Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Fuck, kenapa bisa terjadi ledakan di tengah-tengah kita!" bentak Maxim, kemudian berlari menjauh dari kabur asap ungu itu yang diyakini beracun.
Kabut asap, namun jangkauannya tidak terlalu lebar. Setelah berlari menjauh sekitar sepuluh meter. Maxim dan yang lainnya memperhatikan sisa ledakan tadi.
"Apa ini serangan? Atau bom kita yang meledak?" tanya Johny dengan nafas memburu naik turun.
"Kita tidak punya bom seperti itu," timpal Liam membuat Maxim menatapnya tajam.
"Kau yakin?" tanyanya.
Liam mengangguk, membuat Maxim yakin itu adalah serangan. Liam adalah orang yang mengurus penuh persiapan senjata mereka, jadi ia percaya, jika berkata tidak maka itu tidak. Tapi, kenapa hanya satu dan hanya ledakan kecil?
"Ellena!" serunya langsung mengitari sekitar.
"Di mana wanita itu?" tanyanya membuat yang lainnya ikut mencari.
"Bajingan! Fuck! Kenapa tidak ada yang menjaganya!" bentak Maxim kemudian berlari menuju area perbatasan tempat pertempuran sebelumnya terjadi, sembari mengeluarkan pistol dari sakunya.
Ia menduga, Ellena pasti sudah dibawa menuju perbatasan di sana.
"Ini adalah serangan, ayo!" seru Johny mengarahkan pasukannya untuk maju, menyusul Maxim.
Sementara itu Ellena tidak sadarkan diri, tengah berada dalam gendongan seorang yang membawanya pergi secepat mungkin.
"Sial kenapa harus aku?" gumamnya mendengkus kesal dengan tugas itu.
Ia berlari seperti dikejar hewan buas, membuatnya merasakan lelah.
Ia berhenti menoleh melihat tidak ada tanda-tanda orang yang mengejar. Saat itu juga suara earphone di telinganya berbunyi.
"Ya," jawabnya.
"Tuan Maxim dan yang lainnya ke perbatasan. Kau sudah di mana?"
"Apa? Sial, aku masih jauh?" Jawabnya.
"Cepat bawa dia pergi. Pasukannya menyebar!Jangan sampai tugas kita gagal!"
Ia menggeram. "Kirim lokasiku pada Tuan Felix, dan minta beberapa orang menjemputku!" Perintahnya.
Detik berikutnya suara langkah dari yang samar semakin terdengar membuatnya mendengkus kesal. Ia kembali membawa Ellena ke pundak dan berlari sekuat tenaga.
"Kau berhenti!" teriakan itu membuatnya semakin cemas, orang-orang mulai menyadari kehadirannya. Ia memakai pakaian hitam, Ellena pun sudah ditutupi dengan kain hitam untuk menyamarkan keberadaannya. Namun, mata tajam orang-orang tidak bisa dihindari.
Suara ledakan pistol bersahutan, dan terarah padanya. Namun, ia tetap fokus berlari secepat mungkin.
"Berhenti!" seru orang-orang mengejarnya semakin dekat. Dan suara bariton Maxim terdengar jelas.
"Sial di mana bantuannya," batinnya sembari melihat ke depan berharap segera ada pasukan yang datang di sana. Meski kemungkinan sangat kecil, karena adanya pasukan penjaga yang tidak sedikit.
"Sial, ini sudah di perbatasan," batinnya melihat di depannya penjaga tengah melawan serangan.
Ia menoleh ke belakang, dan melihat orang-orang semakin dekat. Meski bertaruh nyawa ia tetap berlari ke arah penjaga.
"Tahan dia!" seru Maxim.
Beberapa penjaga menoleh, dan perhatian yang teralihkan tanpa menjaga posisi baja perlindungan yang dipakai. Pistol melesat di kepala tiga orang penjaga.
Ia mengambil kesempatan terkecoh itu berusaha melewati penjaga. Di depannya dalam jarak tiga meter sudah ada puluhan orang-orang Felix yang siap mengambil Ellena sembari melawan pistol-pistol yang diarahkan.
"Akh!" jerit pria itu saat tak mampu menahan hentakan peluru itu lagi, serta kakinya yang keram karena terlalu cepat berlari.
Ia memang selamat dari hembusan peluru, karena seluruh tubuh dilindungi baja anti peluru. Namun, baju yang berat, serta Ellena yang harus dibawa dalam keadaan berlari, hentakan peluru dari berbagai arah membuatnya terjatuh.
Ellena kini beralih ke pasukan lain. Ia hanya bisa lega karena tugasnya selesai, meski harus ditangkap.
"Cukup! Cukup!" seru Maxim membentak, merasa itu akan percuma, karena jelas mereka telah melakukan persiapan dan memakai alat pelindung. Karena hanya beberapa orang yang membawa senjata, sedangkan sisanya fokus mengambil Ellena.
Maxim berjalan ke arah orang yang membawa Ellena tadi, ia tidak diselamatkan karena orangnya lebih dulu menahannya. Dengan gerakan cepat, ia menendang arah perut pria itu, hingga tubuhnya terjatuh beberapa meter darinya.
"Tuan Maxim, anda ingin melanjutkan pertempuran atau mundur?" ucap seorang dari pihak musuh mewakili sembari pistol mengarah padanya.
Maxim menoleh, matanya yang menyorot tajam menatap orang tersebut. Seorang pria yang merupakan orang kepercayaan Felix.
Baru saja ia ingin bicara, namun suara helikopter membuatnya membisu. Hanya dalam hitungan detik sebuah helikopter muncul di atas lokasi pihak musuh. Serta sebuah asap berwarna merah muncul mengikuti helikopter yang sebagai tanda kemenangan dari Felix.
Tangan Maxim mengepal, Ellena telah berhasil di bawa dan hanya wanita itu tujuan balas dendam dari Maxim dan tujuan Felix menyerang. Jika sudah berhasil diselamatkan. Maka akan percuma melanjutkan pertempuran sekarang.
Maxim menggeram, ia kembali menatap pria di depannya yang tampak begitu tenang. "Ini belum berakhir!" ucapnya dengan penuh penekanan.
Ia membalikkan tubuh, mengayungkan tangan mengarahkan pasukannya untuk mundur. Dengan membawa orang yang membawa Ellena tadi.
Maxim memimpin orang-orangnya untuk pergi, dengan emosi yang ia tahan agar tidak meledak.
"Aku mundur, bukan karena kalah, tapi mengalah, dan aku akan segera maju dan mengambil wanita itu lagi," batin Maxim dengan penuh tekad meninggalkan lokasi pertarungan.
Sementara itu Felix yang menyalakan kembang asap dengan tangan di luar tersenyum puas memamerkan kemenangannya.
"Akhirnya, wanita ini kembali di tanganku. Aku bisa bulan madu, dan memperkenalkannya sebagai istriku. Dengan begitu Lovie-ku bisa keluar bermain dengan tenang," batinnya sembari membayangkan bagaimana bahagianya sang istri, jika sudah bisa bebas kembali keluar rumah.
Felix menghirup nafas panjang. Ia lalu menoleh menatap Ellena yang tidak sadarkan diri di sebelahnya.
Tangannya terulur menyentuh kening Ellena yang masih menampakkan luka, lalu turun mengusap pipi yang bengkak memerah, dan leher yang merah seperti bekas cekikan.
"Kau memang manis, cantik. Sayangnya, kau sudah disentuh olehnya, dan kau sudah membuat Lovie-ku tersaingi."
Felix menatap tangan Ellena yang penuh lebam. Bukan kasihan ia malah tersenyum. "Sungguh kasihan, kau dibuat babak belur. Tapi, itu artinya kamu menjalankan tugasmu dengan baik. Bagus ... kalau begitu aku akan mengampunimu, aku tidak akan mempermasalahkan luka ini," ucapnya sembari menyentuh bekas luka di perutnya yang ditutupi perban.
Felix menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata dengan tenang, bersiap mengistirahatkan tubuh lelahnya dengan harapan istrinya datang dalam mimpi menemani tidurnya selama dalam perjalanan pulang.