"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENYELAMATAN DRAMATIS
"TOLONG! KUMOHON JANGAN—"
Suara wanita.
Lucian berhenti. Bukan urusanmu. Jalan terus. Kau sudah tidak peduli lagi.
Tapi kakinya tidak bergerak.
"Ssshh... diam atau aku potong tenggorokanmu sekarang."
Suara pria—dingin, profesional.
Pembunuh bayaran. Aku kenal nada itu.
Lucian melangkah ke arah suara—gang sempit, gelap, bau sampah dan urine. Di ujung sana, seorang wanita—cantik, mungkin pertengahan dua puluhan, pakaian mahal—terpojok.
Tiga pria mengelilinginya. Pakaian serba hitam. Pisau di tangan. Mata dingin.
Profesional. Bukan preman biasa.
Salah satunya—pemimpin—berbicara dengan suara datar: "Adipati Chelsea Adelia Guntur. Maaf, tapi ayahmu punya banyak musuh. Dan kami dibayar sangat mahal untuk memastikan kau mati malam ini."
Adipati?
Lucian membeku.
Guntur?
Chelsea—wanita itu—menggeleng, air mata mengalir. "K-kumohon... aku tidak tahu apa-apa tentang bisnis ayahku... aku tidak—"
"Tidak peduli. Perintah adalah perintah."
Pemimpin itu mengangkat pisaunya—
"Hei."
Ketiga pembunuh menoleh.
Lucian berdiri di mulut gang. Tangan di saku. Wajah kosong.
"Kalian tidak seharusnya bunuh dia."
Pemimpin itu menyeringai. "Dan kau siapa? Pahlawan?"
"Tidak." Lucian melangkah masuk—pelan, seperti predator. "Aku pembunuh juga. Tapi aku tahu orang yang kalian incar tidak bersalah."
"Bukan urusan kita dia bersalah atau tidak."
"Itu urusan ku."
Lucian bergerak.
Delapan tahun menjadi algojo membuat tubuhnya bergerak otomatis—muscle memory yang tidak akan pernah hilang.
Pembunuh pertama belum sempat bereaksi—Lucian sudah mematahkan pergelangan tangan yang memegang pisau, merebut pisau itu, menusukkan ke leher pembunuh kedua.
Darah menyembur.
Pembunuh kedua jatuh—mata melotot, tangan memegangi leher yang mengeluarkan darah.
Satu mati. Dua tersisa.
Pembunuh ketiga menyerang dari samping—Lucian menghindari, menendang lutut nya sampai patah.
KRAK.
Jeritan.
Pembunuh ketiga jatuh.
Tinggal pemimpin.
Pemimpin itu menatap Lucian dengan mata melebar. "Kau... kau Alexander Rafael."
Lucian membeku.
"Aku kenal gaya bertarungmu. Aku dengar cerita tentangmu di Kaisarion. Algojo paling mematikan."
"Aku bukan dia lagi."
"Tapi kau masih membunuh seperti dia."
Pemimpin itu menyerang—cepat, brutal.
Tapi Lucian lebih cepat.
Ia menangkap pergelangan tangan pemimpin itu, memutarnya, mendengar tulang patah, merebut pisau, menusukkan ke jantung.
Sekali.
Dalam.
Tepat.
Pemimpin itu menatapnya—mata perlahan kehilangan cahaya.
"Kau... tidak bisa kabur... dari dirimu sendiri..." bisiknya sebelum mati.
Tubuhnya jatuh.
Lucian berdiri di sana—dikelilingi tiga mayat, tangan penuh darah.
Sial. Sial. SIAL.
Aku baru saja membunuh lagi. Aku bilang aku mau jadi lebih baik tapi aku—
"Terima kasih..."
Suara lembut.
Lucian menoleh.
Chelsea—wanita itu—berdiri, tubuh gemetar, wajah pucat, tapi mata menatapnya dengan... apa itu? Takut? Atau rasa terima kasih?
"Terima kasih... kau selamatkan aku..."
Lucian menatap tangannya—darah masih hangat.
"Aku tidak selamatkan mu. Aku hanya... aku hanya—"
Kalimatnya terputus saat tubuhnya limbung.
Kapan terakhir aku makan? Tiga hari? Empat?
"Hei! Kau tidak apa-apa?!" Chelsea menghampiri—memegang lengan nya.
Dan Lucian melihatnya—luka sayatan di lengan kirinya. Tidak dalam tapi cukup untuk berdarah banyak.
"Kau terluka..." Chelsea merobek ujung rok nya—rok mahal yang mungkin harganya sama dengan sewa apartemen Lucian setahun—dan membalut luka di lengan Lucian dengan lembut.
Lucian membeku.
Kapan terakhir kali seseorang menyentuh ku dengan lembut?
Marcus? Delapan tahun lalu?
Mama? Elena? Lebih lama lagi?
Sentuhan Chelsea hangat—berbeda dengan semua sentuhan yang Lucian terima dalam delapan tahun terakhir. Tidak ada kekerasan. Tidak ada amarah. Hanya... kelembutan.
Air matanya jatuh tanpa izin.
"Hei... kenapa kau menangis?" Chelsea menatapnya—mata cokelat yang lembut, khawatir.
"Aku... aku tidak tahu..." Suara Lucian pecah. "Aku tidak tahu kenapa aku menangis..."
Chelsea memeluknya—tiba-tiba, tanpa peringatan.
Dan Lucian menangis sejadi-jadinya di bahu wanita asing itu.
Menangis untuk semua yang ia kehilangan. Untuk semua yang ia bunuh. Untuk semua kesempatan yang tidak ia punya.
Chelsea tidak bicara—hanya memeluknya, membiarkannya menangis.