Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.
Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu
Pengungkapan traumatis tentang selisih waktu sepuluh tahun, telah berhasil membuat Erick perlahan menerima realitas 2025, tetapi hal itu juga meningkatkan ketergantungannya pada Aluna hingga mencapai level yang berbahaya.
Ia adalah seorang CEO sukses yang kini merasa seperti bayi yang baru lahir, dan Aluna adalah satu-satunya tautan yang ia kenali di dunia yang asing.
Di kantor, ia menuntut Aluna duduk di ruangannya, mengabaikan struktur yang ada.
Di rumah, ia mengikuti Aluna seperti bayangan. Keterikatan itu dulunya manis, tetapi kini terasa mencekik, seperti benang sutra yang perlahan mengikat leher.
“Lun, kenapa kau harus ke dapur? Aku bisa menyuruh orang lain,” rengek Erick suatu sore, berdiri di ambang pintu kamar, wajahnya cemberut.
“Ayolah, aku hanya ke dapur dan kau sudah merengek seperti aku pergi jauh. Hanya sebentar,” jawab Aluna sabar.
“Tidak mau,” balas Erick, mendekat dan memeluk pinggang Aluna erat.
“Aku takut kalau kau tidak terlihat. Setelah kau bilang aku hilang sepuluh tahun, aku takut kau juga akan hilang kalau aku tidak melihatmu. Kau adalah jangkarku, Lun. Jangan bergerak dari pandanganku.”
Aluna merasakan desahan lembut dan rasa bersalah memenuhi dirinya. Keterikatan ini berasal dari rasa takut yang nyata, bukan sekadar cinta.
Namun, cinta yang ia dambakan selama bertahun-tahun telah lama membutakan mata Aluna dari bahaya kontrol yang tersembunyi.
“Tapi masih satu atap,” ujar Aluna yang tetap bersabar menahan sikap manja Erick, ia merasa tidak tahan dengan kelembutan dan rasa cinta di mata suaminya.
Malam itu, mereka berada di sofa ruang keluarga, mencoba menonton film untuk menenangkan pikiran Erick.
Erick sedang dalam posisi terlelap, kepalanya di pangkuan Aluna, nafasnya hangat dan teratur.
Tiba-tiba, ponsel Aluna yang tergeletak di meja kopi bergetar. Layar menyala, menampilkan nama kontak dengan ikon cangkir kopi, Leo.
Leo, si teman bicara, si pendengar keluh kesah Aluna selama masa-masa dingin pernikahan mereka.
Aluna segera menegang, saat sudut matanya melihat layar ponsel yang masih menyala. Pria yang mewakili kebebasan emosionalnya kini muncul mengancam narasi istri setia yang merawat sepuluh tahun yang baru saja ia ciptakan.
Aluna berusaha meraih ponsel itu, bermaksud menolaknya dengan cepat. Tapi gerakan sekecil apa pun kini memicu kewaspadaan tinggi Erick.
“Siapa itu?” Suara Erick terdengar rendah, nafasnya memanas di paha Aluna. Sifat manja itu lenyap dalam sekejap, digantikan oleh nada yang berat.
“Ah, Leo. Rekan kerja lama, Rick. Mungkin ada urusan proyek yang mendesak,” jawab Aluna, mencoba tersenyum, tetapi senyumnya terasa palsu.
Aluna mencoba meraih ponselnya lagi, tetapi tangan Erick yang kuat mencengkram pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya secara mutlak.
Erick bangkit, duduk tegak. Ia tidak lagi melihat Aluna, melainkan matanya terpaku pada nama Leo di layar ponsel.
“Rekan kerja jam segini?” Nada bicara Erick kini penuh otoritas, mengingatkan Aluna pada Erick yang dulu, seorang CEO yang tidak mentoleransi ketidakpatuhan.
“Aku ada disini, suami sekaligus partner bisnismu. Kalau ada urusan mendesak, mereka harus menghubungiku. Kenapa mereka mengganggumu?”
“Rick, ini urusan pribadi. Hanya… pembicaraan ringan. Tolong lepaskan tanganku. Itu sakit.”
Erick mengabaikannya. Ia merebut ponsel itu, menguasai benda kecil itu dengan mudah. Ia tidak menjawab panggilan itu. Ia menatap nama Bima selama beberapa detik, lalu tanpa ragu, ia menekan tombol daya hingga ponsel itu mati total.
Keheningan yang mencekik.
Tindakan ini adalah pelanggaran batas yang belum pernah terjadi.
“Erick! Apa yang kau lakukan? Itu melewati batas!” seru Aluna, mencoba mengambil ponselnya kembali.
Erick tidak bergerak. Ia melempar ponsel yang mati itu ke meja.
Sebelum Aluna sempat bangkit, Erick menarik Aluna dengan kedua tangan, memaksanya berhadapan dengannya.
“Kau baru saja melanggar batas, Sayang,” desis Erick, wajahnya sangat dekat, matanya membara oleh kecemburuan yang buta.
“Aku tidak suka kau menerima panggilan rahasia dari pria lain. Kau gugup, Aluna. Kau menyembunyikan sesuatu.”
Aluna mencoba membela diri. “Aku tidak menyembunyikan! Kami hanya teman! Kami sering bicara saat dulu kau… saat dulu kau sibuk dengan pekerjaan!” Aluna hampir menyebut masa-masa dingin pernikahan, tetapi ia menahan diri. Ia merasa pria dihadapannya memiliki emosi yang sama dengan Erick Wijaya, dan itu membuatnya sedikit takut.
Erick memotongnya, tidak peduli dengan alasan logis. Api cemburu di mata terlihat membara, nafasnya memburu merasa marah pada Aluna yang di telepon oleh pria asing.
“Dulu adalah dulu. Kau bilang aku sudah tidur selama sepuluh tahun. Sekarang, aku sudah bangun. Dan aku tidak mengizinkanmu mencari kenyamanan dari pria lain,” kata Erick. Ia menarik Aluna ke pelukannya yang keras, pelukan yang mengikat dan menekan, menahan wajah Aluna ke dadanya.
Aluna terperangkap, merasakan detak jantung Erick yang cepat dan penuh gairah. Ia mencium aroma sabun mandi Erick dan merasakan kekuatan ototnya.
“Kau tidak perlu teman lain. Kau tidak perlu bicara pada pria lain. Aku ada di sini. Aku kekasihmu dan pria mu. Aku adalah CEO yang sukses yang kau rawat selama sepuluh tahun. Itu sudah cukup!” bisik Erick, suaranya dipenuhi otoritas yang menuntut.
Rasa takut itu nyata, tetapi di bawahnya, Aluna merasakan gelombang yang berbahaya. Inilah cintanya. Posesif ini adalah wujud mutlak dari ketergantungan dan takut kehilangan dirinya, satu-satunya jangkar yang ia miliki di tahun 2025 yang asing.
Ia telah menciptakan pria yang begitu mencintainya, sehingga rela melakukan segalanya untuk mempertahankannya.
Erick mengakhiri dominasinya dengan deklarasi yang mematikan dan mutlak.
“Jangan buat aku berpikir ada orang lain. Kamu milikku, hanya milikku.”
Pelukan itu melonggar, dan Erick menatap Aluna, mencari konfirmasi total.
Aluna, terengah-engah, membuat keputusan yang menyakitkan. Ia memilih sangkar emas ini, dan mulai membandingkan masa 3 tahun pernikahan mereka yang sangat dingin.
“Aku tidak lupa, Rick. Aku minta maaf. Aku milikmu, selamanya milikmu,” bisik Aluna, suaranya dipenuhi penyerahan diri.
Erick tersenyum puas, ketenangan kembali ke matanya. Dominasi dan posesif nya telah disahkan, dan dialah sang pemenang.
“Bagus. Aku tidak akan membagi waktumu dengan siapa pun. Mulai sekarang, ponselmu akan aku simpan. Kalau ada yang penting, mereka akan menghubungi kantor.”
Erick mengecup kening Aluna, sebuah tanda klaim yang lembut.
Erick kembali ke sofa, menarik Aluna ke pelukannya, kembali ke peran manja. Ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan, kontrol total.
Aluna membalas pelukannya. Ia kini benar-benar terisolasi, dipisahkan dari semua jaring pengaman emosional masa lalunya. Ia telah berhasil mengubur masa lalu pernikahan dingin mereka dengan kebohongan strategis, tetapi kini ia berada di bawah kendali posesif Erick.
Ia adalah satu-satunya tautan Erick dengan realitas, dan ia harus membayar harga itu dengan kebebasannya.