simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Hey, seenaknya saja kau masuk ke sini! Kau tidak tahu kami sedang mengadakan rapat penting?!" bentak Walton sambil berdiri, menatap Martin dengan mata melotot. Dia memang tak bisa menahan emosi saat berhadapan dengan Martin, apalagi ketika Martin bertingkah seperti ini. Angelica yang di sepanjang rapat tadi mukanya datar kini menatap Martin heran. Sebagai menantu sampah, Martin tidak pernah diizinkan untuk masuk ke dalam ruang rapat perusahaan. "Martin, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Julia, sama heran dan terkejutnya. Martin memberi istrinya itu senyum yang teduh, membuat Julia merasakan sesuatu yang hangat tumbuh di dalam dirinya. "Aku datang untuk menyemangatimu. Pastikan kau terima tantangan dari Walton, ya. Jangan khawatir, kau akan mendapatkan proyek itu. Percayalah padaku," kata Martin. Julia terpana. Martin tanpa ragu mendukungnya dan memercayainya di saat orang-orang di ruangan itu meragukannya dan menyudutkannya. Dan dia mengatakannya dengan senyum welas asihnya yang menenangkan. Julia pun tersadar bahwa selama ini memang Martin seorang yang selalu berada di pihaknya dan memberinya dukungan--setidaknya dukungan mental--di saat dia sedang lelah dan patah semangat. Dia pun mengurungkan niatnya untuk mengomeli Martin karena muncul begitu saja, mengganggu jalannya rapat. Lain Julia, lain pula Benny. Melihat Martin bicara dengan tenang dan sesuka hatinya setelah mengganggu jalannya rapat, dia kembali menggebrak meja, membuat perhatian orang-orang kembali tertuju padanya. Dia sendiri perlahan menoleh, mendelik pada Martin, dan berkata, "Kau pikir kau siapa, hah? Kau merasa dirimu pantas berada di sini? Berani-beraninya kau bicara tanpa meminta izinku. Apa perlu aku mengingatkanmu kalau aku adalah direktur utama Wiguna Corp. dan pemimpin Keluarga Wiguna?" Meski tak membentak-bentak seperti Walton tadi, orang-orang di ruangan rapat itu bisa merasakan kemarahan Benny dan niatnya untuk menghancurkan lawan bicaranya. Benny adalah seorang alpha male dengan ego yang tinggi. Tak akan dia biarkan siapa pun mengambil alih panggung di saat dia berada di situ. Julia berubah cemas. Dia khawatir kakeknya mengatakan sesuatu yang teramat menyakitkan pada Martin. Itu biasa terjadi ketika Benny jengah dengan tingkah salah satu anggota keluarganya. Dan menurutnya, perasaan cemas itu pulalah yang mestinya menghampiri Martin saat ini, mengingat Martin tak pernah benar-benar dianggap keluarga oleh kakeknya itu. Tapi entah kenapa, saat ini, Martin malah tersenyum santai. Rasa-rasanya tak pernah dia melihat Martin sesantai dan seberani ini menatap balik kakeknya. "Jangan khawatir, Kek. Aku ke sini hanya untuk mengatakan itu saja," ucap Martin, melebarkan sedikit senyumnya dan mengangkat kedua alis. Kemudian dia menatap Julia lagi dan berkata, "Aku tunggu di bawah, ya. Nanti kita pulang bareng. Aku yang menyetir." Kembali, Martin melebarkan senyumnya, membuat Julia mengernyitkan kening, bertanya-tanya apakah suaminya ini baik-baik saja. Sempat, sebelum membuka pintu, dia beradu pandang sebentar dengan Walton, mendapati tatapan sinis sepupu iparnya itu. Dia hanya membalasnya dengan tersenyum meremehkan, lalu keluar dari ruang rapat. "Cih! Ada apa dengan suami payahmu itu, Julia? Apa dia mabuk? Tingkahnya benar-benar menjengkelkan!" keluh Walton setelah pintu rapat ditutup. "Menjengkelkan banget memang dia! Mestinya tadi kulemparkan cangkir ini ke dia!" kata Angelica, kali ini terlihat sama kesalnya dengan Walton. Benny menghela napas. Tiba-tiba saja dia merasa lelah. Kemunculan Martin barusan, dan apa-apa yang dikatakannya, benar-benar di luar dugaannya. "Sudah, sudah. Kita kembali ke topik bahasan kita tadi," tegurnya pada Walton dan Angelica. Kemudian dia menatap Julia, tatapannya kembali penuh penghakiman. "Jadi bagaimana, Julia? Kau sanggup menjalani tes khusus dariku ini atau tidak? Kalau kau tak sanggup, saat ini juga kau bisa mengajukan pengunduran diri," kata Benny dingin. Julia menarik napas agak panjang sembari menegakkan punggungnya. Entah kenapa, setelah apa-apa yang dikatakan Martin tadi, dia mendadak jadi begitu percaya diri. "Sanggup, Kek. Akan kudapatkan proyek dari PT Alat Kesehatan Makmur yang bernilai 10 miliar itu," katanya. Matanya penuh binar saat dia mengatakannya. Walton dan Angelica menatapnya aneh, bertanya-tanya dari mana datangnya rasa percaya diri yang kini terpancar di wajah Julia itu. "Oke. Kalau begitu aku beri kau waktu satu minggu. Kalau setelah satu minggu berlalu kau tak juga mendapatkan proyek itu, kau gagal. Tak perlu kujelaskan lagi apa yang akan terjadi padamu setelah itu," kata Benny. Julia menelan ludahnya. Ini pertaruhan baginya. Dan apa yang dipertaruhkannya sangat besar. Seandainya dia gagal, habislah dia. Di titik ini apa yang dikatakan Martin tadi melintas di benaknya. Julia pun menepis keraguannya itu. Satu minggu. Tak masalah. Dia pasti bisa mendapatkan proyek itu dalam waktu satu minggu. ... Sore harinya, setelah jam pulang... Seperti yang dijanjikannya, Martin menunggu di lobi. Dia melambaikan tangannya dan tersenyum saat Julia muncul. Dengan canggung, Julia balas melambaikan tangan, dan hampir saja tersenyum. Sungguh aneh baginya melihat Martin menungguinya pulang. Biasanya Martin malah enggan masuk ke kantor dan hanya menunggu di luar atau di parkiran. 'Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat percaya diri sekarang? Padahal...' Julia memindai suaminya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, mendapati pemandangan yang biasa dilihatnya: pakaian kasual dengan gaya yang biasa; sama sekali tak istimewa. Di dalam mobil, setelah meninggalkan kantor Wiguna Corp., Martin bertanya tanpa menoleh pada Julia, "Bagaimana reaksi Kakek tadi?" Butuh dua detik bagi Julia untuk menangkap apa maksud pertanyaan Martin. Dia pun menjawab, "Kakek memberiku waktu satu minggu. Kalau aku tak bisa mendapatkan proyek itu dalam satu minggu ini, aku dianggap gagal dan..." Julia menggantung kalimatnya, merasa tak sanggup merampungkannya. Martin melirik Julia sekilas, mendapati istrinya itu menyembunyikan kecemasannya. "Jangan khawatir. Kau bahkan tak akan butuh waktu selama itu untuk mendapatkan proyek tersebut. Percayalah pada kemampuanmu," ucap Martin. Julia menoleh menatap Martin, tersenyum haru. "Kenapa kau sebaik ini padaku, Martin? Kenapa kau selalu mendukungku padahal kau banyak menerima perlakuan buruk dari keluargaku?" tanya Julia. Martin menjaga matanya tetap ke depan. Dia berkata, "Karena aku mencintaimu, Julia. Apalagi kalau bukan itu?" Julia kembali tersenyum, tapi kali ini ada sebersit kesedihan di matanya. Dia jadi merasa bersalah karena perlakuan buruk keluarganya pada Martin. Martin menatap Julia sebentar dan memberinya senyum yang teduh, membuat Julia langsung memalingkan muka dengan pipi Merona. Saat pandangannya kembali terarah ke depan, dia berjanji di dalam hati, akan membuat Julia meraih kesuksesan dan hidup bahagia bersamanya. Sekarang dia punya segala hal yang dia butuhkan untuk mewujudkan itu. Setibanya di rumah, mereka mendapati Fanny sedang berdiri di teras depan, menatap mereka sambil berkacak pinggang. Martin dan Julia bertatapan sebentar, tak mengerti kenapa Fanny bertingkah seperti itu. Martin lalu naik ke teras lebih dulu, menghampiri ibu mertuanya itu dan bermaksud menyapanya, tapi Fanny tiba-tiba melayangkan sebuah tamparan keras ke pipinya. Plak! "Dasar bodoh! Di mana kau taruh otakmu?! Bisa-bisanya kau menghasut Julia untuk menerima tugas yang tak mungkin bisa dia selesaikan!" bentak Fanny, matanya memancarkan amarah. ...