan bola dengan dada, lalu melepas tendangan keras ke arah gawang. Bola meluncur deras, melewati kiper, dan menghujam jala lawan. Stadion seketika bergemuruh ribuan orang bersorak, memanggil-manggil namanya.

Elizabeth menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ada rasa bangga yang membuncah, namun juga perih yang menyayat. Air matanya hampir jatuh.

"Kaelith... kau selalu bercahaya. Bahkan tanpa aku di sisimu."

Di balik rasa kagumnya, ada pula penyesalan yang terus menghantui. Dulu, saat Kaelith menyatakan cinta, ia justru menolaknya lebih memilih mimpinya sendiri. Kini, melihat Kaelith menjadi pria yang begitu dikagumi, Elizabeth sadar, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya yang tak bisa digantikan siapa pun.

"Aku akan memperjuangkanmu kali ini... meski terlambat, meski mungkin kau sudah bersama orang lain."

Elizabeth mengepalkan tangannya erat. Pertandingan masih berlanjut, tapi hatinya sudah memutuskan sesuatu.

Gol yang ia cetak begitu indah membuat stadion meledak oleh sorak-sorai penonton. Kaelith berlari ke sudut lapangan, menendang udara dengan penuh tenaga, lalu mengangkat tangan ke langit. Rekan-rekannya berhamburan memeluknya, merayakan gol yang membuka jalan bagi kemenangan tim.

Namun, di tengah euforia itu, mata Kaelith tiba-tiba terhenti. Pandangannya melayang ke kursi VIP dan di sanalah ia melihat sosok yang tidak asing. Rambut pirang kecokelatan, postur anggun, dan sorot mata yang hanya bisa dimiliki satu orang.

Elizabeth.

Kaelith tertegun, senyum selebrasinya perlahan memudar. Napasnya tercekat, tubuhnya seolah membeku di tengah hingar-bingar sorakan penonton. Beberapa minggu ini ia tidak pernah melihat wanita itu lagi sejak pertengkaran terakhir mereka, sejak Elizabeth dengan enteng mencampuri urusan pribadinya, menuduhnya pengecut karena tidak hadir di acara pernikahan Kevin.

Kenangan itu menghantamnya begitu keras. Kata-kata Elizabeth masih terngiang: dingin, menghakimi, dan menusuk harga dirinya. Bukan hanya penolakan cintanya yang dulu, tapi juga sikapnya yang seakan-akan berhak menentukan benar atau salah dalam keputusan hidupnya.

Kaelith mengepalkan tangan. Senyum selebrasi berganti dengan tatapan dingin, penuh amarah yang masih tersisa.

"Sedang apa ia disini?"

Dari kursi VIP, Elizabeth hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca, seolah ingin menyampaikan penyesalan yang tak pernah ia ucapkan. Tapi bagi Kaelith, luka itu masih terlalu baru untuk bisa dilupakan.

Kaelith mencoba mengalihkan pikirannya dari Elizabeth, kembali fokus ke bola yang berputar cepat di lapangan. Ia berlari, menyusuri sisi kiri dengan lincah, mengecoh dua pemain lawan sebelum menusuk ke kotak penalti. Stadion kembali bergemuruh menyebut namanya.

Namun di menit ke-75, saat Kaelith berusaha melewati bek terakhir, sebuah tekel keras menghantam kakinya dari samping. Tubuhnya terhempas ke rumput, dan teriakan nyeri lolos dari bibirnya.

"Aaarrghh!" Kaelith mengerang, menggenggam pergelangan kakinya yang terasa perih seperti terbakar.

Rekan setimnya segera menghampiri, begitu pula tim medis yang berlari membawa tandu. Pelatih berdiri di pinggir lapangan dengan wajah tegang, sementara penonton menahan napas, sebagian bahkan bersiul marah ke arah pemain lawan yang melakukan pelanggaran.

Dari kursi VIP, Elizabeth spontan berdiri, kedua tangannya menutup mulutnya dengan cemas. Hatinya mencelos melihat Kaelith meringis di lapangan. Ia ingin berlari turun, ingin memastikan pria itu baik-baik saja, tapi gengsi menahannya.

Kaelith mencoba bangkit sendiri, menolak bantuan tandu, meski kakinya jelas pincang. Ia mendongak, sekilas menatap ke arah tribun tempat Elizabeth duduk dan mata mereka bertemu sepersekian detik. Tatapannya dingin, penuh gengsi, seolah berkata: “Jangan pikir aku butuh kau di sini.”

Kaelith mencoba berdiri dengan menahan sakit, namun langkahnya tertatih. Rasa perih di pergelangan kaki semakin menjadi-jadi, membuat tubuhnya tak mampu lagi menopang. Akhirnya ia terduduk kembali di atas rumput, wajahnya menegang menahan rasa sakit yang luar biasa.

Tim medis segera memberi isyarat ke wasit bahwa Kaelith tak bisa melanjutkan pertandingan. Stadion riuh rendah, sebagian penonton bersorak kecewa, sebagian lagi bersimpati meneriakkan namanya.

Dengan terpaksa, Kaelith ditopang oleh dua orang petugas medis, lalu berjalan pincang menuju sisi lapangan untuk dibawa ke ruang perawatan. Jersey putihnya basah oleh keringat, dan rahangnya mengeras menahan emosi marah pada lawan, juga marah pada dirinya sendiri karena harus keluar lebih cepat.

Di tribun VIP, Elizabeth menggenggam erat tepi kursinya. Dadanya bergemuruh, matanya terus mengikuti langkah Kaelith yang semakin menjauh. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk segera turun, meski ia tahu Kaelith mungkin akan menolaknya mentah-mentah.

Sementara itu, pelatih dan rekan-rekan setimnya sudah sibuk mendiskusikan pergantian pemain. Pertandingan harus tetap berjalan, tetapi absennya Kaelith jelas menjadi pukulan besar bagi tim.

Di ruang perawatan, Kaelith dibaringkan di atas ranjang lipat. Dokter tim memeriksa pergelangan kakinya dengan teliti, memberikan kompres dingin dan perban penahan. “Kau harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut di klinik, Kaelith. Tidak bisa dipaksakan.”

Pria itu mengepalkan tangan, menoleh ke samping, matanya tajam penuh dendam yang tak hanya ditujukan pada lawan tapi juga pada sosok yang tak sengaja ia lihat tadi, Elizabeth.

Beberapa menit setelah pertandingan usai dan Kaelith dibawa ke klinik untuk mendapatkan perawatan, Elizabeth yang duduk di kursi VIP tak mampu menahan diri. Tanpa menunggu lagi, ia segera menyusul pria itu, meninggalkan kursi VIP dan berjalan cepat melewati lorong-lorong stadion menuju pintu keluar.

Supir pribadinya bergegas mengikuti di belakang, siap menjaga jarak namun tetap siap mengawal. Elizabeth menundukkan kepalanya sedikit, menghela napas, dan berkata lirih pada dirinya sendiri, “Aku harus memastikan Kaelith baik-baik saja.”

Begitu tiba di depan klinik, ia dihentikan oleh seorang staf medis.

“Maaf, Nona, hanya pihak terkait yang boleh masuk,” ujar staf itu tegas.

Elizabeth menatap mata pria itu, meneguhkan diri, “Aku… keluarga.” Kata itu keluar spontan, meski kenyataannya bukan keluarga langsung. Tapi cukup untuk membuat staf medis itu ragu dan akhirnya membiarkannya masuk.

Di dalam klinik, Kaelith sedang duduk dengan kaki yang terbalut perban, wajahnya memerah karena rasa sakit dan amarah yang menumpuk. Begitu Elizabeth muncul, pandangannya langsung menahan, kaget sekaligus marah.

“Eliz,” ucap Kaelith datar, nada suaranya dingin, penuh penolakan.

Elizabeth melangkah pelan, menahan rasa cemas. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja,” ujarnya lirih.

Kaelith menatapnya dengan tatapan tajam, rahangnya mengeras. “Kau tidak perlu ikut campur urusanku, Eliz. Tinggalkan aku. Aku tidak butuh perhatianmu.”

Elizabeth menelan ludah, namun tidak mundur. “Kaelith… aku kembali bukan hanya untuk galeri seni. Aku juga… karena aku tidak mau mengulang kesalahan dulu. Aku ingin memperbaiki semuanya, termasuk terhadapmu.”

Kaelith menahan napas, matanya tetap dingin, tapi di dalam hatinya ada getaran yang tak bisa ia tunjukkan.

Elizabeth menundukkan kepala, menahan tangis yang sudah menitik di pipinya. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar dari klinik dengan langkah cepat, meninggalkan Kaelith yang duduk diam.

Kaelith tetap terpaku di tempatnya, menatap pintu yang baru saja ditutup. Meski wajahnya terlihat tenang, ada denyut amarah dan kebingungan yang bergejolak di dalam dirinya. Ia tidak bergerak, tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan hening memenuhi ruangan, sementara keberadaan Elizabeth yang baru saja pergi masih terasa menusuk hatinya.

Di luar klinik, Elizabeth bersandar pada dinding sambil menutup mulutnya agar isakannya tidak terlalu terdengar. Ia merasa bodoh mengira masih bisa memperbaiki hubungan dengan Kaelith setelah semua kesalahannya di masa lalu.

Sementara itu, di dalam, Kaelith meremas perban di tangannya yang baru dipasang. Tatapannya kosong menembus lantai, seolah menimbang sesuatu. Ia marah, kecewa, namun di balik itu ada luka lama yang kembali terbuka.

Seorang rekan setimnya masuk dan berkata,

“Kaelith, apa kau baik-baik saja?”

Kaelith hanya mengangguk singkat. Dalam hatinya, ia berusaha meyakinkan diri untuk tetap dingin. Elizabeth sudah bukan bagian dari hidupnya lagi begitu ia memaksa pikirannya untuk percaya, walau hatinya menolak sepenuhnya.

Di luar, Elizabeth melangkah menuju mobil yang menunggunya. Air matanya masih mengalir, namun di balik kesedihan itu, ada tekad baru yang muncul. Jika Kaelith menolak hari ini, aku akan mencari cara lain. Aku tidak akan menyerah lagi.

Malam itu, jalan keduanya sama-sama sunyi, namun hati mereka sama-sama bergemuruh.

Di tempat berbeda, seorang pria paruh baya menatap jendela rumah megah keluarga Alaric Vemund di Cadiz sambil mengangkat ponsel.

“Kerja bagus. Aku akan segera transfer uangnya,” ucap Alaric datar setelah menutup pembicaraan.

Tak lama setelah mematikan sambungan, ia menyalin sejumlah uang ke rekening yang ditentukan.

Liora, yang berdiri di dekatnya, menatap suaminya dengan tak percaya.

“Kau sedang apa, Alaric?” tanyanya hati-hati.

“Membayar seorang pemain sepakbola karena berhasil mencederai Kaelith,” jawab Alaric tanpa rasa bersalah.

Liora terkejut dan marah.

“Apa? Kau gila! Bagaimana bisa kau berpikir melakukan hal sekeji itu?”

Alaric hanya menoleh sebentar, bibirnya membentuk setengah senyum dingin.

Alaric menatap keluar jendela rumah megahnya dengan wajah dingin, matanya menyorot jalan di bawah yang diterangi lampu kota.

“Kaelith terlalu sibuk dengan sepakbolanya. Aku tidak akan membiarkan karier itu menghalanginya kembali ke jalur yang seharusnya mengelola warisan keluarga Vemund,” gumamnya, suaranya dipenuhi ketegasan.

Liora menatapnya dengan campuran kekesalan dan kekhawatiran.

“Alaric, kau tidak bisa memaksakan semua itu. Kaelith punya hidupnya sendiri, dia punya impian!”

Alaric menoleh, matanya menyipit.

“Impian? Sepakbola hanyalah hiburan sesaat. Aku tidak akan membiarkan putraku membuang waktu dan kesempatan untuk kekayaan dan kekuasaan keluarga. Aku sudah menentukan rencananya, Liora. Sepakbolanya harus dihentikan, dan dia harus kembali ke aturan Vemund.”

Liora menggigit bibir, menahan amarah.

“Kau tidak bisa seenaknya menghapus mimpinya, Alaric. Kaelith bukan pionmu!”

Alaric tersenyum tipis, penuh kemenangan.

“Dia mungkin tidak sadar sekarang, tapi aku akan memastikan dia kembali ke jalurnya. Dunia Vemund menuntut pengorbanan, Liora. Dan Kaelith akan belajar itu dengan cara apapun yang kubisa.”

Suasana di rumah megah itu menjadi dingin dan tegang, seakan menandakan badai yang akan segera menghantam Kaelith.

Alaric segera menghubungi seorang pria yang sudah lama ia percayai untuk “urusan khusus”.

“Bawa Kaelith ke terapis itu. Pastikan dia tidak bisa lagi bermain sepakbola. Terapis itu… sudah kukondisikan untuk membuatnya ‘tidak aman’ bagi kariernya,” perintah Alaric dengan suara tegas.

Pria suruhan itu mengangguk di ujung telepon.

“Siap, Tuan Vemund. Semua akan berjalan sesuai rencana.”

Liora menatapnya dengan cemas.

“Alaric… kau benar-benar akan memaksa Kaelith pergi ke terapis palsu itu?”

Alaric menoleh sebentar, senyumnya dingin.

“Sepakbolanya hanyalah hiburan sesaat. Dia harus kembali ke jalur yang sudah ditetapkan keluarga mengelola warisan dan mengikuti aturan Vemund. Jika itu berarti dia harus dipaksa untuk tidak bermain bola, maka lakukanlah.”

Tatapannya kembali menembus jendela. Di luar, kota Cadiz tampak damai, tidak menyadari badai yang sedang dipersiapkan untuk putranya sendiri.

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!