NovelToon NovelToon
Ciuman Sang Mafia

Ciuman Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Bakwanmanis#23

Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.

Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.

Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.

Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12: Cinta yang Tersesat dalam Luka

Mereka berdiri dalam hujan yang menampar tubuh, tapi tak ada yang bergerak. Hening. Waktu seolah membeku. Hanya degup jantung yang terdengar nyaring di telinga Nayla, seperti gendang perang antara cinta dan luka yang sudah terlalu lama tak diberi jeda.

Adrian melangkah pelan, seperti seseorang yang takut mendekati api yang dulu pernah menghangatkan, tapi kini membakar habis jiwanya. Matanya tertuju pada Nayla gadis yang telah ia sia-siakan, tapi juga satu-satunya yang ingin ia perjuangkan.

“Aku tidak punya banyak alasan,” suara Adrian terdengar serak, tertahan oleh emosi. “Aku hanya punya penyesalan. Dan... rasa cinta yang tak pernah berkurang, meski kau membenciku.”

Nayla menggigit bibir. Hatinya memberontak. Ingin percaya, tapi tubuhnya menggigil oleh trauma.

“Kenapa baru sekarang, Adrian? Setelah semua luka itu menganga, setelah semua kepercayaan mati, kau datang membawa cinta? Kau pikir itu cukup?”

Air hujan bercampur air mata di wajah Nayla, dan suaranya gemetar.

“Aku mencintaimu,” lanjutnya lirih, “dengan bodohnya. Tapi cinta tanpa kejujuran... adalah racun, Adrian. Dan aku sudah meminumnya terlalu banyak hingga hampir mati.”

Adrian mengulurkan tangan, namun Nayla mundur.

“Kau tahu rasanya, setiap malam aku berdoa untuk pembalasan dendam atas kematian ayahku? Sementara orang yang kucintai adalah bagian dari keluarga yang membunuhnya?” Nayla mengatupkan rahangnya. “Rasa bersalah itu menghancurkanku dari dalam.”

“Ayahku…” bisik Adrian. “Dia tidak sepenuhnya bersih. Aku tahu. Tapi aku... aku memilih untuk mencintaimu di atas semua garis darah itu.”

Nayla menatapnya, mata mereka bertemu dalam luka yang sama.

“Dan ibumu,” lanjutnya, “dia menulis surat itu bukan karena ingin menyelamatkanku, tapi... karena dia ingin menyelamatkanmu dari kutukan darah.”

Adrian mengangguk. “Kita... adalah korban. Tapi kita juga bisa memilih untuk tidak menjadi pelaku selanjutnya.”

Diam. Lagi-lagi hening. Tapi kini, bukan karena kemarahan, melainkan karena hati mereka kehabisan kata-kata untuk melukiskan luka yang tak tampak di permukaan.

_______

Beberapa hari kemudian, Nayla duduk di tepi danau tempat dulu Adrian melamarnya—dengan sederhana, tanpa cincin, hanya janji. Tempat itu kini berubah menjadi ruang kontemplasi. Ia tak datang untuk bernostalgia, tapi untuk melepaskan.

Di tangannya, selembar surat dari Yara.

"Nayla, jika kau membaca ini, berarti aku telah meninggalkan kota ini. Aku bukan bagian dari dunia kalian. Aku hanya utusan dari masa lalu yang ingin memperingatkan: jangan warisi luka yang tidak pernah kau buat. Bakar dendam itu sebelum ia membakar masa depanmu. Kau berhak bahagia, bahkan jika itu bersamanya."

Nayla menatap langit. Matanya tak lagi sembab, tapi tetap berkabut.

Masa kecilnya dipenuhi cinta yang semu. Masa remajanya dipenuhi tanya. Dan masa dewasanya… hanya dipenuhi luka dan keheningan.

Ia tahu, cinta dan luka seringkali tumbuh dari akar yang sama. Tapi ia masih punya pilihan: membiarkan cinta itu mati atau memberinya kesempatan untuk hidup dalam bentuk yang baru.

______

Malam itu, Adrian duduk di ruang kerja rumahnya. Tembok di sekelilingnya masih penuh dengan foto, catatan, koneksi, dan potongan masa lalu yang menyakitkan. Tapi satu per satu, ia mulai melepasnya.

Ia tak ingin hidup di masa lalu lagi. Ia tak ingin terus menerus menggali kuburan luka yang sudah membuatnya kehilangan separuh dirinya. Ia ingin hidup. Dengan Nayla. Atau tanpanya jika itu yang terbaik bagi gadis itu.

Saat itulah pintu diketuk.

Adrian bangkit pelan. Detak jantungnya tidak beraturan. Ia membuka pintu, dan di sana, dalam balutan coat abu-abu, berdiri Nayla. Matanya basah, tapi tatapannya tegas.

“Aku tak bisa tidur,” katanya. “Setiap aku menutup mata, aku mendengar suaramu. Bukan suara kebohongan… tapi suara yang menyebut namaku dengan luka yang sama seperti yang kurasakan.”

Adrian menelan ludah. “Aku tak akan memaksamu, Nayla.”

“Aku tahu.” Nayla masuk, berdiri tepat di hadapan Adrian. “Tapi ada sesuatu yang harus kau tahu…”

Ia merogoh saku mantelnya, mengeluarkan sepucuk surat. Surat dari ibunya sendiri.

“Ini surat terakhir dari Mama. Ternyata… beliau tahu lebih banyak dari yang aku kira. Termasuk tentang Maria. Tentang masa lalu kita. Dan tentang kemungkinan... bahwa cinta bisa menyembuhkan, jika kita berani memulainya dari nol.”

Adrian menatapnya lekat. “Kau mau mulai dari nol?”

Nayla mengangguk, air mata jatuh perlahan. “Tapi dengan satu syarat…”

“Apa pun,” jawab Adrian cepat.

“Jika suatu saat kau harus memilih antara mempertahankan nama keluarga atau mempertahankan aku… kau harus tahu jawabannya.”

Adrian menarik napas panjang. Ia tak ragu. “Aku akan memilihmu.”

Nayla tersenyum, getir. “Jangan hanya karena cinta, Adrian. Tapi karena kau percaya... bahwa aku bukan musuhmu, bahkan ketika seluruh dunia mengatakan sebaliknya.”

Dalam keheningan yang mendalam itu, Adrian memeluk Nayla untuk pertama kalinya bukan sebagai pria yang kuat, tapi sebagai pria yang rapuh… yang akhirnya memilih untuk berhenti berlari dari rasa sakit.

Dan Nayla, untuk pertama kalinya, membiarkan dirinya menangis di pelukan seseorang… bukan karena takut, tapi karena akhirnya merasa aman.

1
Pa'tam
Sayangnya sudah segitu banyak bab nya tidak di kontrak. Harusnya di bab 20 sudah ajukan kontrak biar dapat bab terbaik dan dapat reward kontrak.
Pa'tam: Iya, aku juga masih perlu banyak belajar dan terus belajar.
Bolang2: siap, jangan lupa dukung novelku uhuy, masih pemula/Facepalm/
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!